Oleh. Fatimah Fatmawati
Muslimahtimes.com – Kabar terkait utang dan kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mencuat. Dilansir dari detik.com (4/06/2021), Menteri BUMN, Eric Thohir menyatakan saat ini utang PT.PLN (Persero ) telah mencapai angka Rp500 triliun. Ia menegaskan banyak cara telah ditempuh untuk memperbaiki keuangan PLN, salah satunya yakni menekan belanja modal (capital expenditure/capex) sebesar 50%.
Selain PLN, lembaga BUMN yang turut mengalami kerugian yakni PT.Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang telah menanggung rugi sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp1,43 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) per bulan. Menurut Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, hal ini terjadi karena pendapatan setiap bulan yang diterima hanya US$ 50 juta, sementara pengeluarannya sekitar US$ 150 juta. (detik.com, 4/06/2021)
Kerugian yang sama juga dialami oleh PT.Waskita Karya Persero sebesar Rp7,3 triliun (Kumparan 14/04/2021). Adapun kondisi PT.Wijaya Karya (Persero) Tbk yakni laba perseroan terkontraksi dari Rp2,28 triliun menjadi kurang dari Rp185,76 miliar. Sementara itu, kinerja keuangan PT. PP (Persero) mengalami penurunan dari Rp819,4 miliar menjadi Rp128,7 miliar.
Bhima Yudhistira, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kerugian yang dialami badan usaha sektor konstruksi disebabkan karena ketidaksesuaian penugasan pemerintah dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional. Penugasan tersebut adalah pembangunan proyek infrastruktur sebelum hingga saat terjadi pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu. Fakta-fakta ini membuktikan ada yang salah dalam tata kelola BUMN, indikasinya BUMN merugi dan utang terus bertambah.
Kerugian BUMN ini tak bisa dilepaskan dari cara pandang kapitalis yang digunakan pemerintah dalam mengelola BUMN. BUMN tak ubahnya seperti korporasi swasta yang mengedepankan bisnis untuk mengejar keuntungan. Sehingga kinerjanya diukur dengan ukuran untung-rugi, sebagaimana korporasi swasta. Pembangunan infrastruktur digenjot terus-menerus berdasarkan tuntutan logika proyek tanpa ada kajian mendalam. Misalnya, proyek listrik 35.000 megawatt yang belakangan dihentikan karena konsumsi listrik tidak sebesar prediksi, sehingga terjadi over supply.
Demi mewujudkan proyek pembangunan infrastruktur, BUMN kembali dijadikan salah satu mesin penggeraknya. Konsekuensinya utang BUMN terus membengkak, ditambah lagi utang dalam pandangan kapitalisme adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan untuk pembangunan. Sebab sering sekali anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan sangat besar, sementara pemerintah hanya bisa mendanai kurang dari 40% nya saja, sehingga tindakan penguasa menambah utang untuk menutupi anggaran BUMN pun dimaklumi.
Inilah dampak buruk dari pengelolaan BUMN dengan cara pandang kapitalis. BUMN yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat banyak Justru diperah untuk memenuhi ambisi kepentingan penguasa. Fungsi bisnis BUMN akhirnya lebih menonjol daripada fungsi pelayanannya. Mirisnya, fungsi bisnis BUMN pun ternyata tak berjalan optimal menyumbang keuntungan pada negara. Sebaliknya, BUMN justru menjadi masalah bagi negara. Selain itu sedari awal problem mendasarnya adalah pengelolaan harta atau kekayaan negeri ini dengan prinsip kapitalisme neoliberal.
Aset strategis BUMN diperjualbelikan dengan mudah. Siapa yang memiliki modal besar dialah pemilik sesungguhnya, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang akan memuluskan jalan para korporasi menguasai aset-aset strategis negara. Inilah sistem kapitalis yang menjalankan konsep hurriyah milkiyah, yakni kebebasan kepemilikan. Konsep ini telah membebaskan manusia dari memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun. Berbeda halnya dengan Islam, Islam mengklasifikasikan harta publik sebagai milkiyah aammah (kepemilikan umum) dan milkiyah daulah(kepemilikan negara). Kepemilikan umum meliputi sektor yang memenuhi hajat hidup publik dan harta sumber daya alam yang tidak terbatas seperti air, infrastruktur jalan, energi, hutan, tambang dan lain-lain, sehingga tidak boleh dikelola selain oleh negara sendiri yang manfaatnya dibagikan kepada seluruh umat.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah Saw.:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. “(HR Ibnu Majah)
Rasul Saw. juga bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
“Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api. “(HR Ibnu Majah)
Keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja dengan akad ijarah atau kontrak. Negara tidak boleh mengambil untung dari harta milik rakyat ini bahkan harta milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara kepada siapa pun meskipun negara membolehkan orang-orang untuk mengambil manfaatnya. Maka sudah seharusnya pemerintah Indonesia berani mengambil alih sumber daya alam, khususnya tambang tambang yang besar yang selama ini dikuasai oleh swasta dalam negeri maupun luar negeri. Negara berhak mengelola dan memanfaatkan keuntungannya untuk membangun infrastruktur demi mewujudkan kemakmuran rakyatnya secara gratis dalam skala sebesar besarnya.
Adapun yang dimaksud milkiyah daulah atau kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah semisal harta Fai, kharaj, usyur, ghanimah dan sebagainya. Sesuai dengan kebijakannya khalifah berwenang untuk memberikan pengelolaan kepada rakyat atau dikelola oleh semacam BUMN yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan tidak berperan sebagai pebisnis ketika berhadapan dengan kemaslahatan publik. Di samping itu, negara tidak memungut biaya kepada rakyat terhadap pemanfaatan fasilitas umum karena hakikatnya fasilitas umum tersebut adalah milik rakyat, bukan kepemilikan negara. Namun konsep kepemilikan dalam Islam tidak dapat berdiri sendiri, ia merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu subsistem dari sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah.