Oleh: Ir. Zuraida Triastuti
MuslimahTimes.com–Fenomena pembelian barang secara besar-besaran (panic buying) berulang terjadi sepanjang pandemi Covid-19. Di awal pandemi orang berbondong-bondong membeli masker dan hand sanitizer. Kini aksi borong muncul lagi di tengah lonjakan kasus Covid-19. Sehingga tiba-tiba sejumlah produk barang jadi sulit didapat, umumnya produk yang dianggap bisa menjaga imunitas tubuh, seperti susu, multivitamin sampai buah- buahan tertentu, seperti labu kuning hingga kelapa muda langka di pasaran. Kalaupun ada, harganya mahal.
Terakhir adalah kelangkaan tabung oksigen dan obat-obatan. Banyak yang kesulitan mendapatkan obat antivirus yang sangat dibutuhkan. Apotek kehabisan persediaan, bahkan di Yogya sampai ada pasien tak tertolong karena tidak mendapatkan oksigen. Padahal aksi ini justru menimbulkan kepanikan dan justru tidak memperhatikan phisical distancing sebab meningkatnya kerumunan.
Mengapa Sampai Terjadi Aksi Borong?
Panic buying atau pembelian besar-besaran dalam waktu hampir bersamaan merupakan sikap emosional masyarakat. Hal ini muncul karena adanya kecemasan atau rasa takut berlebihan, merasa tidak aman terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ketakutan itu menular seperti virus. Dari satu orang yang panik dan menulari sekitarnya, akhirnya muncul sekelompok orang yang spontan panik bersama-sama.
Masyarakat yang emosional terjadi pada masyarakat rendah berpikir atau berpikir dangkal. Hal ini dicirikan dengan mudahnya menelan informasi yang beredar mudah dipolitisasi. Mereka cenderung reaksioner saat menemui fakta menghebohkan.
Seperti ketika ada klaim terhadap susu x sebagai produk yang terbaik untuk mencegah atau menghalau Covid-19, maka masyarakat langsung menyerbu. Begitu mudahnya terbawa iklan. Padahal produsen masih terus memproduksinya juga. Susu tidak hanya merek itu. Ada alasan lain bahkan tidak rasional: jika orang lain memborong, kenapa saya tidak ikutan juga.
Berpikir dangkal yaitu sekadar memindahkan realitas ke otak tanpa mengaitkan dengan informasi yang lain. Hal ini disebabkan karena kemalasan atau kemunduran berpikir, maka sering kita jumpai munculnya keluhan, “ Ngapain mikir tinggi-tinggi? mikir harga naik dan langka saja sudah pusing.” tanpa mau tahu akar persoalannya dan apa bagaimana solusinya.
Kemunduran berpikir terbentuk pada tipe masyarakat kapitalis, pragmatis, serba instan, dan cenderung individualis. Maka jangan heran jika terjadi yang mampu beli akan memborong tanpa berpikir orang lain juga membutuhkan. Bahkan dengan jahatnya ada yang sengaja menimbun untuk mencari keuntungan pribadi, seperti kasus langkanya oksigen.
Bisa jadi bukan menyelesaikan masalah, namun justru menimbulkan masalah lain, seperti tayangan viral seorang ibu setelah menelan obat yang diresepkan, ternyata berefek mual, muntah parah dan lemes. Bukan memberitahu kepada dokter atau perawatnya, malah berasumsi sendiri kemudian memviralkan kasus tersebut, agar tidak menggunakan obat itu. Bagaimana akan memeroleh kesimpulan yang benar, sedang dia tidak mempunyai ilmu tentang itu? Yang terjadi justru membuat kebingungan masyarakat.
Bagaimana Seharusnya Kita Bersikap?
Seorang muslim ketika mendapat informasi seharusnya dipastikan dahulu kebenarannya, apakah realitas itu sesuai fakta atau hanya opini yang di blow up untuk kepentingan tertentu.
Kemudian berpikir multidimensional, artinya dikaitkan dengan fakta atau informasi yang lain. Ketika tidak tahu, maka akan berusaha menonfirmasikan kepada ahlinya bukan berasumsi sendiri, yang akan berakibat menambah masalah baru.
Menjadi kewajiban muslim untuk melakukan edukasi kepada masyarakat agar berpikir cerdas dan benar. Tentunya tak akan berhasil tanpa peran negara, karena negaralah yang mempunyai institusi pendidikan dan berwenang menetapkan kurikulum pendidikan. Islam telah mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu dan menjadikan negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dan mencerdaskan warganya. Wallah a’lam bishowab.