Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
#MuslimahTimes — “Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk hidup daripada mengakhiri hidup” (Albert Camus)
Kata mutiara di atas mewakili kondisi kehidupan yang penuh ketidakpastian ini. Kita butuh lebih banyak keberanian untuk hidup dalam ketidakpastian daripada mengakhiri hidup. Namun, sayangnya, saat ini banyak yang lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Seorang remaja pria berinisial A (16) ditemukan tewas usai melompat dari lantai 12 parkiran salah satu pusat perbelanjaan di Bandung. Remaja tersebut diduga bunuh diri. (Detik.com, 1/6/2021)
Walau belum diketahui pasti penyebab kematian sang remaja, tapi pada jasadnya tidak ada luka luar akibat kekerasan. Oleh karena itu, sementara disimpulkan bahwa sang remaja melakukan bunuh diri.
Fenomena Bunuh Diri
Bukan pertama kali terjadi kasus bunuh diri terjadi di negeri ini, atau khususnya di kota kembang. Data survey tahun 2019 pada mahasiswa semester satu menyebutkan, “30,5 persen mahasiswa depresi, 20 persen berpikir serius untuk bunuh diri, dan 6 persen telah mencoba bunuh diri seperti cutting, loncat dari ketinggian, dan gantung diri.” (kompas.com, 12/10/2019)
Depresi menjadi salah satu penyebab terbesar dorongan bunuh diri. Tekanan akademis, ketidakjelasan kelulusan, ancaman drop out, kondisi finansial, biaya hidup, hubungan dengan orangtua, guru atau dosen, juga teman ikut andil dalam faktor terjadinya bunuh diri.
Beragam permasalahan datang menghampiri hidup ini. Apalagi kehidupan kita memang penuh dengan ketidakpastian. Kekecewaan bahkan stress akan hadir jika ekspektasi kita tak sesuai dengan realita. Butuh pengelolaan pikiran dan emosi agar stress bahkan depresi tak menghampiri.
Siapa yang bisa memastikan kita akan sehat besok pagi? Siapa yang bisa memastikan kapan corona akan pergi? Siapa yang bisa memastikan kita bisa masuk universitas negeri? Siapa yang bisa memastikan kondisi finansial kita akan selalu cukup dan berlimpah? Tak ada! Karena hidup memang dipenuhi ketidakpastian.
Sekulerisme Biang Keladi
Tak dapat dipungkiri, jauhnya kita dari agama berdampak besar bagi berbagai fenomena yang terjadi, termasuk bunuh diri. Menanggap bunuh diri menjadi solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi. Walau ia dari kaum akademisi bahkan cendikiawan.
Inilah potret buruk pemisahan agama dari kehidupan. Sistem saat ini sudah nyata gagal mengurusi kondisi umat dari segala sisi, termasuk mental. Padahal, jelas agama mengharamkannya. Dalil tegas sudah disampaikan dengan nyata,
“Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.” (TQS. An Nisa: 29)
Nabi Muhammad mengatakan yang artinya “Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, ia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga ia mati. Allah Ta’ala berfirman: ”Hambaku mendahuluiku dengan dirinya, maka aku haramkan baginya surga” (HR. Bukhari no. 3463, Muslim no. 113).
Menjaga Kesehatan Mental
Lantas, apa yang perlu kita lakukan di tengah ketidakpastian ini agar tak stress? Ada, beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, kurangi ekspektasi tinggi pada apapun dan siapapun, termasuk pada diri. Belajar mengukur diri sendiri, orang lain dan kondisi. Berdamai dan menerima kondisi yang sebenarnya.
Kedua, lakukan olahraga secara rutin. Seperti pepatah menyatakan, “Di dalam tubuh yang sehat ada jiwa yang kuat. “
Tak perlu olahraga berjam-jam, cukup jalan santai 15-30 menit beberapa kali dalam seminggu. Biarkan oksigen segar masuk ke dalam otak membantu menjernihkan pikiran kita.
Ketiga, cari teman yang bisa membawa pada kebaikan. Manusia sebagai makhluk sosial tak bisa menelan pahit getirnya hidup sendirian. Ada rasa ingin berbagi dan didengarkan. Maka, carilah teman yang bisa berbagi, memotivasi, menginspirasi, menguatkan dalam kebaikan. Kala kita sedang merasa terpuruk, ia akan hadir tuk memeluk, dan menguatkan diri.
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, “Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang buruk, bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu, engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak sedap.” (HR. Imam Bukhari).
Terakhir, bekali diri dengan ilmu agama. Kalau fisik saja butuh olahraga dan makanan bergizi, maka pikiran kita pun harus diberi asupan agar bisa berpikir jernih. Memperdalam iman, belajar menyerahkan semua urusan pada Allah, percaya akan segala sesuatunya dari Allah, akan membantu mengurangi tingkat kecemasan kita. Apalagi percaya skenario Allah pasti baik untuk kita.
Insyaallah ketenangan akan hadir dalam diri. Karena menggantungkan semua permasalahan, dan urusan pada Sang Pencipta dan Pengatur.
Allah swt. berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”(TQS. ath Thalaq ayat 3)
Rasul pun bersabda, “Sungguh seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang”
(HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Mubarak dari Umar bin Khathab).
Mari kembali pada islam yang kaffah, islam yang sempurna. Mari kembali belajar menyerahkan semua urusan pada Allah Al Khaliq Al Mudabbir. Menyerahkan urusan akademis, keluarga, kerja, finansial, anak, dan lainnya hanya pada Allah.
Wallahua’lam bish shawab.