Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
Muslimahtimes– “Tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan Haid untuk puasa,” begitu secuplik tulisan yang viral di akun instagram @mubahalah.id. (news.detik.com, 3/5/2021)
Tulisan ini jelas menuai kontroversi. Karena banyak yang mengecam, penulis pun menghapus tulisan asli dari laman Facebooknya. Namun, tulisannya masih bisa dijumpai di akun @mubahalah.id dan sudah di repost oleh akun lainnya, salah satunya akun instagram @indonesiafeminis.
Nyeleneh atas Nama Fiqih Progresif
Beberapa pihak yang pro pada pendapat pembolehan perempuan haid berpuasa tetap bersikukuh pada kebolehan ini atas nama fiqih progresif. Mereka mengutip pernyataan dua orang intelektual muslim kontemporer dari Mesir dan Turki. (Akun instagram @mubahalah.id, 4/5/2021)
Sementara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan perempuan dilarang melaksanakan puasa Ramadan saat datang bulan atau haid. Ketentuan itu sudah dijelaskan dalam hadis Nabi dan ijma atau konsensus ulama seluruh dunia. Pendapat bolehnya wanita perempuan haid berpuasa dianggap menyimpang dari ijma ulama. (news.detik.com, 2/5/2021)
Bebas Berpendapat
Bukan yang pertama kali kita dengar pendapat nyeleneh di negeri ini. Sebelumnya ada pendapat pembolehan perilaku l96t dengan dalil Allah menciptakan manusia berpasangan tidak harus laki-laki dan perempuan. Dengan sesama pun sudah dihitung berpasangan.
Masih banyak lagi kasus yang serupa. Lantas, pertanyaanya, mengapa hal ini terus terjadi di negeri mayoritas muslim? Benarkah ini bentuk kekayaan khazanah islam dalam ranah intelektual?
Tak dipungkiri, sistem yang diterapkan berpengaruh besar dalam membentuk peradaban dan lingkungan, juga opini yang berkembang. Dengan landasan kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku yang dilindungi negara, wajar jika muncul berbagai perilaku dan pendapat yang aneh bin nyeleneh.
Anggapan semua bisa diobrolkan, didiskusikan membuat banyak orang yang berani berpendapat menurut akalnya, tak peduli walau bertentangan dengan Al-Qur’an, sunnah, hingga ijma’ sahabat dan ulama. Apalagi kebebasan ini dipayungi hukum negara. Maka, tumbuh suburlah praktik agama yang menyimpang, bertentangan dengan syari’at, dan menyesatkan umat.
Penjaga Agama
Hal ini berbeda kondisinya jika islam diterapkan sebagai aturan kehidupan. Dalam islam, salah satu fungsi negara adalah sebagai penjaga agama. Negara harus melindungi kemurnian agama Islam.
Sebagaimana pernyataan Imam Ghazali, “Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”.
Betul, islam membolehkan perbedaan tapi ada batasan untuk boleh berbeda. Jika sudah jelas dalam Al qur’an, sunnah, ijma’ sahabat, bahkan qiyas. Maka, tidak boleh berbeda dalam hal tersebut. Apalagi ada kaidah yang menyatakan, “Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”
Dari kaidah tersebut, kita tidak boleh sembarangan melakukan ibadah baru dengan alasan mendekat pada Allah, atau mereka-reka tata cara ibadah versi lainnya, atau juga mengkhususkan ibadah dalam tempat dan waktu tertentu. Demikian, negara pun turut andil menjaga hal ini.
Menjadi PR besar bagi kita untuk terus belajar tsaqofah Islam yang benar, mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan mendakwahkannya pada umat. Karena kealpaan negara dalam mengurusi agama umat hari ini. Sehingga umat terombang-ambing dalam kebingungan bahkan kesesatan. Semoga Allah mengistikomahkan kita di jalan-Nya. Aamiin.
Wallahu a’lam bish shawab.