Oleh. Azrina Fauziah
(Pegiat Literasi Komunitas Pena Langit)
MuslimahTimes.com–Ada yang sedikit berbeda ketika kita ke luar rumah belakangan ini. Bukan karna orang-orang tak lagi memakai masker apalagi hilangnya Covid 19 dari muka bumi, pandemi hingga kini masih saja berlanjut. Hal yang berbeda adalah banyak baliho elit partai yang terpasang di sudut-sudut jalan. Baliho itu bertuliskan di antaranya, “kepak sayap kebhinnekaan”, “Jaga Iman Jaga Imun Insyaallah Aman Amin”, dan kata mutiara lainnya.
Diketahui pesta demokrasi akan berlangsung tiga tahun lagi, akan tetapi tampaknya para elit partai saling curi start kampanye dan tebar pesona pada publik. Tentu saja mereka saling menaikan elektabilitas diri untuk dikenal di tengah masyarakat. Tak tanggung-tanggung harga pemasangan baliho di tengah pandemi bisa mencapai 200 juta rupiah.
Dikutip dari detik.com, harga untuk memasang baliho untuk billboard ukuran 4×8 meter dengan pemasangan waktu satu tahun menghabiskan dana antara Rp180 juta hingga Rp200 juta, lengkap dengan penerangan selama satu tahun. Izin dan pajaknya juga satu tahun. Sedangkan untuk satu bulan sekitar Rp15-20 juta, tapi dalam kondisi seperti ini (pandemi) jika ada yang menawar Rp10 juta sebulan jika masih ada slot yang tersedia akan diberikan. begitulah penuturan salah seorang sumber dari Bandung.
Harga yang fantastis ini tentu saja dipertanyakan, sebab rakyat Indonesia sedang diuji dengan pandemi. Semua menghadapi kesulitan ekonomi, namun para elit partai justru bernafsu politik tanpa melihat kondisi. Bukannya memberikan upaya maksimal menghadapi pandemi dan saling memberi bantuan, uang mereka dihabiskan hanya untuk nafsu politik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mati empati. Sekali lagi rakyat yang dirugikan.
Matinya empati di dalam sistem sekuler kapitalisme merupakan hal yang biasa. Sebab landasan sekuler dalam penerapannya menjadikan seseorang bernafsu kekuasaan dan jabatan tanpa melihat kondisi baik atau sedang terpuruk. Mereka para elit partai menghalalkan segala cara untuk dapat meraih tampuk kekuasaan. Tak jarang kita mendengar adanya serangan fajar berupa sogokan uang untuk dipilih. Sistem sekuler ini pun melahirkan pemimpin yang berwatak minimalis alias ala kadarnya ketika mengeluarkan kebijakan. Bahkan kebijakan penguasa tak ubahnya dikte dari para pemodal. Pantas saja jika mereka disebut penguasa boneka.
Kinerja sejati penguasa sesungguhnya akan terwujud ketika para pemegang tampuk kekuasaan memahami amanah mereka. Berkuasa berarti menjadi penanggung jawab atas urusan rakyat. Rasulullah Saw bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”(HR. Muslim dan Ahmad)
Penguasa akan memahami bahwa kekuasaan mereka nantinya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt. Sehingga tidak akan menyia-nyiakan masa jabatannya untuk melakukan ketidakmaksimalan mengurusi rakyat apalagi untuk memperkaya diri. Pemilihan penguasa dalam Islam dipilih dengan integritas (syarat Islam), bukan semata ia dipilih karna mayoritas suara, memiliki uang banyak atau elektabilitas.
Sebagaimana kisah Umar bin Khattab ra. ketika menjadi khalifah, ia dipilih karna kemampuan dirinya dalam memimpin umat Islam. Luhurnya ajaran Islam membawanya memerintah kaum muslim dengan adil dan empati. Umar ra. tak segan membawa sekarung gandum di tengah malam untuk memenuhi seruan rakyatnya yang tengah kelaparan. Ia pun terjun sendiri untuk memasak dan menyuapi makan anak-anak keluarga miskin tersebut, sebab Umar tahu bahwa kekuasaannya nanti akan ditanyai Allah Swt di akhirat kelak. Tidakkah kita merindukan pemimpin semacam ini?