Oleh. Zidniy Ilma
Muslimahtimes.com – Menuai kontroversi, postingan di media sosial terkait bolehnya wanita haid untuk berpuasa. Postingan tersebut diunggah di Instagram @mubadalah.id yang bersumber pada tulisan Imam Nakhai. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa wanita haid boleh berpuasa karena merujuk pada tiga hal. Pertama, tidak ada dalil Al-Qur’an yang mengatakan bahwa wanita yang sedang haid dilarang untuk berpuasa. Kedua, haid itu terkategori dalam sakit. Jadi saat haid seorang wanita boleh berpuasa. Ketiga, merujuk pada hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah melarang perempuan haid untuk salat, tidak halnya dengan puasa.
//Bolehkah Wanita Haid Berpuasa?//
Karena menuai kontroversi di kalangan masyarakat, akhirnya postingan itu dihapus oleh Imam Nakhai yang bergelar kiai. Dirinya menghapus tulisannya itu dari akun media sosial pribadinya, yaitu facebook. Sekaligus menjelaskan pada media bahwa tulisan tersebut tidak pernah dikirimkan ke media mana pun. Imam Nakhai tidak mengerti sama sekali saat tulisannya diunggah di instagram @mubadalah.id.
Lantas bagaimana sebenarnya hukum wanita berpuasa saat sedang haid?
Salah satu syarat sah puasa adalah tidak haid dan nifas. Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., “kami mengalami haid di masa Rasulullah Saw, kemudian kami kembali suci. Lalu beliau Saw memerintahkan kami untuk mengqadha puasa, dan tidak memerintahkan kami untuk mengqadha salat.”
Dari hadis ini, maka para ulama bersepakat bahwa wanita yang sedang haid dilarang untuk berpuasa, dan ia wajib menggantinya di luar bulan Ramadan. Ini adalah pendapat yang rajih (terkuat).
Maka, amat wajar jika postingan tersebut menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Karena sudah jelas hukumnya haram apabila seorang wanita berpuasa saat sedang haid. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hal tersebut. Menurut Katib Suriyah PWNU Jawa Timur, KH Safrudin Syarif, pernyataan tersebut adalah pernyataan yang merusak. Safrudin mempertanyakan, apakah Kiai tersebut sudah cukup memiliki ilmu untuk berijtihad atau tidak. Jika sudah cukup, seharusnya juga tidak ada yang namanya ihratul ijtima.
//Abainya Negara terkait Masalah Agama Akibat Sekularisme//
Rasanya sudah sangat sering kita menjumpai syariat Islam yang sudah jelas hukumnya namun dibahas dengan pandangan yang berbeda (menyimpang). Belum lama ini soal SKB 3 menteri yang memutuskan agar pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu. Di tahun 2020, Kemenag resmi menghapus di 155 buku pelajaran terkait ajaran jihad dan khilafah yang merupakan suatu kewajiban. Semakin kebelakang, di tahun 2019 pemerintah mengeluarkan wacana akan menggunakan dana zakat untuk menjalankan program SDGs (Sustainable Development Goals).
Nampak nyata, bahwa ketika membicarakan hal-hal yang berbau agama, khususnya Islam, negara akan abai. Malah justru bisa kita lihat bahwa negaralah yang “menyesatkan” masyarakat dengan aturan-aturan dan kebijakannya. Jadi tidak mengherankan, jika ada seseorang atau sekelompok orang mengeluarkan narasi yang bertentangan dengan syariat, negara akan membiarkannya. Wajar, karena negeri ini menganut sistem sekularisme, yang memisahkan peran agama dalam mengatur urusan masyarakat.
Syariat Islam akan terus diotak-atik oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab, bahkan oleh negara itu sendiri. Hal ini tidak hanya kita jumpai dalam negeri ini saja, namun di seluruh belahan dunia.
Majalah Charlie Hebdo asal Prancis yang telah dua kali menghina Nabi Muhammad dengan membuat gambar kartun beliau Saw dan dicetak di majalah tersebut, muslim Uyghur yang dipaksa minum alkohol dan makan babi oleh rezim Cina, dan masih banyak lagi. Pemimpin di negeri-negeri muslim hanya diam menyaksikan semua itu terjadi. Karena sejatinya, mereka juga melakukan hal yang sama (sekularisasi) di negerinya walau dengan “adegan” yang berbeda-beda.
//Syariat Terjaga dalam Khilafah//
Jika negeri dan dunia ini masih menerapkan sistem kapitalis sekuler, maka narasi seperti bolehnya wanita haid berpuasa akan terus ada, walau yang mengatakan adalah seorang kiai sekalipun. Narasi-narasi semacam ini akan terus bergulir, hilang timbul, dan bahkan beberapa (yang tidak sesuai syariat) sudah dilegalisasikan oleh negara. Tidak akan ada habisnya syariat Islam dipermainkan sesuai kepentingan pemangku jabatan.
Satu-satunya yang mampu melenyapkan pandangan menyesatkan adalah khilafah. Karena dalam khilafah, semua tindakan yang melanggar syariat adalah kriminalitas dan akan diberikan sanksi yang tegas. Sanksi yang akan didapat oleh pelaku adalah hukuman ta’zir. Ta’zir adalah sanksi yang kadarnya ditetapkan oleh Qadhi atau Khalifah. Bentuknya bisa berupa teguran, penjara, denda, pengumuman pelaku di depan publik, cambuk, atau bahkan hukuman mati. Hukuman ta’zir dijatuhkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukannya.
Itulah cara untuk menghilangkan narasi sesat terkait syariat Islam yang mulia. Cara yang harus dilakukan memang hanya dengan mengganti sistem kapitalis sekuler yang justru menumbuhsuburkan penyimpangan syariat Islam, menuju perubahan sistem, yakni sistem Islam (khilafah). Maka dari itu, satu-satunya cara adalah dengan memperjuangkan khilafah agar segera tegak dan diterapkan di bumi Allah ini.