Oleh: Eka Putry Azzuhra
Muslimahtimes.com – Bagi kaum muslimin, siapa yang tak ingin menjalankan rukun islam yang kelima. Ya, ibadah haji. Berangkat ke tanah suci, melaksanakan tawaf, sa’i dan berbagai hal yang ada dalam ibadah haji. Namun, sangat disayangkan setelah di tahun 2020 ibadah haji ditiadakan, di tahun 2021 ini kaum muslimin harus menelan kembali pil pahit, menahan rindu untuk mengunjungi Baitullah, sebab di tahun ini ibadah haji kembali ditiadakan.
Kekecewaan yang dirasakan bukan hanya kebijakan bahwa ibadah haji ditiadakan, namun juga karena alasan yang disampaikan kepada masyarakat atas peniadaan tersebut yang sangat mengherankan. Bagaimana tidak, seperti terdapat keganjalan pada penjelasan yang diberikan pemerintah sebagaimana yang dikutip dari Detik.com bahwasanya diketahui Keputusan pembatalan pemberangkatan ibadah haji itu dituangkan dalam Keputusan Menag No 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi. Ada sejumlah pertimbangan pemerintah yang dijadikan alasan keputusan ini dibuat. Keputusan ini merupakan keputusan final setelah mempertimbangkan keselamatan haji dan mencermati aspek teknis persiapan dan kebijakan otoritas Arab Saudi. Alasan lainnya, kebijakan itu dibuat lantaran pemerintah Saudi juga belum ada keputusan resmi tentang kuota untuk berbagai negara. “Jadi, pembatalan ibadah haji tidak ada kaitan dengan soal kuat lemahnya lobi pemerintah. Selama ini hubungan pemerintah Saudi dan Indonesia juga sangat baik,” kata Tenaga Ahli Utama KSP, Rumadi Ahmad, lewat pesan singkat, Jumat (4/6/2021).
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi lewat akun Twitternya telah menyebutkan bahwa 11 negara diperbolehkan masuk Arab Saudi, seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Prancis, Portugal, Swedia, Swiss, Italia, Irlandia hingga Uni Emirat Arab. Sayangnya, Indonesia masih belum masuk ke dalam daftar tersebut. Sungguh, hal ini tentu sangat mengecewakan Indonesia, mengingat Indonesia adalah salah satu negeri yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. Terlebih lagi, pembatalan ini terjadi dua tahun berturut-turut.
Sudah menjadi rahasia umum, banyak kaum muslimin di Indonesia yang berjuang mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi bisa melaksanakan rukun Islam yang kelima ini. Pembatalan ini, tentu sangat menggoreskan luka yang teramat dalam. Peristiwa yang terjadi ini pun masih menyisakan tanda tanya, di mana tanggung jawab negara dalam menjamin pelaksanaan ibadah utama bagi setiap warga negaranya? Jika yang masih menjadi alasan utama dalam kebijakan ini karena alasan Covid-19 dan untuk menjaga keselamatan calon jemaah haji, seharusnya pemerintah dapat konsisten memberlakukan kebijakan tersebut dengan lebih memperketat pembukaan mall, tempat-tempat wisata, dan segala tempat yang menjadi tongkrongan yang memicu berkumpulnya orang.
Allah Swt. berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran [03]: 97)
Dan dalam hadis, Nabi Saw. bersabda, “Wahai manusia, Allah Swt telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.”
Perintah yang tertuang dalam firman Allah dan sabda Rasul tersebut menggambarkan betapa pentingnya ibadah ini dikerjakan bagi orang-orang yang mampu. Islam, sebagai sebuah pedoman hidup sudah seharusnya menjadi sebuah sistem hidup pengganti atas sistem yang terus menyengsarakan masyarakat, yaitu kapitalisme. Dalam sistem Islam, pemimpin negara wajib untuk sungguh-sungguh mengurusi hajat hidup rakyatnya (raa’in), mulai dari urusan pangan, sandang, dan papan. Negara menjamin kebutuhan pokok rakyat, karena itu adalah amanah besar pemimpin yang akan dihisab oleh Allah Swt. kelak di hari kiamat.
Apabila kita melihat sejarah, pada masa negara Khilafah Islamiyah, terdapat beragam sarana dan bantuan yang disiapkan negara agar sempurna kewajiban haji warga negaranya. Negara Khilafah membentuk departemen khusus yang menangani ibadah haji dan segala hal yang dibutuhkan, juga membangun sarana prasarana transportasi, baik melalui jalur darat, laut, dan udara.
Pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid II, pernah dibangun sarana transportasi massal dari Istanbul hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Tidak ada visa haji pada masa Khilafah, sehingga seluruh jemaah haji dari berbagai negeri muslim dalam wilayah pemerintahan Islam bisa keluar masuk Mekah—Madinah dengan mudah tanpa visa. Visa hanya untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir harbi hukman (terikat perjanjian dengan Khilafah) atau negara kafir harbi fi’lan (yang memusuhi Khilafah secara terang-terangan).
Masya Allah, dengan berlakunya pengaturan yang mumpuni dan tanggung jawab oleh negara, maka ibadah haji dapat terlaksana setiap tahunnya. Wallahu a’lam bish-shawwab.