Oleh: apt. Phihaniar Insaniputri, M. Farm
MuslimahTimes.com–Belum lama ini publik dikejutkan dengan penangkapan sepasang suami istri yang wajahnya sering wara-wiri di stasiun televisi, Nia Ramadhani dan Ardie Bakrie, yang kerap dijuluki crazy rich terkait penyalahgunaan narkoba jenis sabu (Kompas.com). Penangkapan mereka cukup mengejutkan publik, walaupun ini bukanlah sesuatu yang baru.
Sudah menjadi rahasia umum jika dunia artis dan pejabat memang bertautan erat dengan barang haram tersebut. Yang menjadikan kasus ini menarik untuk disorot adalah status sosial para tersangka. Menjadi anak dan menantu dari Abu Rizal Bakrie menjadikan pasangan ini berada di lingkaran si kaya, dan hal ini membuat publik ramai memperbincangkan hukuman yang akan didapatkan oleh si kaya. Samakah perlakuan hukum yang didapat ketika yang menjadi tersangka adalah si kaya?
Menjawab pertanyaan dan spekulasi publik, kuasa hukum Nia dan Ardie, Wa Ode Nur Zainab mengatakan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan rehabilitasi untuk para tersangka dan pihak kepolisian pun mengabulkan permohonan tersebut. Pada Minggu, 11 Juli 2021, pihak kepolisian telah menyerahkan Nia dan Ardie ke pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melakukan rehabilitasi. (detik.com)
Ini merupakan suatu tindakan yang sudah diprediksi sejak awal, walaupun begitu hal ini tidaklah mengurangi rasa pedih yang dirasakan oleh publik karena terlihat jelas perbedaan perlakuan yang didapatkan hanya karena perbedaan status sosial. Istilah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah kerap ditempelkan pada sistem hukum yang berdiri di negara ini. Seakan hukum itu sendiri bisa dibeli. Kritikan kepada lembaga kepolisian pun mulai berdatangan terkait perbedaan perlakuan ini.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Ruminto, mengatakan bahwa sikap pihak kepolisian itu membuktikan bahwa memang penegakan hukum di Indonesia masih belum bisa lepas dari pengaruh di luar hukum dan ini menjadi salah satu tantangan terhadap profesionalisme polisi sejak lama. Menurut Bambang, kasus-kasus yang melibatkan para pemegang kekuasaan, pemilik modal seringkali tidak berlanjut. (tirto.id)
Menanggapi derasnya kritikan publik, Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menilai bahwa keputusan rehabilitasi adalah keputusan yang tepat dan pihaknya akan tetap melanjutkan proses hukum kepada para tersangka walau mengajukan rehabilitasi. Terkait keputusan rehabilitasi, Benny menilai bahwa langkah ini sudah tepat dilakukan karena posisi Nia Ramadhani dan Ardie Bakrie di sini adalah orang yang menyalahgunakan narkoba, bukan pengedar, yang menjadikan mereka adalah korban dari peredaran narkoba. (merdeka.com)
Merujuk kepada UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam Bab IX memang tercantum bahwa hukuman bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika adalah rehabilitasi. Karena mereka dianggap sebagai korban atau pesakitan yang menderita sakit fisik dan mental (karena sakaw). Oleh karena itu, penjara bukanlah langkah yang tepat karena dianggap mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. Maka pilihan rehabilitasi ini dianggap lebih dapat membantu para korban penyalahgunaan narkotika dibandingkan dengan hukuman penjara. (Diputra, 2012)
Terkait hukum penyalahgunaan narkotika, Indonesia menerapkan teori penghukuman humaniter yang menekankan pada sisi humanity, sehingga konsep “hukuman” diubah menjadi treatment yang diyakini dapat mencegah pelaku kembali berbuat kriminal bahkan mengobati kecenderungan tersebut (Sumarto, 2021). Berdasarkan teori ini pelaku kriminal, dalam hal ini pecandu narkotika, dianggap memiliki gangguan psikologis, yaitu orang yang sakit tidak hanya fisik tapi juga mental sehingga perlu diobati dan meminimalisasi tindakan hukuman yang tidak manusiawi seperti penjara. (Suamrto,2021)
Melihat sekilas dari sedikit fakta yang dijabarkan di atas, maka dapat sedikit disimpulkan bahwa masalah “hak istimewa” berupa rehabilitasi dalam kasus Nia-Ardie bukan hanya masalah “dia si kaya”, tapi lebih jauh lagi yaitu adanya kecacatan dalam sistem hukum yang diterapkan di negara ini.
Hukum di negara ini melihat para pelaku penyalahgunaan narkotika sebagai “korban” yang perlu diperlakukan dengan manusiawi, tanpa melihat bahwa “para korban” tersebut melakukan hal itu dengan kesadaran mereka sendiri. Dan tindakan tersebut memiliki efek yang “tidak manusiawi” bagi masyarakat. Zat ini merusak jiwa dan akal seseorang. Narkotika bisa membuat penggunanya melakukan kemaksiatan lainnya, seperti merampok, mencuri, membunuh, memerkosa, dan lain sebagainya.
Dalam Islam telah jelas bahwa narkotika adalah zat yang haram. Ibnu Taimiyah berkata, “Narkoba sama halnya dengan zat yang memabukkan, diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan setiap zat yang dapat menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walau tidak memabukkan” (Majmu’ Al Fatawa, 34: 204).
Selain karena memabukkan, narkotika juga menimbulkan dharar (bahaya) bagi pemakainya, dan apa pun yang menimbulkan dharar adalah haram sesuai dengan kaidah fiqih, “Hukum asal benda yang berbahaya (mudarat) adalah haram”.
Oleh karena itu, Islam akan sangat tegas dalam memberantas narkotika dan pengguna serta pengedarnya akan diberikan sanksi sesuai dengan hukum syara’. Ketakwaan dan ketundukan kepada hukum syara’ yang diutamakan bukan hanya rasa kemanusiaan.
Hukum syara’ menjatuhkan sanksi kepada orang yang menyalahgunakan narkotika berupa ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh qadhi (hakim) berdasarkan hasil ijtihadnya, misalnya penjara, cambuk atau lainnya. Sanksi ta’zir dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesalahannya. Pengguna narkoba dapat dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada qadhi (al-Maliki, Nizham al-Uqubat). Sanksi ini juga berbeda jenis dan kadarnya bagi pengedar dan gembong narkotika yang bisa mencapai tingkatan hukuman mati.
Dari sini dapat dilihat bahwa sistem sanksi dalam Islam tidaklah pandang bulu atau status sosial, tapi sistem sanksi ini diterapkan sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah untuk menerapkan seluruh aturan syariah dalam kehidupan. Dan seorang pemakai narkotika menunjukkan bahwa orang itu telah berbuat maksiat dan harus diberikan sanksi karena telah melanggar ketetapan Allah.
Konsisten dan tegas, itulah sistem Islam. Karena sistem ini berasal dari wahyu Ilahi maka tidak akan berubah hukum tersebut walaupun waktu dan tempat berubah. Berbeda dengan hukum di sistem sekuler, karena sumbernya dari akal manusia maka cenderung akan berubah hukum tersebut mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat.
Inkonsistensi inilah yang menyebabkan penyalahgunaaan narkotika menyebar tak terkendali di negeri ini karena hukum bergerak sesuai dengan kehendak manusia, sehingga masalah yang timbul tidak diberantas hingga ke akar-akarnya. Maka sudah saatnya kita kembali kepada hukum Islam untuk kehidupan dan generasi yang bersih dan sehat akal serta jiwanya. Wallahu a’lam.