Oleh. Rifka Fauziah Arman, A.Md.Farm(Tenaga Teknis Kefarmasian dan Pendidik)
Muslimahtimes.com – “Indonesia… tanah air beta” dalam lirik lagu yang berjudul “Indonesia Pusaka” ciptaan Ismail Marzuki yang sering kita dengar itu kini menjadi ironi yang tragis di negeri ini. Tanah air beta tak lagi menjadi sebenar-benarnya tanah air karena datangnya berita pajak silih berganti dengan segala kontroversialnya. Beberapa hari yang lalu telah tersiar kabar bahwa sembako, biaya pelayanan kesehatan, sekolah, dan perguruan tinggi swasta akan dikenakan pajak atau PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Dilansir dari CNN Indonesia (12/06) bahwa rencana kebijakan di atas tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-undang No. 6 tahun 1984 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan(KUP).Berdasarkan informasi dari media sosial CNN bahwa yang akan dikenakan PPN, yaitu barang pertambangan dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk pertambangan batu bara, kemudian kebutuhan pokok atau sembako, jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan prangko, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum darat air dan udara dalam negeri maupun luar negeri, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum yang menggunakan logam, jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Makin banyak berbagai macam hal kebutuhan mulai dari yang primer sampai tersier menjadi sasaran pajak. Padahal seharusnya itu menjadi tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Dengan bocornya informasi mengenai penambahan berbagai hal yang akan dikenakan pajak, pihak Kementrian Keuangan berdalih bahwa pajak justru menolong rakyat. Dalam cuitannya di akun media sosial @FaktaKeuangan menyatakan bahwa mereka membantah bahwa pajak mencekik rakyat. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu juga berdalih bahwa pajak sejatinya menciptakan keadilan dengan bergotong royong. Dengan adanya pajak ini nanti bagi yang mampu membayar secara tinggi tapi nilainya rendah akan disiplin dalam membayar pajak sehingga membantu rakyat kurang mampu. Ia juga membantah objek jasa menjadi sasaran adanya penambahan pajak. (CNN Indonesia 12/06)
Dari pernyataan di atas jika dilihat pada faktanya saat ini, bagi rakyat yang memiliki harta banyak bayar pajak sangat sedikit bahkan ada yang sampai tidak membayar sama sekali, tapi jika rakyat kecil justru banyak sekali pajak yang harus dibayar. Pajak ini pun seperti menagih utang pada rakyat, diberikan denda saat telat bayar bahkan hingga diinformasikan lewat email pribadi demi pajak dibayar dan dilaporkan oleh rakyat. Barang kepemilikan sendiri terkena pajak, belanja di supermarket terkena pajak, makan di restoran terkena pajak, bahkan memesan makanan ataupun belanja online sekarang dikenakan pajak.
Kondisi rakyat Indonesia sangat memprihatinkan dari sisi ekonomi, tapi justru direnggut sedikit-sedikit hingga seperti tidak bebas dalam harta miliknya sendiri.
Berita tentang pajak ini tentu saja dikritik oleh berbagai pihak karena sudah mulai menyentuh kebutuhan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Seperti tidak ada cara lain untuk menambah kekayaan negara selain dari pajak. Padahal Indonesia merupakan negara yang kaya dengan alam yang sangat melimpah, ada emas, perak, minyak, batubara dan masih banyak lagi. Tapi nyatanya semua itu dikuasai asing dan pihak swasta yang memiliki kedudukan di pemerintah.
Kekayaan alam direnggut untuk memperkaya diri mereka sendiri, tapi rakyat tidak mendapatkan apa pun dari hasil tanah airnya sendiri.
Kembali lagi mengenai masalah pajak, ini bukanlah masalah baru. Banyak rakyat yang komplain dengan adanya pajak ini. Bagaimana jika di dalam Islam? Apakah ada pajak dalam Islam?
Pajak memang ada dalam is
Islam tapi hanya digunakan secara insidental dan memiliki syarat khusus. Tidak sembarangan dan memaksa seperti pajak yang saat ini kita bayar. Di dalam daulah khilafah islamiyah (negara Islam) itu terdapat Baitul Mal yang menjadi pusat penyimpanan harta milik negara. Asal harta tersebut bisa dari berbagai macam, mulai dari (1) Fai’ (harta yang diperoleh dari kaum kafir tanpa peperangan misalnya ghanimah (harta rampasan perang), anfal (jarahan), khumus. (2) Jizyah (pajak yang dibayarkan oleh kaum kafir yang ada di dalam daulah), (3) Kharaj (pembayaran hasil tanah yang dibayarkan oleh kaum kafir), (4) Usyur (harta yang diperdagangkan saat melintasi batas negara), (5) Harta milik umum yang dilindungi negara, (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara, (7) Khumus rikaz dan tambang , (8) Harta orang yang tidak memiliki ahli waris, (9) Harta orang murtad.
Atas perincian dana yang ada dalam Baitul Mal satu pun tidak ada yang meminta kepada rakyat miskin bahkan memaksa umat untuk membayar tanpa alasan yang jelas sesuai syariat. Baitul mal memang justru didapatkan dari yang benar-benar dihasilkan oleh negara. Seperti sumber daya alam maupun dari para kaum kafir. Tapi jika Baitul Mal sudah habis dan sudah tidak ada lagi tersisa persediaan dana untuk negara, barulah seorang khalifah akan memakai prinsip pajak ini kepada umat tapi bukan kepada umat secara merata, melainkan kepada yang memiliki harta lebih. Itu pun ia harus memenuhi kebutuhan keluarganya terlebih dahulu semuanya, jika masih lebih barulah ia akan diminta pajak oleh khalifah.
Tidak seperti Indonesia saat ini, rakyat miskin dikuras habis-habisan untuk membayar pajak tapi bagi yang kaya, pajak direlaksasi.
Sebagai contoh, saat ingin berangkat dan mempersiapkan perang Tabuk, kala itu Rasulullah Saw membutuhkan persediaan makanan dan transportasi yang sangat banyak sampai Rasulullah meminta kepada para sahabat siapa yang ingin membantu persediaan perang saat itu, sampai akhirnya para sahabat berlomba-lomba menggelontorkan seluruh hartanya untuk perang Tabuk dimana perang itu menjadi perang terakhir yang beliau ikuti sebelum wafat.
Memang hanyalah Islam yang memiliki solusi adil dan pasti sesuai dengan keinginan dan kebutuhan manusia. Negara dan para kapitalis yang berutang pada pemilik modal asing dan aseng, tapi semua itu dibebankan pada rakyat secara merata. Bahkan sampai mengatasnamakan pandemi sebagai alasan adanya perencanaan pajak tersebut. Jika memang menyejahterakan rakyat, mengapa fakta yang ada justru rakyat malah tercekik. Tak sedikit yang mengeluh harus lapor pajak tiap bulan, membayarnya, dan jika telat didenda semacam utang pada rentenir. Padahal yang mendapatkan komisi atas bisnis dan berkembangnya negara ini adalah para penguasa, tapi rakyat yang harus menanggung perbuatan mereka semua. Inikah sistem yang adil? Inikah pemerintahan yang diimpi-impikan? Tentu saja bukan. Mari kita kembali pada Islam yang datangnya dari Sang Khaliq, tak ada solusi yang menambah masalah, justru Islam menawarkan solusi pasti. Solusi yang sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Solusi yang datangnya dari pencipta, tentu paling tahu apa yang terbaik untuk ciptaannya.
Wallahu’alam bisshawwaab