Oleh. Henyk Widaryanti
Muslimahtimes.com – Tahu dan tempe adalah makanan favorit yang murah dan merakyat. Dari kalangan bangsawan hingga rakyat jelata mengkonsumsinya. Apalagi buat rakyat miskin, lauk berprotein ini menjadi andalan setiap hari.
Namun, pedagang kedua makanan itu kini sedang bimbang. Harga bahan dasarnya masih di atas awan. Menurut teras7.com (31/5/21), harga kedelai di Ngawi per 50 kg sebesar Rp530.000, -. Artinya per kilogram harganya Rp10.600,-. Sama halnya seperti yang diberitakan medcom.id (9/6/21), kenaikan bahan baku kedelai juga naik di Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Hal ini terjadi berbagai wilayah lainnya.
//Turunnya Harga Kedelai di Pasar Internasional//
Padahal, menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan sebagai mana dikutip oleh detikFinance (3/6/21), harga kedelai dunia mulai turun. Saat ini harga kedelai dunia menjadi Rp9.220,-/kg. Jadi, seharusnya harga kedelai di Indonesia juga ikut turun. Namun, kenyataan berbicara lain. Harga kedelai belum juga turun. Hal ini membuat para pedagang mengurangi besar tempe atau tahu. Bahkan ada juga yang akhirnya memilih menaikkan harga. Jika hal ini terus terjadi, bagaimana nasib para produsen tahu tempe? Sementara, daya beli masyarakat juga mulai menurun akibat pandemi. Kalau bukan bertahan dengan tahu tempe, apa lagi yang dapat dipakai untuk menambah sumber protein yang murah meriah?
//Belum Memberikan Solusi//
Selama ini, harga kedelai di pasaran lokal mengikuti harga pasar internasional. Hal ini disebabkan kebijakan pasar bebas yang berlaku bagi seluruh negara di dunia. Jadi kalau harga pasar Internasional naik, di daerah juga ikut naik. Namun, saat harga internasional sudah turun, nyatanya harga kedelai impor belum juga ikut turun. Mungkinkah ada masalah distributor yang nakal? Di zaman saat ini, orang akan rela melakukan apa saja demi uang.
Jikalau kedelai impor mahal, mengapa tidak memakai kedelai lokal? Jawaban para penjual hanya satu, “Kedelai lokal ukurannya kecil, jika dibuat tempe atau tahu tidak akan menghasilkan ukuran yang besar”. Tentu hal ini membuat para pedagang kesulitan. Sekaligus petani lokal juga kesusahan untuk menjual kedelai mereka. Hingga sekarang, belum ada solusi mengenai masalah ini.
//Butuh Kekuatan Idealisme//
Tidak selesainya permainan dagang kedelai memperlihatkan pemegang kebijakan kurang mahir dalam menyelesaikan masalah ini. Mengingat kejadian ini terjadi berulang kali. Kurang baiknya pengelolaan diakibatkan karena negara hanya berperan sebagai regulator. Bukan sebagai pengurus urusan rakyat. Sehingga negara hanya sebatas penghubung antara para kapitalis dan rakyat.
Berbeda dengan Islam, Islam akan memberikan fasilitas terbaik bagi rakyatnya, sehingga tidak akan membiarkan harga kedelai melejit tinggi. Mulai dari pengaturan impor, distribusi, mengembangkan teknik holtikultura sehingga ditemukan kedelai varietas baru yang lebih baik hingga meningkatkan teknologi pertanian. Semua itu dilakukan bukan mencari untung, tapi demi rakyat.
Kepengurusan itu membutuhkan dukungan biaya yang besar. Bagi negara yang hanya mengandalkan pemasukan dari pajak, tidak mungkin bisa melakukan pembangunan secara sempurna. Islam sendiri memiliki pos pemasukan yang banyak, mulai dari kharaj, fai, ghanimah, jizyah, harta tak bertuan, harta hasil kecurangan hingga pengelolaan sumber daya alam (SDA). Semua pemasukan itu akan cukup memelihara seluruh kebutuhan rakyat. Jadi, masihkah berpikir ribuan kali dengan tawaran Islam?