Oleh: Eni Imami, S.Si (Pegiat Literasi)
Muslimahtimes.com – Belum sirna keresahan rakyat dari ancaman Covid-19 dan ekonomi yang babak belur, wacana baru muncul. Sembako akan dikenai pajak. Tak hanya itu, sejumlah layanan jasa seperti pendidikan dan kesehatan juga akan dikenai pajak. Tanpa pajak rakyat sudah kelimpungan memenuhi kebutuhan hidup, apalagi dikenai pajak. Lengkap sudah derita rakyat.
Melalui akun Twitter-nya, @prastow, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo tak membantah mengenai kemungkinan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) sembako. Hal tersebut tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Di dalam draf revisi tersebut, sembako tak lagi termasuk dalam obyek yang PPN-nya dikecualikan. (Kompas.com, 10/6/2021)
Sembako yang bakal dikenai PPN meliputi, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. Sebelumnya, barang-barang tersebut tak dikenai PPN karena menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.
Dilansir dari laman tribunbisnis.com (12/6/2021), melalui akun Instagram resminya Ditjen Pajak @ditjenpajakri, menilai bebasnya sembako dari PPN selama ini tidak memenuhi rasa keadilan. Menurutnya, konsumsi beras premium dan beras biasa yang sama-sama tidak kena PPN itu tak adil. Les privat berbiaya tinggi dengan pendidikan gratis, sama-sama tidak kena PPN juga dianggap tak adil. Karena itu, Ditjen Pajak menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (RUU KUP) untuk mengubah sistem perpajakan tersebut.
Masyarakat di kalangan grassroot hingga pengamat menilai kebijakan ini sangat zalim. Keadilan seperti apa yang hendak diwujudkan? Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai wacana penerapan PPN pada sembako ini justru sebaliknya, tidak mencerminkan keadilan. Buktinya, penguasa memberikan relaksasi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar nol persen pada mobil baru. “Sehingga ini sama sekali tidak mencerminkan keadilan. Karena justru orang menengah ke bawahnya yang sebagian income-nya habis untuk dikonsumsi harus membayar PPN juga,” kata Eko kepada BBC News Indonesia, Kamis (10/6/2021).
Sepertinya penguasa tengah kalap dengan kondisi keuangan negara. Utang menggunung dan pajak yang menurun membuat mereka berfikir keras. Memperluas objek pungutan pajak. Karena selama ini pajak dijadikan sebagai tulang punggung negara. Pendapatan pasti tanpa harus keluar modal untuk eksplorasi.
Meski berdalih penguasa tidak membabi buta dalam memungut pajak, seperti pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (idntimes.com, 15/6/2021) bahwa sembako yang dijual di pasar tradisional tidak akan dikenai pajak. Produk impor seperti beras premium basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5 hingga 10 kali lipat yang dikonsumsi masyarakat kelas atas, inilah yang akan dikenai pajak. Tetap saja menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat.
Menjadikan pajak sebagai tulang punggung negara merupakan paradigma keliru. Namun dibenarkan dalam sistem kapitalisme. Pajak dijadikan bagian dari kebijakan fiskal untuk membantu negara mencapai kestabilan ekonomi. Pendapatan dari pajak dikelola untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Seperti tersedianya fasilitas publik dan pelayanan kesehatan yang mumpuni. Namun, faktanya begitu banyak pungutan pajak tetapi rakyat tak kunjung hidup sejahtera.
Dengan menjadikan sembako sebagai objek pajak, berarti produk hasil pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan bakal jadi barang yang dikenai tarif PPN. Hal ini akan memberikan efek buruk bagi perekonomian negara. Harga sembako disinyalir akan naik karena biaya produksi tinggi. Akibatnya konsumsi masyarakat menurun. Barang-barang yang tak terkonsumsi membuat mekanisme pasar macet, bisa jadi produsen banyak yang gulung tikar, PHK besar-besaran tak terelakkan. Masyarakat kian sengsara.
Sungguh ironis, inilah potret negeri kaya sumberdaya alam tapi terkungkung paradigma kapitalisme. Sudahlah gagal mengelola sumber daya alam, rakyat dijadikan sapi perah untuk menggenjot pendapatan negara atas nama pajak. Selama negara menerapkan sistem kapitalisme, objek pajak dan mekanisme pajak akan terus diciptakan dan sasarannya adalah rakyat.
Pajak bukanlah tulang punggung negara, inilah paradigm dalam sistem Islam. Dalam fikih Islam, istilah pajak dikenal dengan dharibah. Dipungut apabila Baitul Mal (kas negara) benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Jadi dalam kondisi khusus dan darurat saja dharibah dipungut. Tidak menjadi pendapatan tetap sepanjang zaman seperti pajak dalam sistem kapitalisme saat ini.
Pungutan dharibah harus memenuhi empat syarat: (1) diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat; (2) hanya diambil dari kaum Muslim saja; (3) hanya diambil dari Muslim yang mampu (kaya), yaitu yang memiliki kelebihan setelah tercukupi kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, dan papan secara sempurna; (4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam)
Apabila kebutuhan Baitul Mal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan tetap negara, maka pungutan pajak harus dihentikan. Adapun sumber pendapatan negara yang masuk ke Baitul Mal diperoleh dari: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad.
Selain itu, masih ada dua sumber penerimaan negara, yaitu bagian kepemilikan umum dan shadaqah. Syeikh An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah Fasilitas/ sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/ komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, jalan-jalan umum. Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, danau.
Sumber penerimaan dari kepemilikan umum itulah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi negara. Negara mengelola kepemilikan ini secara mandiri. Semua ini dapat terealisasi ketika sistem negara bertumpu pada sistem Islam. Sistem yang dibawa oleh Rasulullah Saw yang kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin, dan Khalifah-Khalifah setelahnya. Saatnya mengakhiri derita hidup dengan menerapkan sistem Islam. Allahu ‘alam bi Showab.