Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Muslimah)
Muslimahtimes– Setiap muslim memang senantiasa dituntut untuk bersikap qona’ah, yakni senantiasa merasa cukup dan rida terhadap apa yang dimiliki atau diterimanya. Sikap qona’ah akan melahirkan syukur. Oleh karena itu, seorang muslim yang memiliki sikap qona’ah akan memancarkan keindahan akhlak islamiyah di dalam dirinya. Adapun wujud dari qona’ah adalah senantiasa berlapang dada, ikhlas, dan tidak mudah mengeluh.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda bersabda, ”Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim)
Meski demikian, sikap qona’ah wajib ditempatkan secara proporsional. Karena jika salah menempatkan, alih-alih memancarkan keindahan akhlak islamiyah, malah justru memunculkan sikap apatis bahkan kejumudan berpikir.
Ya, alangkah tidak tepatnya ketika seorang muslim memilih diam padahal ia menyaksikan berbagai kemaksiatan tersaji di negeri ini. Atas nama qona’ah, hatinya tak tergerak untuk mengubah kondisi yang ada. Sebaliknya lebih memilih pasrah dan meyakini bahwa hal itu adalah sesuatu yang memang harus diterima.
Atas nama qona’ah juga, seorang muslim memilih bungkam seribu bahasa atas berbagai kezaliman yang ditimpakan penguasa terhadap rakyatnya. Berbagai kebijakan yang menciderai rasa keadilan tak mampu membuat hatinya bergejolak marah lantas berupaya mengubahnya. Katanya, itu bagian dari ketetapan Allah, harus diterima dengan ikhlas. Cukup do’akan saja.
Bukan itu saja, ketika menyaksikan secara nyata bahwa negeri ini menerapkan aturan yang bukan bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, atas nama qona’ah seorang muslim ikut tunduk di bawah aturan tersebut. Alasannya, kita hanya rakyat biasa, tak bisa apa-apa.
Sungguh memprihatinkan, begitulah hakikatnya sikap qona’ah yang salah kaprah. Tidak pada tempatnya. Akibatnya, seorang muslim dapat terjerumus ke dalam dosa sebab melalaikan apa yang menjadi kewajibannya, yakni melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Jadi, Rasulullah Saw mendorong setiap muslim untuk mengubah kemungkaran yang nampak di hadapannya. Bahkan beliau menyampaikan agar kita mengingkari dengan hati sebagai wujud lemahnya iman. Adapun selayaknya seorang muslim pasti menginginkan keimanan yang kokoh, bukan keimanan yang lemah. Maka, sejatinya ia akan melakukan yang terbaik sebagai dorongan keimanannya.
Orang yang hatinya merasa tentram, tenang, tak terusik menyaksikan kemaksiatan, kezaliman, bahkan penghinaan terhadap agamanya sungguh perlu dipertanyakan keimanannya. Jika mengingkari kemungkaran dengan hati saja disebut sebagai selemah-lemahnya iman, bagaimana jika justru malah rida terhadap kemungkaran?
Dengan demikian, setiap muslim harus menempatkan sikap qona’ah secara proporsional, jangan salah kaprah. Karena ada kalanya kita tidak boleh pasrah pada keadaan, justru harus berupaya mengubahnya.
Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (TQS. Ar-Ra’d [13]: 11)
Jadi, jika saat ini kita hidup dalam himpitan kesulitan hidup akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler, maka tak cukup hanya dengan doa dan harapan agar semua itu bisa berubah. Butuh perjuangan untuk mengubahnya agar kapitalisme sekuler sirna dari atas muka bumi dan tergantikan oleh sistem Islam nan penuh kemuliaan. Bukankah Allah telah menjanjikan bahwa kelak kaum muslimin akan meraih kemenangan yang nyata?
Allah Swt berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur: 55)
Adapun perjuangan itu dapat diimplementasikan dengan ikut berkontribusi mengopinikan Islam kafah sebagai solusi dalam mengatasi segala problematika yang membelit negeri ini. Namun, kita tak bisa sendiri, wajib bergabung bersama komunitas dakwah yang memiliki visi besar membangun peradaban Islam. Hal tersebut pula lah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para Sabahat, yakni membentuk kutlah dakwah. Dalam kutlah itulah mereka bersinergi menyebarkan syiar Islam hingga Islam tegak dalam sebuah institusi pemersatu umat, Daulah Islam. Jadi, saatnya muhasabah diri, jangan salah kaprah dalam qona’ah, sebaliknya bergeraklah untuk mengubah dunia dengan Islam kafah. Wallahu’alam bi shawab.