Oleh. Tri Silvia (Pemerhati Kebijakan Publik)
Muslimahtimes.com – Lebaran belum juga datang, kabar tak baik justru lebih dulu menyapa. Kita harus menghadapi serbuan barang impor lagi. Kali ini bukan beras, cabai ataupun bawang yang akan diimpor, melainkan ayam potong. Alhasil serbuan impor ayam ini pun akan mengancam industri domestik yang ada. Menariknya penyebab impor kali ini bukan karena minimnya stok dan kelangkaan barang di dalam negeri, melainkan sebagai konsekuensi kalahnya Indonesia atas gugatan Brasil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Bermula ketika Brasil mendaftarkan gugatan pada tahun 2014 lalu di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan keluhan penerapan aturan tak tertulis yang dianggap menghambat ekspor ayam Brasil ke Indonesia. Tiga tahun setelahnya, Indonesia diputuskan bersalah sebab tak mematuhi beberapa ketentuan dagang yang ditetapkan WTO.
Saat itu Indonesia sudah mulai mengubah beberapa aturan yang ada, di antaranya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 65 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan produk Hewan serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan Olahannya ke Dalam Wilayah NKRI. Namun sayangnya, Brasil tetap saja merasa tidak puas dan mengatakan bahwa Indonesia masih menghalang-halangi ekspor daging ayamnya dengan menunda sertifikasi kebersihan dan produk halal. Alhasil, tahun ini kita harus bersiap-siap untuk menghadapi impor ayam besar-besaran dari negara tersebut.
Persoalan industri ayam saat ini masih menjadi masalah yang amat pelik. Pasalnya daya saing pasaran yang masih sangat rendah, harga pakan dicurigai menjadi penyebab utamanya. Adapun masuknya ayam impor mengharuskan para peternak menekan harga ayam serendah mungkin untuk mengimbangi harga ayam impor. Padahal disampaikan sebelumnya, para peternak masih harus menghadapi masalah harga pakan yang tinggi. Ini menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi para peternak agar tidak gulung tikar.
Sungguh pilu kondisi tatanan negeri saat ini. Negara harus menerima semua aturan kapital besar yang ada, meskipun harus mengorbankan nasib rakyat pada akhirnya. Para pemegang kuasa tak sanggup memperjuangkan hak-hak rakyatnya sendiri, sebab bertekuk lutut di hadapan para pemilik modal. Hal ini bukanlah hal yang adil bagi rakyat kecil. Mereka harus berpikir keras dua kali, tentang bagaimana mereka bisa mengefesiensikan biaya pakan dan kini juga harus berpikir tentang serbuan ayam impor.
Tata aturan yang tak adil nyatanya tak hanya dirasakan di tataran konsolidasi internasional. Bahkan di tataran lokal, hal tersebut juga terjadi. Tingginya harga pakan ternak sebenarnya bisa saja diselesaikan dengan cepat oleh para pemegang kuasa seandainya saja mereka cermat dan tepat dalam memerhatikan masalah dan solusinya. Namun, aturan kapitalis lagi-lagi mempersulit itu semua. Mereka punya kerangka berpikir yang menutup jalan masuknya solusi.
Adapun Islam sendiri telah mengatur segala urusan yang terkait dengan ekonomi, baik yang bersifat makro maupun mikro. Begitu juga tentang perdagangan dan perjanjian internasional. Islam memandang bahwa permasalahan ekonomi terbesar adalah tidak terdistribusinya barang dan kekayaan dengan benar. Seorang Khalifah wajib menjamin pendistribusian tersebut berjalan dengan lancar tanpa adanya kecurangan ataupun penimbunan, sehingga harga barang-barang di pasar pun akan cenderung stabil.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang memandang bahwa permasalahan ekonomi terbesar adalah kelangkaan. Karena pemikiran tersebut, mereka tidak terlalu memerhatikan buruknya distribusi dan cenderung memikirkan tersedianya barang yang lebih banyak melalui unit-unit produksi tambahan (melalui penyaluran modal UMKM ataupun suntikan investasi, baik dari dalam maupun luar negeri), ataupun justru berusaha menyediakan unit barang yang dibutuhkan melalui kanal-kanal impor yang tersedia.
Adapun tentang perjanjian internasional, negara Islam memiliki kedaulatan penuh untuk ikut serta ataupun tidak dalam perjanjian-perjanjian internasional yang ada. Negara Islam pun dapat memilih dengan siapa mereka hendak bekerjasama, semisal dengan negara Kafir Harbi, maka negara Islam memiliki hak untuk tidak ikut serta dalam kerjasama, kecuali dalam kondisi yang sangat darurat.
Selain itu, negara Islam akan melihat dengan seksama isi perjanjian yang akan mereka masuki. Jika ada satu atau banyak poin yang tidak sesuai dengan hukum Syara’, maka negara Islam boleh keluar ataupun membatalkan perjanjian tersebut. Dan terakhir, negara boleh melakukan kerjasama dan perjanjian ketika ada kemaslahatan dan peluang untuk penyebaran dakwah.
Begitulah Islam, Islam memiliki kendali kunci dan rambu-rambu yang jelas dalam hal perjanjian atau kerjasama internasional. Sehingga negara Islam punya hak untuk turut serta atau tidak, bahkan untuk membatalkan perjanjian yang ada jika seandainya pihak lainnya melanggar rambu-rambu tersebut. Hal ini memungkinkan negara Islam bisa dengan tegas berkata tidak untuk perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan mengedepankan keuntungan material semata yang nantinya hanya akan membawa derita kepada rakyat nya sendiri.
Sayangnya hal-hal semacam itu tidak dikenal dalam konstelasi internasional saat ini, ketika sistem kapitalis masih bercokol di dalamnya. Dan untuk negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga, mereka selalu dianggap sebelah mata oleh negara lain, sehingga perlu mengejar eksistensi melalui perjanjian dan kerjasama yang ada meskipun akhirnya harus merugikan rakyatnya sendiri.
Itulah yang terjadi saat Islam tidak lagi diterapkan di muka bumi. Negara-negara dengan modal besar akan merasa berkuasa dan memanfaatkan negara dengan status berkembang dan dunia ketiga melalui perjanjian internasional yang ada. Hal tersebut akan terus terjadi selama negara-negara dunia masih bersikukuh memegang kapitalisme sebagai sistem kehidupan mereka.
Wallahu A’lam bis Shawwab.