Oleh: Jatna Atmawati
MuslimahTimes.com–Kasus Covid-19 di Indonesia telah masuk pada gelombang ke dua. Jumlah kasus baru dan kematian menempatkan Indonesia pada urutan 10 besar terbanyak di dunia, bahkan nomor 1 kematian tertinggi di dunia. Hal ini mengakibatkan pemerintah menetapkan PPKM Darurat sejak 3 Juli 2021 di pulau Jawa-Bali. Sedangkan untuk luar Jawa-Bali diberlakukan sejak tanggal 12 Juli 2021. PPKM Darurat diterapkan dengan tujuan untuk menekan kasus baru hingga di bawah 10.000 kasus per hari. (kompas.com)
PPKM Darurat resmi diperpanjang sampai dengan tanggal 23 Agustus 2021, sebab menurut Menko Bidang Kemaritiman Dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dalam konferensi pers, Senin (9/8/2021), dikarenakan hasil positif dari penerapan PPKM periode sebelumnya. Luhut memaparkan, tren kasus infeksi Covid-19 di Jawa-Bali mengalami penurunan 59,6 persen dari puncak kasus pada 15 Juli 2021. Selain itu, jumlah keterisian rumah sakit dan kematian akibat Covid-19 di Jawa-Bali juga menurun. (Kompas.com)
Lantas benarkah PPKM telah berhasil menekan kasus positif? Sedangkan banyak pihak mempertanyakan keakuratan datanya.
Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Poernomo, mengatakan Indonesia pemeriksaannya masih rendah. Sebab dengan jumlah kasus infeksi harian rata-rata 40.000 orang dalam sehari seperti sekarang ini, perhitungan kasar memperkirakan paling sedikit 600.000 kontak erat yang harus dilacak. Penghitungan itu didapat dari jumlah rata-rata pasien Covid-19 sebanyak 40.000 kasus dikalikan jumlah maksimal kontak erat yakni 15, mengambil batas tertinggi Kementerian Kesehatan. Sehingga jika setiap tracker diasumsikan akan mendapatkan kontak 15 orang, maka paling tidak harus ada 40.000 petugas tracer. (bbc.com)
Hal ini juga disampaikan oleh epidemiolog lain dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, yang menyatakan bahwa dari eskalasi pandemi ketika ada 50 ribu kasus infeksi, harusnya dalam 3×24 jam ke depan ada satu juta testing. Padahal itu jika masih menggunakan standar yang moderat dengan perbandingan pelacakan 1:20. Sedangkan negara-negara di ASEAN, rasio pelacakan mestinya di angka 30 hingga 36 kontak erat, mengingat kepadatan penduduk dan mobilitas. (bbc.com)
Demikian pula keakuratan data kematian pun dipertanyakan. Sebab data Laporcovid menyatakan gap data bisa mencapai 20 ribu kasus kematian. Ini angka yang luar biasa. Said Fariz Ibban, Analis dmData Laporcovid-19, ia menyatakan dalam kanal Youtube Inews TV bahwa data kematian yang terlaporkan per tanggal 21 juli adalah 98.014, sedangkan data dari Kemenkes 77 ribu. Selisih 20ribu lebih.(inewsyoutube)
Bukannya segera membenahi data kematian, justru Luhut Binsar Panjaitan menghapus indikator kematian dari data Covid-19. Padahal data kematian seharusnya jangan dipandang hanya sekadar angka. Namun, ini adalah nyawa manusia yang sangat berharga. Bisa jadi mereka adalah para tulang punggung kelurga, banyak yang bergantung kepada mereka. Ribuan anak menjadi yatim piatu selama pandemi. Tidakkah sebagai pemimpin memiliki rasa peduli? Memikirkan nasib mereka yang ditinggalkan mati. Siapa yang menanggung kebutuhan hidup mereka selanjutnya?
Bukankah tugas seorang pemimpin adalah mengurus urusan rakyatnya? Namun, jauh panggang api, pemimpin dengan mindset kapitalis hanya melihat ini sebagai angka saja. Hilang rasa empati. Wajar jika penurunan angka kematian dianggap keberhasilan. Sehingga tidak mengherankan jika mereka dengan mudahnya mengatakan PPKM telah berhasil meskipun rata-rata kasus meninggal masih menembus angka ribuan.
PPKM Menimbulkan Persoalan Baru
Alih-alih PPKM benar-benar mampu mengendalikan pandemi. Namun, justru munculnya persoalan baru di tengan masyarakat tidak bisa dihindarkan. Persoalan ekonomi dan sosial yang semakin dalam. Sebab,l selama PPKM, masyarakat dibatasi waktunya untuk mencari nafkah, bahkan untuk bisa melewati penyekatan rakyat harus menunjukan kartu vaksin, sedangkan pemerintah sendiri belum bisa menyediakan vaksin untuk seluruh masyarakat. Bentrok antara masyarakat dengan petugas penyekatan tidak bisa dihindarkan.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Ikhsan Ingratubun, mengatakan bahwa PPKM darurat bisa kembali “menghancurleburkan” UMKM yang saat ini tengah berjuang bangkit dan bertahan. Sepanjang pandemi Covid-19, data Akumindo, terdapat sekitar 30 juta UMKM yang gulung tikar. Akibatnya, terdapat sekitar tujuh juta pekerja informal UMKM kehilangan mata pencaharian. Menurut data Bank Indonesia, 87,5% UMKM terimbas akibat Covid-19. Padahal menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada tahun 2019, UMKM berrkontribusi 60% atau senilai Rp8.573 triliun bagi Produk Domestik Bruto (PDB) negara. UMKM juga berkontribusi menyerap 97% dari total tenaga kerja, serta menghimpun sampai 60,4 persen dari total investasi. (bbc.com)
Tampak sangat jelas dampak yang akan terjadi kepada masyarakat. Justru dengan diberlakukannya PPKM tanpa ada jaminan kebutuhan pokok masyarakat, maka kebijakan ini akan memunculkan persoalan baru di tengah masyarakat. Tidak hanya krisis kesehatan, namun juga krisis ekonomi.
Rakyat Butuh Lockdown dan Jaminan Kebutuhan
Sejatinya rakyat tidak butuh PPKM berjilid-jilid, yang rakyat butuhkan adalah lockdown, namun dengan adanya jaminan kebutuhan pokoknya. Ini tentu akan memberikan ketenangan dan kepastian kepada rakyat. Mereka tidak akan ribut dengan petugas selama urusan perut mereka sudah tertangani dan terjamin dengan baik. Namun, wajar jika selama PPKM darurat diterapkan maka banyak muncul persoalan. Tidak hanya itu, rakyat yang sudah susah makin dibuat makin susah dengan harus membayar denda jika terbukti melanggar penyekatan. Bahkan hingga memilih hukuman penjara dibandingkan dengan harus membayar denda sebab mereka tak punya uang.
Rakyat sejatinya akan tenang jika diminta untuk diam di rumah jika kebutuhan pokoknya dijamin. Namun, jika rakyat diminta diam di rumah namun jaminan kebutuhan pokok masyarakat nihil, maka tentu rakyat yang lapar pasti butuh makan. Tentu mereka akan tetap keluar rumah meski mereka harus bertaruh nyawa dan keselamatan. Sebab jika urusan perut tidak terpenuhi, maka imbauan stay at home tidak akan diindahkan. Bahkan meski penyekatan dimana-dimana namun konflik antarmasyarakat dan petugas akan terus terjadi.
Lockdown adalah solusi yang paling tepat dalam menangani pandemi. Sebab ini yang diajarkan oleh Rasulullah Saw dan dilakukan pada masa Umar bin Khattab. Namun, lockdown dalam Islam tidak sama dengan lockdown dalam sistem kapitalisme.
Lockdown dalam Islam, kebutuhan kesehatan, kebutuhan pokok masyarakat ditanggung sepenuhnya oleh negara, bukan sebagaimana saat ini rakyat diminta diam dirumah dibatasi waktu keluar, namun di sisi lain mereka dibiarkan mencari penghasilan sendiri.
Inilah zalimnya sistem kapitalisme, sistem buruk yang lahir dari asas yang buruk. Meski lockdown telah ditentukan aturanya dalam Islam. Namun, Islam tidak antipati dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga tes masal juga harus dilakukan, sebab memisahkan yang sakit dari yang sehat adalah tuntunan syari’at sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Begitu pun dengan vaksinasi akan disediakan negara secara gratis. Negara juga memiliki kewajiban meyakinakan dan mengubah persepsi masyarakat bahwa Covid ini berbahaya. Sehingga mereka akan tetap patuh menjaga prokes serta diam di rumah atas kesadaran mereka sendiri. Demikianlah panduan syar’i dalam menangani wabah dalam Islam, aturan sahih yang wajib dilaksanakan oleh pemimpin negeri muslim.