Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat)
#MuslimahTimes — Ibaratnya mencari jodoh yang gampang-gampang susah, bila tak tepat bisa berakhir ditengah jalan. Ini yang terjadi pada para elite politik negeri. Mereka pusing tujuh keliling mencari pasangan kerja selama lima tahun ke depan. Bila tak sesuai harapan rakyat, akan kalah dalam pertarungan demokrasi.
Beberapa partai telah melakukan manuver politik dengan mengajukan nama jagoannya untuk bertarung dalam pilpres di tahun 2024. ‘Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon menegaskan bahwa dirinya serius mengusulkan pasangan Ketua DPR RI Puan Maharani dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. (sindonews.com 5/6/7)
Tempo tiga tahun dalam mencari jodoh tidaklah cukup. Apalagi perubahan jadwal yang ditetapkan menjadi awal tahun 2024. Komisi II DPR bersama KPU menyepakati pencoblosan Pemilu 2024 digelar pada 28 Februari 2024. Kesepakatan itu diputuskan pada rapat bersama Komisi II kemarin. “Betul. Hasil konsinyering semalam, Kamis, 3 Juni 2021, dan keputusan bersama antara Komisi II, pemerintah, KPU, Bawaslu, dan DKPP,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim kepada wartawan, Jumat (4/6/2021). (detikNews.com)
Tak heran, koalisi menjadi opsi instan yang digemari partai politik untuk mendulang suara pemilih. Bahkan, menjadi faktor penentu kemenangan dalam pemilu. Sayang, mereka masih terjebak figuritas seseorang dalam menentukan kreteria calon. Jauh-jauh hari, mereka sudah melakukan survei untuk setiap pasangan calon. Mengukur elektabilitas setiap calon kandidat.
Selain itu, partai akan membentuk personal branding para calonnya. Menampilkan pemimpin idaman rakyat. Disertai karakter merakyat, sederhana, memiliki simpati dan empati terhadap penderitaan rakyat. Tidak lupa dengan tambahan segudang janji dan program-program menyejahterakan rakyat. Semua dilakukan demi mendongkrak elektabilitas calon kandidat.
Wacana koalisi partai merupakan hal yang lumrah dilakukan. Mengingat kepercayaan masyarakat saat ini terhadap partai politik mulai menurun. Cara ini menjadi solusi praktis untuk mengumpulkan suara massa saat pemilu. Ironi, ikatan politik ini adalah wujud kepentingan dan kemaslahatan partai semata.
Sistem demokrasi sekuler berhasil memaksa masyarakat untuk puas terkait partai-partai berkoalisi. Melahirkan calon pemimpin yang jauh dari aturan Allah subhanallahu wa ta’ala dan memiliki karakter kepemimpinan yang semu. Inilah salah satu prestasi sistem demokrasi yang mengaburkan sosok pemimpin ideal.
Sosok pemimpin ideal dambaan umat bukan sekedar seorang muslim dan merakyat. Tetapi dengan sistem apa ia menjalankan kepemimpinannya. Sistem yang menjadikan pemimpin sebagai pelindung umatnya. Seperti sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll.)
Sekiranya pemimpin yang kuat memiliki sikap tegas, berani melawan kezaliman dan tidak mudah ditekan partai atau pun asing. Pemimpin adalah mereka yang takut terhadap Allah dan menjalankan syari’atnya. Bersifat jujur, amanah dan adil. Sekiranya itu beberapa karakter yang harus dimiliki pemimpin ideal.
Namun, sistem rusak tidak akan mampu menghadirkan sosok pemimpin ideal tersebut. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan menciptakan pemimpin zalim melalui kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Sama seperti halnya partai politik yang terjebak politik praktis menjadikan partai sebagai alat meraih puncak kekuasaan dan menghilangkan peran dan tujuan partai.
Partai politik saat ini hanya menjadikan ideologi diatas kertas sehingga partai kehilangan ruhnya. Partai semacam ini mudah ditunggangi korporasi demi kepentingan mereka. Bahkan, rentan terjadi perpecahan dalam kubu partai yang diakibatkan ikatan anggota partai atas dasar manfaat. Miris, tidak ada satupun partai yang berhasil mencapai kebangkitan hakiki. Mereka sibuk menyelesaikan persoalan internal partai.
Dalam Islam berkumpul atas dorongan kepentingan merupakan fitrah manusia. Agar dorongan tersebut kuat harus diikat ideologi shahih yang berasal dari akidah Islam. Dengan demikian mampu melaksanakan tugasnya amar ma’ruf nahi munkar sesuai syari’at Islam. Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 104)
Ayat tersebut menjelaskan hakikatnya tugas partai politik. Semua aktivitas partai tidak lain menyeru kebaikan dan mencegah kezaliman. Sehingga, partai yang berkoalisi bukan lagi atas asas manfaat semata, melainkan atas dasar syari’at Islam. Semua partai yang berkoalisi hanya bertujuan untuk mengurusi urusan umat. Ini termasuk bagian peran startegi partai politik dengan melakukan perubahan ditengah masyarakat yaitu pemahaman politik yang benar dan pengurusan urusan umat dengan syari’at Islam.
Berbeda dengan partai politik ala demokrasi yang bersifat pragmatis. Inilah gambaran partai politik ideologis yang memiliki fungsi dan peran yang bertujuan mewujudkan kebangkitan hakiki. Dengan kesadaran politik umat yang benar, niscaya peradaban gemilang akan hadir kembali dibawah naungan daulah Islamiyyah.
Waallahu a’lam bis shawwab.