Oleh : Norma Sari
Muslimahtimes.com – Unggahan seorang wanita boleh berpuasa saat haid viral di media sosial. Unggahan itu ditayangkan di akun Instagram @mubadalah.id. Akun tersebut mengunggah pernyataan seorang wanita boleh berpuasa itu dengan sumber tulisan KH.Imam Nakhai. Tulisan di situs tersebut sudah dilihat 11,6 ribu kali. Namun, Imam mengaku sudah menghapus unggahannya terkait seorang wanita boleh berpuasa saat haid di akun media sosial pribadinya. Hal itu dilakukan karena telah memicu kontroversi. Namun tulisan tersebut sudah terlanjur menyebar dan viral. Unggahan mengenai pernyataan perempuan boleh berpuasa saat haid itu masih ada di akun Instagram dan situs mubadalah.id. Imam menegaskan dirinya tak pernah mengirimkan tulisannya ke situs manapun terkait dengan wanita haid boleh berpuasa. Menurutnya, tulisannya itu hanya diunggah di akun Facebooknya yang kini sudah dihapus.
Unggahan itu menyebutkan tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang melarang perempuan haid berpuasa. Kemudian, disebutkan juga bahwa hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra dan riwayat lainnya menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid dan tidak melarang puasa. “Tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan Haid untuk puasa. Ayat yang menjelaskan tentang Haid hanya menegaskan dua hal, yaitu; satu, bahwa melakukan hubungan seks dengan penetrasi (jima’) hukumnya haram, dan bahwa perempuan haid berada dalam keadaan tidak suci. Keadaan tidak suci hanya menghalangi ibadah yang mensyaratkan suci, seperti shalat dan sejenisnya. Sementara puasa tidak disyaratkan suci, yang penting “mampu” melakukannya,” demikian bunyi tulisan dalam postingan itu. Hal ini pernah Imam lontarkan dua tahun lalu, hanya saja banyak yang menolak.
Setahun lalu, Yulianti Muthmainah—waktu itu sebagai Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta—menyatakan hal yang sama, bahwa perempuan haid tidak dilarang berpuasa. Dalam pemahamannya, haid bukanlah darah kotor, tetapi sebagai darah sakit. Karena ketika perempuan sedang haid, artinya dia sedang sakit.
Mereka menjadikan Al-Qur’an dan hadis Rasulullah sebagai landasan argumentasi mereka, tapi dengan ditafsirkan sendiri . Hal inilah yang sesungguhnya akan mengecoh umat ketika tidak memeriksa kembali dalil-dalil yang mereka lontarkan dan menelaah lebih lanjut dalil tersebut. Ada beberapa hal yang patut dikritisi, karena sesungguhnya argumentasi mereka itu lemah jika dikaitkan dengan berbagai nash dan dalil syariat lainnya.
Pertama, hukum terkait ibadah bersifat tawqifi. Para ulama telah mengklasifikasikan puasa sebagai bagian dari ibadah mahdhah, dan hukum terkait dengan puasa ini—sebagaimana ibadah mahdhah lainnya—bersifat tawqifiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah.
Kedua, dalil syariat bukan hanya Al-Qur’an, tapi Al-Qur’an, hadis, ijmak, dan qiyas. Dalam kitab Asyakhshiyyah al-Islamiyyah juz 3 karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, demikian halnya dalam kitab Taysir al-Wushul ilal Ushul karya Syekh ‘Atha’ bin Khalil dijelaskan bahwa suatu keterangan yang bisa dijadikan sebagai dalil harus ditetapkan bahwa asalnya dari Allah Swt., yaitu dibawa oleh wahyu. Keterangan yang memenuhi kriteria ini hanya ada empat, yaitu Al-Qur’an, hadis, ijmak sahabat, dan qiyas. Dari penjelasan ini, dapat kita pahami bahwa yang dijadikan dalil atau rujukan hukum syariat bukan hanya Al-Qur’an, tetapi ada hadis, ijmak sahabat, dan qiyas. Ketika ada yang mengatakan bahwa berpuasanya perempuan haid tidak ada dalam Al-Qur’an, lantas mengatakan bahwa Islam tidak mengaturnya dan berkesimpulan boleh, ini jelas keliru. Mengapa? Karena terkait haramnya perempuan haid berpuasa, sekalipun tidak dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an, akan tetapi dijelaskan secara terperinci dalam hadis dan ijmak sahabat.
Ketiga, makna qadha. Kedua tokoh tadi menjadikan hadis Aisyah sebagai objek pembahasan, tetapi dengan penafsirannya sendiri. Mereka berpendapat Kata “Qadha” dalam hadis umumnya dimaknai “mengganti di luar waktunya”. Namun sesungguhnya, sangat mungkin bermakna “melaksanakan di dalam waktunya”. Kata “Qadha” dalam beberapa ayat bermakna “melaksanakan ibadah sesuai dengan waktu yang ditentukan”, bukan makna meng-qadha dalam arti mengganti. Dari penjelasan para ulama, makna kata “Qadha” ketika berhubungan dengan puasa, maka yang dimaksud adalah mengganti puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadan pada bulan-bulan selain Ramadan.
Keempat, dalil pengharaman puasa bagi perempuan haid tidak hanya hadis dari Aisyah. Jika kita telusuri lebih lanjut, sesungguhnya dalil pengharaman perempuan haid berpuasa tidak hanya hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah saja. Masih ada hadis-hadis lain yang berstatus bisa dijadikan hujah (argumentasi) untuk menjadi dalil permasalahan ini. Selain hadis Rasul, ada juga ijmak shahabat yang bisa dijadikan dalil tentang haramnya perempuan haid berpuasa saat Ramadan dan wajib untuk meng-qadha-nya pada bulan-bulan lainnya selain Ramadan.
Demikianlah, sesungguhnya Islam telah menjelaskan secara terperinci bahwa haram hukumnya seorang perempuan yang sedang haid untuk berpuasa. Hal ini didasarkan hadis-hadis sahih dan ijmak sahabat. Jadi, tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa perempuan haid boleh berpuasa saat Ramadan. Yang harus dilakukan seorang muslim adalah sami’na wa atha’na terhadap apa yang telah ditetapkan Allah Swt., serta berhati-hati terhadap orang-orang yang hendak memalingkan kita dari pemahaman Islam yang benar. Sehingga tidak mudah terkecoh oleh orang-orang yang tampaknya “membela Islam”, tapi sesungguhnya hendak menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang lurus.