Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
MuslimahTimes.com-“Bersifat fiksi, hanya terdapat dalam khayalan”
Itulah definisi fiktif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jika disandingkan dengan cita-cita, angan, atau cerita akan terasa indahnya. Tapi jika disandingkan dengan data yang menyangkut hajat hidup rakyat, sungguh tidak Indah. Malah jadi sangat mendzalimi.
Dilansir dari laman kompas.com, ada 97.000 data “PNS misterius” hingga 2015 yang disebutkan masih mendapatkan gaji dan dana pensiun. Dari hasil Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS), penyebab ribuan data tersebut tidak terekam yakni karena mengalami kesulitan akses melakukan pendaftaran ulang, status mutasi, status meninggal, status berhenti atau sejenisnya yang tidak dilaporkan oleh Instansi kepada Badan Kepegawaian Negara (26/5/2021).
Kemana Uang Rakyat?
97.000 bukan jumlah yang sedikit. Kalau saja satu orang ASN mendapat jatah beli gorengan Rp 2 ribu per bulan. Maka, Rp194juta hilang entah dimakan siapa. Coba uang Rp 194 juta itu dibagikan sembako pada rakyat. Berapa rakyat yang akan bisa makan, tak kelaparan?
Itu baru dua ribu per bulan bayangkan gaji minimal Rp 2 juta per bulannya. Sudah berapa uang rakyat yang hilang entah kemana? Hampir 2 miliar bahkan lebih per bulan. Ironisnya ini terjadi selama bertahun-tahun. Bukankah ini sebuah bentuk kelalaian?
Uang digelontorkan pada manusia fiktif tanpa ada kontribusi kerja sedikit pun. Wajar jika rakyat mempertanyakan kinerja pegawai pemerintahan yang sudah digaji dengan uang rakyat. Karena faktanya, data fiktif ini bukan hanya terjadi pada kasus PNS saja, data bansos pun juga bermasalah. Dan ini terjadi saat kas negara tengah krisis menghadapi pandemi yang tak kunjung usai. Luar biasa!
Dilansir dari laman sindonews.com, anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, menduga terjadi kolusi yang menerima gaji dan iuran pensiun. (26/5/2021)
Pada rakyat beban pajak diberi, subsidi dikooptasi, sementara pemerintah lalai mengurusi. Dzalim memakai uang rakyat demi kepentingan sendiri. Astagfirullah.
Yang Penting Untung
Dalam sistem saat ini materi jadi tujuan inti. Semua dilakukan untuk meraih sebanyaknya materi tanpa melihat cara mencapainya. Ingatkah kita dengan teori ekonomi yang diajarkan di bangku sekolah. “Mendapatkan untung sebesar-besarnya, dengan modal dan usaha yang sekecilnya.”
Jargon ekonomi yang bertahun-tahun diajarkan sudah merasuk dalam diri. Sehingga tak dipungkiri apapun dilakukan demi meraup keuntungan bagi pundi. Wajar jika negeri ini subur dengan praktik kolusi, nepotisme juga korupsi.
Semuanya dilakukan demi keuntungan diri. Tak peduli lagi jika mendzalimi banyak rakyat bahkan membuat bangkrut negeri. Malapetaka di bumi pertiwi yang hancur karena anak negeri.
Tak Sekadar Data
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim seharusnya tahu jika Islam adalah aturan kehidupan yang sempurna. Islam juga punya aturan tentang ekonomi, politik, pemerintahan dan kepegawaian.
Dalam Islam semua distandarkan pada keimanan. Senantiasa diingat dalam benak setiap insan bahwa setiap perilaku akan diminta pertanggungjawabannya. Walau tiada satupun yang melihat, tapi ada Allah Maha Melihat. Boleh saja lolos dari hukuman di dunia tapi jangan harap lolos dari pengadilan di akhirat sana!
Disamping itu, pegawai pemerintahan dalam Islam bekerja bukan hanya karena data. Tapi, mengabdi pada umat, mengurusi urusan umat. Mereka pun paham tentang nafkah keutamaan dari usaha sendiri.
Tak hanya menyerahkan pada keimanan pribadi, evaluasi dan pengawasan ketat pun dilakukan setiap kepala masing-masing departemen. Khalifah tak kan segan memecat pegawai yang kedapatan tidak amanah, melanggar hukum dan menzalimi rakyat.
Sidak dan pemutakhiran arsip pegawai akan senantiasa dilakukan karena sadar beratnya pertanggungjawaban di hari akhir nanti. Sebagaimana Umar berpesan, “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab.”
Selain sanksi yang tegas, apresiasi pun tak segan diberikan pada pegawai pemerintahan. Sejarah mencatat, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, setiap pegawai negeri diberi tunjangan 300 dinar. Kesejahteraan diberikan agar para pegawai pemerintahan terhindar dari pengkhianatan.
Inilah indahnya Islam yang diterapkan sebagai sistem kehidupan. Rapi dan amanah dalam menjalani pemerintahan. Senantiasa terikat dan teringat beratnya hisab hingga berhati-hati dalam bertindak. Tak berani melalaikan amanah bahkan berperilaku dzalim.
Bukankah ini yang kita damba? Mari bersegera berjuang demi penerapannya secara sempurna.
Wallahua’lam bish shawab.