Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
Muslimahtimes– Tsunami covid India membuat dunia terpana dan berduka. Ratusan ribu manusia terkonfirmasi positif covid dengan gejala yang cukup berat. Rumah sakit kehabisan kasur dan oksigen. Beredar foto warga harus bertahan di dalam kendaraan dengan fasilitas seadanya.
Salah satunya, Renu Singhal, 45, seorang wanita di wilayah Awas Vikas Sektor 7, Agra, negara bagian Uttar Pradesh, dengan putus asa memberi suaminya Ravi Singhal, 47, CPR [cardiopulmonary resuscitation] di becak motor hanya beberapa meter dari pusat medis yang padat. (Sindonews.com, 30/4/2021)
Ribuan warga meninggal membuat krematorium beroperasi 24 jam. Salah satu petugas mengungkapkan bahwa mereka mulai kehabisan tempat dan kayu bakar. “Jika terus begini, kami akan terpaksa membakar mayat di jalanan.” (bbcnews.com, 29/4/2021)
Belajar dari India
India, negeri dengan kondisi yang mirip dengan negeri kita, Indonesia. Padatnya penduduk, besarnya mobilitas yang terjadi, juga kondisi kemiskinan warganya, seperti yang terjadi di Indonesia. Tentu, kita berdo’a semoga krisis di India segera berlalu, dan Indonesia juga dunia tak mengalami krisis yang sama.
Agar tak terulang tsunami covid di negara lain, termasuk Indonesia, kita harus sama-sama mengambil pelajaran dari kasus India ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, pertemuan massal, rendahnya tingkat vaksinasi, dan adanya varian baru virus Corona yang lebih menular menyebabkan kasus COVID-19 di India melonjak. WHO menyebutkan, kombinasi ketiga penyebab tersebut menjadi “badai sempurna” yang membuat gelombang kedua COVID-19 yang mematikan di India. (health.dektik.com, 28/4/2021)
Disamping itu, timbulnya rasa lelah dan menyepelekan pandemi pun jadi faktor yang tak bisa diabaikan. Munculnya kerumunan-kerumunan yang dibolehkan oleh penguasa India. Orang-orang yang mencukupkan diri dengan menggunakan masker ala kadarnya. Atau bahkan tidak menggunakan masker sama sekali dan tidak menjaga jarak. Walau berat mengakuinya, tapi bukankah ini juga yang terjadi di Indonesia?
Setahun bertahan dengan keterbatasan yang ada, akhirnya orang-orang lelah dan nekat berkerumun juga. Walau tak semua kerumuman diaminkan oleh penguasa, tapi kebijakan ini justru ditangkap sebagai inkonsistensi dalam penanganan pandemi. Mengapa rakyat tidak diijinkan mudik sementara dianjurkan untuk berwisata dan berbelanja? Apakah virus bisa memilih tempatnya?
Yang hadir justru rasa ketidakpercayaan pada kebijakan yang dikeluarkan. Benarkah kebijakan ini untuk rakyat?
Solusi Komprehensif
Seluruh dunia, juga Indonesia membutuhkan solusi komprehensif. Solusi yang mengakar baik untuk mengatasi penyakit atau juga dampak yang ditimbulkannya.
Dalam dunia Islam, sejarah mencatat keberhasilannya mengatasi wabah. Salah satunya pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Hal yang harus segera dilakukan adalah mengisolasi daerah yang terkena wabah. Untuk kebutuhan hidup warganya, ditanggung oleh negara.
Wilayah lain yang tidak terkena wabah bisa tetap beraktivitas agar roda perekonomian tetap berjalan. Sayangnya, ini tidak dilakukan saat terdeteksi virus sejak awal. Hingga saat ini kita tidak bisa memastikan daerah mana yang benar-benar harus diisolasi, siapa saja yang terkena. Sehingga semuanya merasa aman-aman saja, walau tak tahu pasti betulkah benar-benar terbebas dari virus.
Dalam Islam, saat pandemi datang, maka keselamatan rakyat menjadi prioritas. Karena kondisi keuangan negara Islam stabil dengan keberadaan baitul mal dan pos pemasukan yang banyak. Tak hanya bertumpu pada pajak dari rakyat. Walaupun kas baitul mal kosong, insyaallah semangat saling tolong menolong, sedekah, akan hadir pada diri kaum muslim untuk menyelesaikan wabah.
Sistem kesehatan yang baik dan bebas dari kepentingan korporasi pun akan lahir dalam sistem ini. Karena sistem kesehatan langsung dinaungi oleh pemerintah bukan swasta. Apalagi Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan rakyatnya akan kesehatan. Maka, dorongan iman dan takwa untuk memenuhi kewajiban ini pun akan hadir.
Inilah beda dunia antara Islam dan kapitalisme. Betapa islam bisa menyelesaikan wabah dengan komprehensif dan cepat, berbeda dengan sistem kapitalisme yang kini diterapkan di Indonesia. Lantas, masihkah kita berharap pada kapitalisme?
Wallahu a’lam bish shawab.