Oleh. Tari Ummu Hamzah. (Anggota Revowriter Tangerang)
Muslimahtimes.com – Awal mula tonggak sejarah ritel modern di Indonesia terjadi pada tahun 1960-an dengan berdirinya Sarinah sebagai sebuah Toserba (toko serba ada) atau departemen store pertama di Indonesia, pada 23 April 1963 di jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Soekarno yang menggagas konsep Toserba ini dengan mengadopsi dari negeri Barat dan Jepang. (Kompasiana.com)
Namun di masa orde lama, tepatnya di tahun 1966, Indonesia mengalami inflasi yang tinggi sehingga menyebabkan perekonomian negara sempat kacau. Ini berakibat menurunnya daya beli masyarakat. Akan tetapi kondisi ini tidak berlangsung lama, sebab di tahun 1970-1980 Indonesia mengalami penurunan inflasi hingga 600% dan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 1,6%. Pendapatan per kapita kala itu $1200.
Kondisi ini ternyata memunculkan golongan ekonomi di masyarakat, yaitu kelas ekonomi menengah dan orang kaya baru. Golongan ini adalah orang-orang yang mulai mengejar kenyamanan, terutama soal belanja ritel. Masyarakat lebih menginginkan suasana belanja ritel yang nyaman dan modern, sehingga muncul permintaan tempat belanja yang nyaman. Akhirnya muncul tempat belanja ritel dengan konsep supermarket departemen store. Ini ditandai dengan munculnya Hero (1971), Ramayana (1983), Matahari (1986).
Sebenarnya konsep ini diadopsi dari Amerika. Sebab geliat ekonomi di Indonesia semakin tumbuh, industri pun semakin produktif dalam memproduksi barang secara masal. Sehingga butuh wadah untuk mendistribusikan barang. Salah satunya adalah perusahaan ritel. Kala itu perusahaan ritel mampu menggenjot saya beli masyarakat. Sebab konsep pasar modern dan penawaran barang yang ditawarkan, menarik perhatian masyarakat.
Ritel juga diharapkan mampu melakukan sinergi antarpasar modern dengan pengusahaan kecil dan menengah, koperasi, dan pasar tradisional. Sehingga diharapkan pasar modern mampu bertumbuh bersama dengan segmen usaha yang lain.
Namun, karena Indonesia menganut sistem kapitalis, yang mana kondisi ekonomi sering tidak stabil maka dimana ada era kejayaan sebuah perusahaan, disitu ada era kejatuhan yang menanti. Maka benar saja, ritel yang diharapkan sebagai sektor yang mampu menggenjot saya beli masyarakat akhirnya harus mengalami kelesuan usaha sejak tahun 2017. Mulai dari aksi tutup cabang yang dilakukan oleh Matahari, Lotus, Debenhams, hingga gulung tikar yang menimpa Sevel serta sepinya WTC Mangga Dua dan Pasar Glodok. (Detikfinance.com)
Pertanyaan terbesar masyarakat, apa penyebab hingga ritel harus berguguran? Ada beberapa faktor, harga yang terus melambung naik tapi upah buruh banyak yang tidak naik, managemen perushaan yang buruk, serta perilaku jual-beli masyarakat yang telah beralih ke e-commerce.
Kondisi kejatuhan ritel mencapai puncaknya di kala pandemi. Ritel tumbang satu persatu. Ini diakibatkan pelemahan daya beli masyarakat yang sangat menurun. Sebab pandemi orang menghindari kerumunan, daya beli pun mulai menurun, industri ikut lesu juga karena harus mengurangi jam kerja, lama kelamaan banyak PHK dimana-mana yang makin memperparah lemahnya daya beli masyarakat. Akhirnya mau tidak mau sektor ritel harus berguguran.
Inilah ekonomi kapitalis. Diterpa pandemi saja sudah membuat banyak sektor harus tersungkur. Lagi-lagi rakyat yang harus dikorbankan. Bahkan selama pandemi pemerintah lebih sigap menyelamatkan ekonomi ketimbang kesehatan masyarakat. Agak percuma sepertinya jika sektor ekonomi digenjot tapi daya beli masyarakat masih lesu. Sebab orang-orang lebih memilih berhemat ketimbang berbelanja. Sedangkan bantuan yang diberikan pemerintah tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Lalu untuk siapa pemerintah menggenjot ekonomi? Jelas untuk para pemodal dan konglomerat. Jerit hati mereka lebih didengar ketimbang jeritan rakyat. Sebab dari pemodal dan konglomeratlah pemerintah bisa mendapatkan investasi dan pajak yang besar dari usaha-usaha mereka. Adapun keselamatan dan kebutuhan pokok rakyat dikesampingkan.
Berbeda dengan sistem ekonomi dalam Islam. Ketika pandemi melanda di masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, konsentrasi negara adalah untuk menyelamatkan rakyat dengan melakukan lockdown total. Walaupun harus melumpuhkan perekonomian sementara, tapi negara memiliki kas negara yang bersumber dari berbagai harta kepemilikan negara dan memanfaatkan sumber daya alam, selain itu negara Islam memiliki sektor pangan yang cukup untuk keperluan mitigasi bencana. Di lain sisi, negara Islam selalu menggenjot sektor riil dalam mengelola keuangan negara. Sehingga jika terjadi bencana alam, maka negara mampu memberikan bahan-bahan pokok serta kesehatan yang memadai.
Inilah hasil jika kita mau untuk menerapkan Islam. Tak perlu rakyat yang harus dikorbankan, tetapi negaralah yang terus bekerja keras dalam menanggulangi pandemi, memberikan pelayanan kesehatan maksimal, mengelola distribusi pangan, serta mengembalikan ekonomi seperti sedia kala.