Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redaktur Pelaksana Muslimah Times)
MuslimahTimes.com–Tak terasa, sudah dua kali kaum muslimin merayakan Iduladha di tengah suasana pandemi. Dan kali ke dua ini, Iduladha berlangsung di tengah masa PPKM Darurat yang diterapkan pemerintah. Tentu saja ada rasa yang berbeda yang sangat kita rindukan, sebab di tengah pandemi ini aktivitas kita terbatas, tak lagi bisa berkumpul dengan sanak keluarga besar sebagaimana di tahun-tahun sebelum hadirnya pandemi.
Terlepas dari hal tersebut, selayaknya kita menjadikan Iduladha sebagai momentum untuk bermuhasabah di tengah pandemi yang mengungkung negeri ini. Karena bagi seorang muslim, tiadalah pencapaian paling istimewa dalam hidupnya selain bertambah ketaatannya kepada Allah Swt. Maka muhasabah di hari Iduladha merupakan salah satu uslub untuk meningkatkan ketakwaan tersebut.
Hakikatnya Iduladha merefleksikan sebuah ketaatan totalitas seorang hamba kepada Rabbnya. Hal tersebut tercermin dari kisah mahsyur Nabi Ibrahim bersama anaknya, Ismail as. Dengan penuh ketaatan, Nabi Ibrahim mengutarakan niatnya untuk menyembelih anaknya, Ismail as, sebagaimana yang Allah perintahkan lewat mimpinya. Tak diduga, Ismail as tak menolak sama sekali apa yang disampaikan ayahnya tersebut. “Jika itu perintah Allah, lakukanlah ayah.” Begitu kata Ismail as. Nabi Ibrahim sebetulnya bersedih jika harus menyembelih putra kandungnya sendiri, terlebih Ismail adalah putra satu-satunya yang telah didambakan sekian lama. Namun, ketundukannya kepada Allah mengalahkan segalanya. Ia mengorbankan anak kesayangannya demi cintanya kepada Rabbnya. Begitu pun Ismail as, rela mengorbankan dirinya demi menjalankan perintah Rabbnya. Meskipun pada akhirnya Allah mengganti Ismail dengan seekor kambing yang besar, sesaat setelah sebilah pisau tajam akan memotong lehernya.
Allah Swt berfirman:
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 107)
Sungguh kisah tersebut merefleksikan sebuah ketaatan yang mahaindah dari sepasang hamba Allah di muka bumi.
Lantas bagaimana dengan kita hari ini? Sudahkah kita menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang kita curahkan seluruh pengorbanan hanya untuk-Nya?
Realitas Hidup di Alam Kapitalisme Hari Ini
Tak dipungkiri, hidup di bawah naungan sistem kapitalisme membuat kaum muslimin sulit untuk taat secara totalitas. Betapa tidak, kapitalisme yang lahir dari akidah sekularisme yakni pemisahan agama dari kehidupan, tak memberi ruang bagi Islam untuk mengatur manusia. Akibatnya berbagai kerusakan sukses ditorehkan negeri ini karena menyandarkan pada produk hukum buatan akal manusia. Padahal sejatinya akal manusia itu lemah dan terbatas.
Dalam aspek ekonomi, negeri ini ditopang oleh utang ribawi dan pajak. Akibatnya perekonomian rapuh, mudah disetir negara pemberi utang, sehingga negeri ini hilang kedaulatannya. Begitupun dengan pengambilan pajak di segala sektor kehidupan, kian membebani rakyat, lebih-lebih di masa pandemi. Sudah jatuh tertimpa tangga, kiranya begitulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan rakyat di negeri ini. Dana bansos dikorupsi, tenaga medis dicurangi dengan tak dibayarkan nya insentif berbulan-bulan lamanya, tabung oksigen di dalam negeri dikapitalisasi.
Sungguh karut-marut kebijakan yang lahir dari rahim sekularisme ini telah menciptakan aneka kezaliman terhadap rakyat. Betapa banyak inkonsistensi kebijakan yang dipertontonkan penguasa hari ini. Misalnya, membatasi mobilitas rakyat lewat aneka kebijakan, namun di satu sisi begitu longgar menerima kedatangan warga negara asing ke negeri ini, bahkan warga negara Cina. Padahal dari sanalah awal mula wabah ini muncul.
Sungguh, amat nyata bahwa ketidakberesan yang terjadi dalam kehidupan hari ini adalah akibat tidak diterapkannya aturan Allah Swt sang pemilik jagad raya. Sebaliknya, manusia menyandarkan dirinya pada hukum warisan penjajah yang sudah terbukti gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan pada rakyat, termasuk gagal dalam mengatasi pandemi. Lihat saja, hampir dua tahun pandemi menyelimuti negeri, namun tak ada tanda-tanda akan usai, justru kondisinya kian mencekam.
“Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta”. (QS Thaha : 124)
Refleksi Iduladha
Bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, cukuplah Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Maka, tidak ada yang lebih dirindukannya selain hidup dalam naungan sistem Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
Oleh karena itu, momen Iduladha menjadi ajang muhasabah agar kita kembali kepada fitrah penciptaan kita, yakni utk beribadah kepada-Nya. Tidak menyelisihi perintah-Nya meski seujung kuku saja, termasuk perintah untuk tunduk pada seluruh aturannya dalam semua aspek kehidupan. Bukankah kita ingin dinaungi berkah oleh-Nya? Maka bersegeralah mengimplementasikan ketaatan seorang Ibrahim dan Ismail kepada Rabb-Nya di dalam diri kita. Menjadi umat terbaik yang bertakwa kepada Allah dan Rasul-Nya dengan sebenar-benarnya takwa.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al A’raf : 96)