
Oleh. Atik Susilawati, S.Pd (Tenaga Pendidik Muslimah)
MuslimahTimes.com–Korupsi di negeri ini memang tidak ada habisnya. Meski dalam keadaan yang dikatakan sebagai darurat, sebab kehidupan masyarakat menjadi semakin sulit. Di tengah kondisi pandemi yang belum menunjukkan ujungnya, korupsi kerap dilakukan, mulai dari pejabat kelas teri sampai kelas kakap. Sehingga korupsi masih melekat pada orang-orang yang berdasi, itulah pandangan mayoritas masyarakat. Pernyataan itu dibuktikan dengan adanya survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyatakan tren tingkat korupsi di negeri ini mengalami peningkatan dalam kurun waktu dua tahun terakhir. (Detik, 8/8/21)
Apalagi setelah adanya pengumuman mantan terpidana kasus korupsi, Emir Moeis, menjadi komisaris PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM). Dalam pengaturan menteri BUMN Nomor: PER-03/MBU/2012 Pasal 4 disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi dewan komisaris tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu lima tahun dalam pencalonan. “Aturan dibuat untuk dilanggar”, itulah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan situasi sekarang ini.
Bagaimana tidak, orang yang divonis tiga tahun penjara karena kasus korupsi sejak 2014, malah sekarang ditunjuk menjadi komisaris. Bahkan kalau ditinjau dari segi pengalamannya, sama sekali tidak ‘nyambung’ dengan jabatan yang akan disandangnya. Praktik ini bukan pertama kalinya terjadi di negeri pengemban sistem demokrasi ini, sebelumnya banyak orang yang nyata-nyata tidak memiliki kecakapan di bidangnya, malah diangkat sebagai pemimpin atau menduduki jabatan-jabatan yang tidak seharusnya ditempati. Semua dilakukan karena timbal balik ”politik balas budi”.
Inilah bukti betapa rusaknya sistem yang diterapkan di negeri ini. Sistem yang diterapkan telah memberikan ruang kebebasan bagi manusia untuk membuat aturan sesuai dengan keinginannya, yang dengan aturan tersebut manusia dengan bebas melanggarnya tanpa harus takut terjerat hukuman yang memberatkan. Karena apa? Karena di negeri yang menerapkan sistem demokrasi, tidaklah aneh bila hukum bersifat transaksional dan hukum dimiliki mereka yang berduit, maka jangan harap rakyat miskin mendapatkan keadilan.
Di alam demokrasi, manusia dan rasionya seperti lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan hanya ditempatkan di sudut-sudut kecil dalam kehidupan manusia. Alhasil, ketika aturan Tuhan dikesampingkan dan aturan manusia dijunjung tinggi, maka yang terjadi adalah kerusakan dalam tatanan hidup masyarakat. Salah satunya korupsi yang kian menggurita, dimana para “tikus berdasi” mengorupsi berbagai macam dana untuk memperkaya diri. Ini tidak lepas dari peranan sistem demokrasi yang menjadikan manusia haus akan materi dan kekuasaan.
Dalam khazanah pemikiran Islam, korupsi disebut dengan perbuatan khianat, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanahkan atau dipercayakan kepada seseorang. Sanksi bagi pelaku korupsi bukanlah potong tangan seperti sanksi bagi para pelaku pencurian sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’idah ayat 38.
Sanksi bagi pelaku korupsi masuk dalam wilayah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim dalam Daulah Islam. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim atau berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati.
Rasulullah Saw barsabda, “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan penghianatan (termasuk koruptor) orang yang merampas harta orang lain dan pejambret.” (HR. Abu Dawud)
Fenomena kasus korupsi yang saat ini marak di Indonesia adalah buah dari penerapan ideologi kapitalisme-demokrasi, karena merusak tatanan kehidupan umat manusia. Lantas, bagaimana Islam mencegah dan mengatasi problema korupsi?
Pertama, merekrut SDM (aparatur negara) yang wajib berasaskan profesionalisme dan integritas, bukan berasakan koneksivitas atau nepotisme. Negara wajib melakukan pembinaan kepada aparatur negara dan pegawainya, seperti khalifah Umar bin Khaththab yang selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya.
Kedua, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi Saw, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah, kalau tak punya istri hendaklah ia menikah, kalau tak punya pembantu atau kendaraan hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan,”(HR Ahmad)
Ketiga, Islam melarang menerima suap atau hadiah bagi aparat negara. Nabi Saw bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil diluar itu adalah harta yang curang.” (HR.Abu dawud)
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi Saw bersabda, “Hadiah
yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad)
Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Meski untuk melakukan perubahan itu tidaklah mudah, namun juga bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Maka, jika menginginkan kehidupan yang lebih baik, harus berani menyerukan alternatif sistem terhadap sistem buatan manusia yang kian usang hari ini. Sistem alternatif tersebut bukanlah sistem yang didasarkan pada akal manusia yang lemah dan terbatas, namun ini adalah sistem terbaik yaitu sistem Islam yang digariskan oleh Allah Swt untuk mengatur kehidupan umat manusia. InsyaAllah kesejahteraan dan ketenteraman akan terwujud. Wallahu A’lam.[]