Oleh : Soelijah Winarni
#MuslimahTimes — Kali ini seorang yang mengaku kiai, bernama Imam Nakhai di akun Istagram mubadalah.id mengunggah bahwa perempuan haid boleh berpuasa, karena tidak ada ayat Al Qur’an yang melarang perempuan haid berpuasa. Tulisan yang sudah dilihat 1,6 ribu kali tersebut telah dihapus pemiliknya.
Karuan saja pernyataannya menuai beragam kecaman yang intinya tidak sependapat, antara lain, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Masduki Baidhowi, menegaskan perempuan dilarang melaksanakan puasa Ramadhan saat haid. Ketentuan itu sudah dijelaskan dalam hadits Nabi SAW dan ijma atau konsensus ulama seluruh dunia.
Wakil Ketua MUI, Anwar Abas pun, menyatakan tak sependapat dengan pernyataan perempuan haid boleh puasa tersebut. Sumber hukum Islam tidak hanya Al Qur’an saja tetapi juga Al Hadits, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Kedudukan Al Hadits terhadap Al Qur’an diantaranya untuk melengkapi hukum yang tidak dijelaskan oleh Al Qur’an (detik.com, 2/5/2021).
Munculnya pandangan “nyeleneh” kali ini yang mengatasnamakan fikih progresif untuk kesekian kalinya adalah akibat dari abainya negara melindungi syariah. Negara yang mempunyai peran melindungi aqidah dan syariah tidak berjalan sebagaimana semestinya. Peran ini tunduk pada sistem demokrasi yang dianut negara dengan slogan kebebasan beragama sehingga negara tak ikut campur dalam menjaga urusan agama.
Penjagaan agama Islam hanya berhenti di tangan kaum muslimin sendiri. Peran negarapun tunduk dibawah slogan kebebasan berpendapat. Sebuah kebebasan yang menjadikan individu berhak menyatakan apapun tanpa pembatasan syariat yang akhirnya menggaungkan pendapat yang sudah jelas dilarang syariat bisa lolos begitu saja.
Faktor inilah yang menyebabkan penyesatan maupun pelecehan agama Islam akan terus bermunculan dengan kasus yang berbeda-beda. Ditambah sistem sanksi yang tidak tegas membuat pelaku pelecehan agama tidak jera berinovasi.
Beginilah jika umat Islam tinggal dalam sistem hasil kesepakatan manusia yang disebut demokrasi, dimana benar salah, halal haram, terpuji tercela, baik buruk berasal dari suara mayoritas. Pada akhirnya terjadi liberalisasi syariat yang makin menumbuh suburkan pandangan menyimpang yang menyesatkan umat.
Kondisi ini akan berbeda jika uqubat/sistem persanksian Islam diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem sanksi Islam bersumber dari dalil-dalil syariat memiliki ciri khas yang tidak dikenal dalam sistem sanksi manapun, yaitu sebagai pencegah (zawajir), agar masyarakat tidak mengulangi kemaksiatan yang sama dan sebagai penebus dosa pelaku (jawabir) agar terbebas dari sanksi di akhirat.
Seperti sabda Nabi SAW dari Ubadah bin Shamit : “Siapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahala disisi Allah. Siapa yang melanggarnya lalu diberi sanksi, maka itu sebagai penebus dosa baginya. Siapa yang melanggarnya, namun kesalahan (itu) ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki. Dia akan mengampuninya, jika Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya (HR. Bukhari).
Semua sanksi tindakan kriminalitas akan dipastikan mendapatkan kedua hal ini. Kriminalitas dalam Islam adalah sesuatu tindakan yang melanggar syariat Islam. Maka kasus pandangan “nyeleneh” terkategori pelanggaran syariat Islam sebab melecehkan syariat Islam. Sanksi yang akan diterima pelaku adalah hukuman ta’zir. Abdurahman Al Maliki dalam kitabnya Nidzhom Al Uqubat menjelaskan bahwa ta’zir adalah sanksi atas kemaksiatan yang tidak ada had dan kafaroh. Dengan adanya sanksi seperti ini tindakan pelecehan agama tidak akan terus menerus terjadi.
Semua ini butuh peran negara sebagai pelaksana, institusi ini bernama khilafah. Khilafah mewajibkan negara memiliki andil dalam menjaga aqidah dan syariah umat muslim. Hanya dalam Khilafah, syariat Islam akan terjaga.
Allahu ‘alam bishawwab.