Oleh : Uqy – Chan (Komunitas Pena Cendekia)
Muslimahtimes.com – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga kini masih hangat diperbincangkan. Ada istilah baru yang masih asing di telinga masyarakat, yaitu marital rape. Marital rape merupakan suatu perbuatan paksaan hubungan intim suami pada istri atau perkosaan dalam perkawinan. Korbannya rata-rata adalah para istri. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengungkap data aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami, berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan.
Namun di Indonesia, kasus marital rape telah diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Guru besar hukum pidana dari UGM, Prof Marcus Priyo Gunarto, mengatakan bahwa marital rape ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT, yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan. Misalnya seperti yang pertama terjadi di Denpasar pada 2015, yaitu Tohari memperkosa istrinya yang sedang sakit. Beberapa pekan setelah itu, Siti meninggal dunia. Atas hal itu, ia dijatuhi hukuman 5 bulan penjara. Sedangkan Hari Ade Purwanto memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai dengan agama yang ia yakini. Namun pembelaan dirinya ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara. (news.detik.com, 16/6/2021).
//Mewaspadai Marital Rape : Agenda Kaum Feminis//
Marital Rape merupakan istilah asing yang berasal dari ide feminisme (gender). Lahir dari rahim sistem Sekuler liberal yang memisahkan aturan agama dari kehidupan sehingga bisa bebas dalam melakukan perbuatan apapun tanpa harus ikut campur tangan agama sedikit pun. Konsep marital rape adalah tidak boleh ada suatu paksaan dari suami kepada istri dalam bentuk ancaman, baik berupa ancaman fisik, cerai, dan lain-lain. Jika ada, maka itu termasuk pemerkosaan. Suami pun tak boleh memberi sanksi ketika istrinya menolak. Jelas konsep ini salah kaprah.
Karena itu, konsep marital rape dapat menyamarkan pemahaman Islam tentang sebuah ketaatan seorang istri pada suami. Konsep ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup keluarga muslim. Lambat laun keluarga muslim dibuatnya hancur tercerai- berai. Institusi keluarga menjadi target dan prioritas kaum feminis. Dalam keluarga, jika pola pikir perempuan jauh dari Islam maka mudah sekali untuk menghancurkan institusi keluarganya. Terlebih menghancurkan hukum syariat Islam yang mengatur keluarga.
Marital rape tidak lain adalah propaganda baru kaum feminis. Istilah marital rape tidak pantas dikaitkan dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Justru menimbulkan kerancuan. Fakta kekerasan dan solusi hukum syariatnya berbeda. Bahkan istilah ini tidak ada dalam Islam. Yang ada hanya akan semakin melemahkan hukum perkawinan Islam. Karena itu umat Islam harus waspada dengan propaganda yang berasal dari kalangan feminis yang mengarahkan pada pembelaan hak-hak perempuan melalui jalur legislasi seperti UU PKDRT. Sejatinya UU tersebut menjebak pasutri agar tak ingin lagi diatur dengan hukum syariat Islam.
//Solusi Atasi Marital Rape//
Marital Rape bak racun yang telah merasuki benak kaum muslim. Oleh karena itu, solusinya bukan dengan menghapus hukum syariat Islam. Karena hukum syariat Islam pasti membawa ketenangan dan keadilan lahir batin. Sebaliknya, hukum selain Islam memunculkan perselisihan di antara manusia. Marital rape hanyalah lahir dari sebuah kebebasan dan cara pandang sekuler. Padahal telah terbukti aturan sekuler hingga kini tak mampu atasi masalah rumah tangga.
Islam bukan saja sebagai agama, namun lebih dari itu, Islam melahirkan hukum yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta yaitu Allah Swt. Islam mengatur sedemikian rinci masalah pergaulan pasutri. Dalam Islam ada hak dan kewajiban bagi para istri. Pun dengan suami berkewajiban memperlakukan istri dengan cara yang baik. Pergaulan di antara pasutri adalah pergaulan persahabatan. Islam memerintahkan para istri untuk taat kepada Allah dan menjaga diri ketika tak ada suami. Pasutri wajib berlemah lembut dan melihat kondisi saat meminta sesuatu termasuk dalam berhubungan intim.
Pernikahan bukan saling menuntut satu sama lain, akan tetapi membangun keluarga berlandaskan cinta dan ikhlas karena Allah. Menjalankan perannya masing-masing tanpa saling merugikan niscaya tercipta keharmonisan. Namun keharmonisan senantiasa tercipta manakala didukung oleh penerapan Islam secara menyeluruh oleh negara. Dengan demikian, hukum Islam akan menjadi landasan yang kuat dalam keluarga dan bernegara. Bentuk kekerasan pun dapat dicegah dengan mudah, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Karena semua interaksi berbasis hukum syariat Islam. Sudah saatnya negara melindungi institusi keluarga dengan solusi hukum syariat Islam agar tak ada lagi fitnah yang menimpa umat Islam.
Firman Allah Ta’ala, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah [5]: 50)
Wallahua’lam bisshowab.