Oleh. Annisa Nurul ZannahÂ(Mahasiswi Kota BanjarJawa Barat)
MuslimahTimes.com–Krisis pandemi Covid-19 yang sedang melanda hampir seluruh negara di dunia, sampai saat ini tak menemukan titik terang berakhirnya penyebaran virus tersebut. Khususnya di Indonesia, dimana setiap harinya terjadi lonjakan kasus positif terus bertambah. Terhitung per tanggal 27 Agustus 2021, tercatat ada 4.026.837 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. (Tribunnews.com)
Angka ini jelas sangat fantastis. Apalagi jika dilihat dari sikap lamban pemerintah di awal-awal saat virus Covid-19 ini terdeteksi pada 2 Maret 2020 silam. Berbagai pernyataan kontroversial dari kalangan pejabat dinilai kurang serius dalam memberikan statementnya, bahkan menjadikannya sebagai lelucon. Dilansir dari Kompas.com, Menkes Terawan mengatakan, publik mestinya tidak perlu khawatir karena penyakit flu yang biasa menjangkiti warga Indonesia justru mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada virus corona. Beliau juga menyatakan soal teori virus Corona yang akan sembuh dengan sendirinya. Senin, (2/3/2020).
Bahkan sekelas Presiden pun tak luput dari pernyataan yang nyeleneh dan terkesan membingungkan. Misalnya saja ketika Jokowi menjawab pertanyaan mengapa pemerintah tak melarang masyarakat mudik sejak penetapan tanggap darurat Covid-19 sehingga mata rantai penularan ke daerah bisa terputus sejak awal. “Kalau itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang. Karena anak istrinya ada di kampung, jadi mereka pulang,” kata Jokowi menjawab pertanyaan Najwa Shihab dalam program “Mata Najwa” yang tayang pada Rabu (22/4/2020).
Pernyataan-pernyataan yang ambigu seperti ini sebenarnya sudah sering diungkapkan oleh para pejabat elit pengurus rakyat. Dan mengenai masalah penangan pandemi, jangan ditanya lagi. Sudah jelas setiap kebijakannya terkesan tak terarah dan seolah memojokkan satu pihak tertentu.
Seperti halnya dalam menerapkan kebijakan untuk pelaksanaan ibadah. Semua agama dilarang melakukan segala bentuk ibadah yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Tentu saja hal ini bukan sebuah solusi yang efektif. Jika ditinjau dari segi pengurangan kerumunan, mengapa hanya mobilitas penduduk lokal saja yang dibatasi. Mengapa mobilitas internasional seperti bandara tidak ditutup? Hal inilah yang menimbulkan penurunan integritas masyarakat terhadap pemerintah.
Contoh lainnya bisa dilihat fenomena di tengah pandemi sekarang-sekarang ini. Meskipun pergantian presiden masih sekitar 3 tahun lagi, namun sudah tampak jelas promosi-promosi dari berbagai partai politik yang mencalonkan kadernya untuk maju dalam pemilihan presiden 2024 nanti. Seperti halnya Ketua DPR RI, Puan Maharani dari partai PDI-P, Ketum Golkar Airlangga Hartanto, Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Mereka semua sibuk mempromosikan diri ditengah kesengsaraan rakyat atas wabah yang tak kunjung usai.
Alih-alih seharusnya memperhatikan kebutuhan pokok dan mengurusi rakyat dengan segala bentuk bantuan yang ada, para elit pejabat justru seolah seperti vampir yang kehausan darah. Para politikus seolah tak mau ketinggalan dan memulai curi start kampanye tanpa peduli kondisi yang sedang terjadi saat ini.
Jelas hal ini bukan hanya membuat hati rakyat hancur sebab kezaliman telah nyata dipertontonkan, namun juga membuat publik merasa geram dan muak dengan adanya baliho-baliho tersebut. Dengan disuguhi kata-kata mutiara yang terkesan membangun, namun tak lebih dari pemanis semata.
Inilah bentuk asli dari wajah kapitalisme dan demokrasi yang tak mementingkan urusan dan kebutuhan rakyat. Walau dibungkus dengan asas yang berbunyi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, namun tetap saja tak menutup fakta bahwa Kapitalisme dan Demokrasi merupakan sistem yang kufur yang hanya memperebutkan kekuasaan, namun enggan mengurusi permasalahan. Yang hanya berebut kursi guna memperkaya diri sendiri.
Berbanding terbalik dengan sosok pemimpin dalam Islam. Teladan masyhur adalah sahabat Umat bin Khattab tatkala menjadi pemimpin. Beliau seorang pemimpin yang kaya raya, namun sederhana. Walaupun jabatan beliau adalah sebagai Khalifah, namun beliau rela tidur dengan beralaskan tikar.
Inilah perbedaan ketika Islam menjadi poros utama dalam bernegara. Tidak akan ada lagi rakyat yang sengsara akibat salah memilih pemimpin, tidak akan ada lagi kebijakan yang menguntungkan sebagian pihak namun merugikan sebagiannya yang lain. Dan yang pasti, tidak akan ada lagi lahir karakter-karakter pemimpin berkuasa untuk kepentingan pribadi. Yang ada, akan muncul kesejahteraan dari berbagai aspek kehidupan yang dirasakan oleh umat. Sebab dengan pe-ri’ayahan (pengurusan) yang baik dari Khalifah (pemimpin) yang sesuai dengan syariat islam, maka akan terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Dimana hal itu lah yang menjadi dambaan setiap insan untuk dapat merasakan bagaimana tentramnya hidup dalam naungan Khilafah.