Oleh : Binar Iftikar
MuslimahTimes.com–Salah satu faktor penyebab kejahatan merajalela adalah hukum yang tak bisa memberi efek jera. Tindak kriminalitas semakin meluas bisa jadi karena penegakan hukum yang tidak mampu adil dan tegas.
Ramai pemberitaan kasus suap yang menjerat Pinangki Sirna Malasari setidaknya memberikan gambaran tersebut di atas. Bagaimana tidak, seorang Jaksa Agung Muda yang telah terbukti bersalah melakukan 3 tindak pidana kejahatan sekaligus, justru mendapatkan potongan hukuman yang luar biasa. Padahal jika mengingat statusnya sebagai anggota lembaga peradilan yang tentu sangat paham hukum, seharusnya hukuman yang dijatuhkan bisa lebih berat.
Seperti diketahui, Jaksa Pinangki telah terbukti menerima suap sebesar 500 ribu dolar Amerika dari terpidana kasus Cessie bank Bali Djoko Tjandra. Kemudian melakukan pencucian uang senilai Rp5,253 miliar serta bermufakat jahat untuk mengagalkan eksekusi Djoko Tjandra. Awalnya vonis hukum atas kasusnya 10 tahun penjara dan denda 600 juta rupiah. Tapi kemudian hakim pengadilan tinggi tingkat banding justru memberi diskon menjadi 4 tahun penjara dan denda 600 juta. Dengan alasan tersangka sudah mengakui dan menyesali perbuatannya. Rela dipecat dari jabatan jaksa hingga pertimbangan statusnya sebagai ibu dari anak balita. (dari berbagai sumber)
Ironis memang, bagaimana mungkin dalam menghukumi perkara yang sama putusan hakim bisa berbeda. Terlebih dengan selisih vonis yang sangat jauh. Di mana letak keadilan, sedang seorang kakek berusia 68 tahun saja divonis 2 bulan penjara hanya karena mencuri getah karet seharga Rp17 ribu. Atau seorang pencuri telur senilai Rp352 ribu bahkan mendapat ancaman sampai 7 tahun penjara.
Bagaimana bisa, putusan hukum bagi pejabat korup lebih ringan daripada ancaman hukum seorang pencuri telur. Jika penegakan hukum berjalan seperti ini, sulit rasanya berharap para koruptor jera. Belum lagi jika ada potensi tawar putusan melalui proses banding, yang tidak dipungkiri seringkali menjadi lahan jual beli putusan untuk meringankan hukuman. Jangan heran jika nanti muncul Pinangki-Pinangki baru. Apalagi ketika status gender bisa jadi alasan. Atau cukup dengan lisan berucap sungguh-sungguh mengungkapkan rasa penyesalan, hukuman pun ternyata bisa lebih ringan.
Hukum Sekularisme Sumber Masalah
Berbagai peristiwa penegakan hukum yang cenderung tidak memenuhi rasa kedilan dan ketegasan ini adalah konsekuensi ketika negara mengadopsi sistem hukum dan peradilan Barat yang berasaskan sekularisme. Dimana dalam pengaturannya, manusia punya wewenang sepenuhnya dalam memproduksi aturan hukum. Asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan ini mengesampingkan Allah Swt sebagai pencipta manusia untuk ikut mengatur interaksi kehidupan termasuk urusan hukum. Ketika manusia yang lemah dan terbatas punya kendali penuh dalam menghukumi sebuah perkara, hasilnya mustahil mencapai keadilan sempurna. Apalagi jika sudah ada kepentingan yang bermain di dalamnya. Maka lihatlah, berulang kali pejabat atau aparat negara korup tertangkap dan diadili, tapi korupsi bukan musnah malah semakin membuncah. Hal ini semakin menguatkan bahwa hukum sekularisme memang telah gagal menumpas kriminalitas.
Hukum Islam Adil dan Tegas
Kontradiktif dengan hukum sekularisme, sistem peradilan Islam sangat adil dan tegas. Karena menjadikan syari’at Allah Swt sebagai sumber hukumnya. Segala bentuk aturan hukum berlandaskan ketetapan Illahi. Manusia hanya berhak menjalankan undang-undang syari’at tersebut, bukan menetapkan hukum sekehendak hati atau berdasar hati nurani semata. Hukum yang bersandar pada wahyu tidak akan berubah sampai kapan pun. Aparat lembaga peradilan sekali pun, tidak punya wewenang membuat dan mengubah hukum yang bisa membuka celah vonis hukum jadi lahan bisnis mereka.
Dalam Islam tidak ada diskriminasi apalagi hak istimewa. Laki-laki, perempuan, kaya, miskin, pejabat atau rakyat biasa, ketika melakukan pelanggaran tetap akan diadili sesuai dengan hukum syari’at yang berlaku.
Pernah suatu ketika pada masa Rasulullah Saw seorang perempuan dari kalangan bangsawan Bani Makhzum melakukan pencurian. Ketika para pembesar kaumnya meminta Usamah bin Zaid membujuk nabi Muhammad Saw agar meringankan hukuman, Rosulullah dengan tegas bersabda :“ Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah tatkala ada orang yang terhormat mencuri mereka biarkan, tapi jika orang lemah yang mencuri mereka menghukumnya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya akan aku potong tangannya.” (HR al-Bukhari)
Sungguh inilah potret keadilan hukum Islam yang tegas dan paripurna. Rasulullah bahkan mengandaikan tidak akan membiarkan putrinya sendiri lepas dari hukuman jika melakukan pelanggaran.
Selain sangat adil dan tegas, mekanisme peradilan Islam juga sangat praktis. Ketika majelis hakim sudah menjatuhkan vonis sebuah perkara, maka hukuman tersebut sifatnya mengikat dan tidak bisa diubah oleh keputusan pengadilan manapun. Terkecuali jika putusan tersebut menyalahi hukum syari’at atau tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Jadi tidak ada istilah banding dalam hukum Islam. Sehingga tertutup kemungkinan ada celah kompromi antara terdakwa dengan aparat peradilan.
Penerapan hukum dalam sebuah negara sangat penting untuk diperhatikan. Karena segala bentuk kejahatan bisa diatasi atau tidak juga akan tergantung pada bagaimana hukum ditegakan. Karenanya untuk menumpas segala bentuk kriminalitas perlu sebuah sistem hukum yang bersifat tegas, adil dan bebas kepentingan. Hukum yang tidak hanya mampu memberi efek jera pelakunya, tapi juga harus jadi cermin bagi yang lain agar tidak melakukan hal serupa. Dan hanya sistem hukum dan peradilan Islamlah yang memenuhi syarat ketegasan dan keadilan paripurna, karena hanya Allah Swt yang bertindak sebagai Al-Hakim. Dengan menerapkan hukum Allah Swt, berbagai kriminalitas akan teratasi sehingga ketenangan dalam kehidupan manusia pun akan tercipta. Wallahu a’lam bish-showab.