Oleh. Rahmiani. Tiflen, Skep
(Pegiat Literasi)
Muslimahtimes– Setahun sudah Indonesia berada dalam karut-marut wabah Covid-19. Berbagai regulasi maupun kebijakan dilakukan oleh pemerintah, namun tak satu pun memberi solusi efektif, bahkan hingga pertengahan tahun 2021 kembali terjadi peningkatan yang cukup signifikan akibat dari varian baru virus corona asal India, yakni varian Delta.
Demikian dipaparkan secara gamblang oleh Merdeka.com dalam lamanya bahwa hingga 30 Juni 2021 kemarin, kasus positif Covid-19 terus mengalami peningkatan hingga 21.807 orang. Apabila dikalkulasi maka, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia telah menggerogoti 2.178.272 orang. (Merdeka.com, 01/06/21)
Bahkan angka kematian pun meningkat menjadi 250% dalam periode yang sama, (BBC News, 01/06/21).
Sejak awal, berbagai pakar telah mengemukakan gagasan guna mengatasi permasalahan tersebut di atas dengan jalan lockdown atau penguncian wilayah, namun seperti biasa pemerintah tetap bersikeras dengan keputusannya, yaitu diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Akan tetapi setelah dievaluasi selama putaran pertama PSBB, turunnya angka kasus Covid-19 tak jua memberikan hasil yang cukup signifikan.
Kemudian dari status PSBB, kini pemerintah mengubah kembali kebijakannya dengan menetapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang semula disebut PPKM mikro. Lalu kini setelah terjadi lonjakan kasus Covid-19, maka per 3 hingga 20 Juli mendatang pemerintah kembali menetapkan ulang aturan yang semula PPKM mikro menjadi PPKM darurat. Padahal jika ditilik dengan saksama, ternyata tidak ada perbedaan yang cukup mendasar antara PSBB dan juga PPKM. Kalau boleh dibilang hanya beda namanya saja, tetapi isi kebijakannya kurang lebih sam.(BBC News, 01/07/21)
Sejumlah pihak pun kembali mengkritisi kebijakan pemerintah tersebut, di antaranya anggota DPR RI Komisi XI, Ahmad Yohan, yang beranggapan bahwa PPKM Darurat ini akan menekan konsumsi masyarakat dan investasi, serta nilai tambah PDB di kuartal II-2021.
“Kita punya beban berat untuk menghela atau mengungkit pergerakan ekonomi keluar dari zona negatif di kuartal II-2021,” katanya. (Viva.co.id, 04/07/21).l
Masih menurut Yohan, dengan kondisi perekonomian yang gamang akibat dari Covid-19 maka berbagai pihak ekonom baik fiskal dan moneter akan semakin kerja ekstra guna mengatasi persoalan ekonomi. “Namun di saat yang bersamaan, celah-celah peningkatan kasus COVID-19 yang menjadi penyebab terinfeksinya ekonomi tidak ditangani dengan baik,” ujarnya.
Dia pun menyatakan bahwa seperti pada bulan April 2021 lalu saat lonjakan covid-19 varian delta di India dengan penularan yang sangat pesat, sehingga berbagai negara menutup akses dari negara tersebut. Sayangnya justru pihak otoritas Indonesia melalui Dirjen Imigrasi dan Dirjen Perhubungan Udara-Kemenhub, mengizinkan akses bagi flight carteran yang ditumpangi oleh ratusan WNA India ke Indonesia, walaupun masa karantinanya hanya lima hari.
Tindakan ini pun dinilai sangat berbahaya bagi masyarakat. Di samping itu, dengan diadakannya PPKM darurat, akan mengakibatkan mobilitas domestik terbatas. Akan tetapi lagi-lagi, hal tersebut menjadi sangat bertolak belakang sebab arus masuk keluar WNA (Warga Negara Asing) masih demikian bebasnya. Padahal dalam aturan PPKM darurat hanya berlaku secara domestik pada wilayah Jawa dan Bali saja. Sementara mobilitas warga asing ke Indonesia terus terbuka luas.
Masih dalam penyampaiannya, tentang kekhawatiran terkait sejumlah anggaran yang akan dialokasikan pada PPKM darurat kali ini. Maka, alokasi dana tersebut diibaratkan seperti ‘membuang garam di laut’. Sebab PPKM hanya bersifat lokal, sedangkan penyebaran Covid-19 dengan beragam varian yang masuk dari luar negeri tidak dapat diputus mata rantainya. Karena itu, diharapkan kepada pemerintah agar memperketat kembali jalur darat, laut, dan udara hingga pembatasan pada akses masuk WNA. Terlebih yang berasal dari negara-negara asal berbagai varian Covid-19 berkembang dan menjadi sarangnya. Sebab lagi-lagi, hal tersebut akan menjadi sia-sia jika PPKM dilakukan, namun WNA masih bebas berkeliaran melalui akses masuk dan keluar negara Indonesia. (Viva.co.id, 04/07/22).
Analisis, Beda Istilah Rasa Sama Kebijakannya
Pemerintah kembali menuai berbagai pro kontra dari masyarakat. Apa pasalnya? Hal tersebut disebabkan karena pemerintah sendiri dianggap tidak sigap dan serius dalam penanganan pandemik ini. Bahkan oleh sejumlah pakar kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah tetap dianggap tidak memenuhi standar efektivitasnya.
Seperti disampaikan oleh Epidemiolog Dicky Budiman dari Griffith University, bahwa kerancuan akibat penetapan sektor-sektor antara yang esensial maupun nonmiliter esensial akan terjadi jika saja kebijakan WFH diberlakukan hanya pada sektor non-esensial, namun untuk sektor esensial sendiri bagaimana pemerintah mampu mengontrolnya? Sedangkan sektor esensial pun sangat banyak seperti diantaranya keuangan, perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non-penanganan karantina Covid-19, serta industri orientasi ekspor.
Sementara itu, menurut Direktur Utama Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, pemerintah sebaiknya menerapkan kebijakan penguncian wilayah atau lockdown selama 14 hari. Hal tersebut dinilai lebih efektif menekan laju penyebaran Covid-19 dibanding PPKM darurat. Walaupun dalam penerapan lockdown selama 14 hari tersebut nantinya akan menjadikan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 di kuartal III turun drastis. Namun, menurut perkiraannya pada kuartal IV akan kembali pulih bahkan lebih baik lagi, terlebih lagi dengan adanya momentum perayaan Natal dan Tahun Baru.
Sayangnya, selama ini pemerintah tidak cukup jeli dalam mengambil kebijakan terkait penanggulangan wabah Covid-19 sebab pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada keselamatan dan nyawa masyarakat. Akibatnya terjadilah kesimpangsiuran aturan dan kebijakan. Di satu sisi pemerintah menetapkan sejumlah aturan, tetapi di sisi lain kebijakan tersebut tidak dijalankan dengan maksimal. Oleh sebab itu, timbullah kejenuhan dari masyarakat. Karena kebijakan-kebijakan tersebut tidak satu pun membawa keuntungan bagi mereka. Belum lagi terjadi penyelewengan dana bansos Covid-19. Kemudian hukum-hukum yang semakin memihak para korporat dan menindas rakyat, seperti UU Omnibus Law. Semuanya semakin menambah daftar panjang kekacauan negeri ini.
Bahkan jika mau jujur, perubahan kebijakan dengan pergantian nama dari PSBB menjadi PPKM pun dinilai sama saja kebijakannya, ibarat kata, beda nama tapi sama saja aturannya. Akibatnya terjadi peningkatan kasus Covid-19 yang terus meroket sejak akhir bulan Juni kemarin. Ditambah lagi kolapsnya sejumlah sarana rumah sakit yang tersedia, serta ditambah lagi nakes baik dokter maupun perawat dan para medis lainnya yang semakin terdesak di garda terdepan. Sementara korban terus berjatuhan. Kalau sudah begini siapa lagi yang jadi korban kalau bukan rakyat.
Islam Solusi Tuntas
Setelah melakukan berbagai pendekatan analisa terkait karut-marut yang terjadi di negeri Indonesia, ternyata semua itu tidak lepas dari kerusakan sistematis yang selama ini terus berlangsung. Kapitalis dengan akarnya yang senantiasa memisahkan agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara, turut serta menciptakan Kepemimpinan yang jauh dari kata takwa.
Setiap pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi kapitalis hanyalah orang-orang yang berorientasi pada kapital (modal/uang), senantiasa berpikir tentang keuntungan apa yang akan diperoleh jika melakukan suatu hal. Mereka pun adalah orang-orang yang selalu bersifat individual. Dengan demikian, rakyat dianggap sebagai komoditas yang patut dikelola guna mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada para penguasa. Negara melepaskan tanggungjawabnya sebagai periayah atau pengurus segala urusan rakyat dan berlaku layaknya regulator semata.
Akibatnya segala urusan umat tidak dapat terselesaikan dengan baik, sehingga rakyat menjadi hilang kepercayaannya kepada penguasa.
Demokrasi kapitalis pun yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan penguasa korup dan kebijakan yang menzalimi rakyat. Sehingga solusi tuntas atas segala problematika tersebut di atas adalah dengan mengembalikan fungsi kepemimpinan dalam negara, sehingga penguasa dapat menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai pengurus urusan umat/rakyat. Berupaya mengambil hati rakyatnya sehingga kepercayaan terhadap pemimpin terwujud dengan baik, terlebih dalam hal pemecahan persoalan pandemi ini.
Namun sayangnya, penguasa bijak dengan tanggungjawab ri’ayah umat sebagaimana dipaparkan di atas tidak akan pernah kita temui selama sistem pemerintah masih berdasarkan demokrasi kapitalis seperti hari ini. Ciri-ciri kepemimpinan mulia tersebut jelas hanya ada pada pemimpin yang memegang teguh Al-Qur’an dan as-sunnah serta ijmak dan qiyas, dan kepemimpinan tersebut hanya akan lahir di dalam sistem Khilafah Islamiyah. Untuk itu, sudah selayaknya kita memperjuangkannya, disamping merupakan konsekuensi keimanan, pun sebagai mahkota kewajiban yang wajib ditegakkan. Wallahu’alam bis showab.