Oleh. Ari Sofiyanti
(Alumni Universitas Airlangga)
#MuslimahTimes — Tahun 2020 dan 2021 menjadi tahun terburuk dunia dalam menghadapi isu krisis pangan semenjak 50 tahun terakhir. Adanya pandemi Covid 19 berkepanjangan yang menerpa dunia, memperparah kejatuhan sistem pangan yang memang sudah menjadi isu global.
Data yang dikutip dari jurnal Global Report on Food Crises 2021(Gobal Network Against Food Crises dan Food Security Information Network), bahwa di tahun 2020 kemarin menunjukkan sepuluh negara dengan jumlah penduduk tertinggi yang terdampak krisis pangan, yaitu Haiti (4,1 juta); Zimbabwe (4,3 juta); Sudan Selatan (6,5 juta); Etiopia (8,6 juta); Nigeria (9,2 juta); Sudan (9,6 juta); Suriah (12,4 juta); Afghanistan (13,2 juta);Â Yaman (13,5 juta) dan Republik Demokrasi Kongo (21,8 juta).
Dalam jurnal ini juga disebutkan 3 kunci pendorong krisis, yaitu economic shocks, weather extremes dan conflict/insecurity. Namun, faktor pendorong terbesar bagi masalah krisis pangan ini ternyata adanya konflik yang menggangu keamanan pada 23 negara dengan jumlah penduduk hingga 99,1 juta jiwa berada dalam krisis.Â
Sebut saja Yaman, Afghanistan, dan Suriah yang mengalami konflik peperangan berkepanjangan. Warga sipillah yang menjadi korban. Mereka menanggung berbagai macam beban penderitaan, baik pria, wanita, anak-anak maupun lansia terbunuh di negeri mereka. Kelaparan senantiasa mengancam hingga terjadi gizi buruk yang mengakibatkan kematian.
Namun hal yang menjadi rahasia umum adalah bahwa konflik yang terjadi di negara-negara tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari intervensi negara Barat seperti Amerika, Inggris dan lainnya yang memiliki kepentingan untuk mengambil keuntungan dari konflik tersebut.
Di Indonesia sendiri rawan pangan dan kelaparan selalu menjadi isu yang belum dapat diselesaikan. Tahun 2020 Indonesia dalam data Indeks Kelaparan Global (IKG) termasuk dalam kategori moderat dengan skor 19,1. Sedikit lolos di bawah kategori serius dan menempati urutan ke 70 dari 107 negara (lokadata.id).
Ironis memang, bukankah selama ini negeri kita dilabeli sebagai negara agraris? Negara kepulauan dan maritim? Kita memiliki hamparan lahan pertanian yang amat luas. Memiliki laut dan samudera membentang di sekeliling kita. Hutan belantara sumber daya yang luar biasa banyaknya. Juga tambang yang kaya. Ini semua anugerah Yang Maha Kuasa. Maka, mengapa rakyat Indonesia kelaparan padahal lumbung pangan mengelilingi kita?
Seperti yang kita tahu, sumber daya alam di Indonesia telah diprivatisasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Misalnya tambang emas di Papua telah disedot kekayaannya selama bertahun-tahun oleh Freeport, sedangkan rakyat Papua menderita kelaparan. Luas hutan Indonesia yang menduduki peringkat ke 9, harus mengevalusi diri karena justru menduduki peringkat ke 3 dalam hal negara yang paling banyak kehilangan luas hutan. Hal ini disebabkan kebijakan HPH yang menguntungkan para kapitalis sehingga lebih leluasa dalam mengeksploitasi hutan milik umat.
Ironi ini juga terjadi di belahan bumi Sudan. Negara di benua Afrika ini memiliki sumber daya alam yang melimpah. Potensi tambangnya adalah emas, bijih besi, tembaga, minyak bumi dan gas alam. Meski demikian, faktanya kini 9,6 juta rakyat Sudan terancam krisis pangan.
Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh konflik. Dan lagi-lagi, negara asing ikut campur dalam memperparah konflik ini. Adanya skenario ini pernah dikonfirmasi Mendagri Israel Avraham ‘Avi’ Dichter. Kepada salah satu media Israel, pada Oktober 2008 silam, dia membeberkan motif di balik krisis Sudan, yakni dengan mengobarkan perang sipil.
”Sudan harus dipecah menjadi negara-negara kecil. Hal ini untuk menjamin dominasi kita terhadap kekayaan alam, sekaligus mengikis pengaruh Islam di sana,” kata Avi Dichter (Republika.co.id).
Semua ini menunjukkan kepada kita, bahwa sistem kapitalisme tengah mencengkeram leher kita. Para kapitalis tengah menjajah, mengeksploitasi kekayaan alam milik umat dan kebijakan negeri-negeri pun bernafaskan keuntungan duniawi semata. Sekularisme merasuk dalam mindset kita sehingga kita jauh dari Islam. Padahal Allah telah menegaskan penyebab dari kesulitan-kesulitan yang terjadi saat ini.
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Ta-Ha 20: Ayat 124)
Kemudian dalam ayat lainnya, Allah bertanya secara retoris.“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 50)
Kini kaum muslim tidak menerapkan hukum Islam secara utuh dan sempurna, melainkan hanya syariat yang sifatnya personal saja. Hukum kita diambil dari sistem yang lain, yaitu kapitalisme yang terbukti merusak. Umat muslim pun terpecah-pecah dalam sekat nation state dan tidak memiliki junnah yang akan melindungi kita dari musuh-musuhnya.
Sungguh kita merindukan penerapan Islam kafah sebagaimana di masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Kita menginginkan Khalifah yang amanah seperti Umar bin Abdul Aziz hingga saat itu kemakmuran digambarkan dengan tidak adanya seorang pun yang ingin menerima harta zakat. Kita juga merindukan masa ketika Khalifah melindungi kehormatan seorang muslimah yang ditarik jilbabnya dengan mengutus pasukan untuk memerangi negeri pelaku pelecehan yaitu Romawi.
Maka, tiadalah harapan lain bagi kita, umat muslim yang yakin atas kemuliaan hukum Allah selain mewujudkan kembali sistem Islam dalam kehidupan kita, dalam naungan Khilafah Rasyidah.
Wallahu alam.