Oleh : Tari Ummu Hamzah
MuslimahTimes.com—Pada tanggal 2 september lalu, penyanyi dangdut Saipul Jamil (SM) dinyatakan bebas murni, setelah menjalani proses pidana selama 5 tahun di Lapas Kelas 1 Cipinang Jakarta Timur. Bebasnya SM memang sudah menjadi haknya setelah menjalani proses 5 tahun pidana, namun anehnya kebebasannya disambut bak pahlawan oleh para fansnya. Hal ini memunculkan banyak pertanyaan di masyarakat.
Mengapa pelaku kejahatan asusila malah disambut dengan euforia? Apakah bebasnya SM menjamin bahwa dia tidak akan melakukan kejahatan asusila lagi? Jika pelaku kejahatan disambut dengan baik, apa ini membuktikan bahwa pelaku kejahatan diterima di masyarakat?
Sebenarnya masih banyak pertanyaan serta kritikan dari masyarakat yang dilontarkan atas fenomena ini. Banyak masyarakat berspekulasi mengenai fenomena ini. Sehingga jagad dunia maya dibanjiri dengan komentar-komentar netizen. Namun, sebelum pertanyaan masyarakat terjawab, muncul opini mengejutkan dari Ketua KPI, Agung Suprio, lewat portal digital tempo.com pada tanggal 10 September yang mengatakan bahwa pelaku kejahatan seksual atau yang sudah menjalani hukuman, tampil di televisi dengan pembatasan maksimal. “Dia dihadirkan dengan wajah yang diblur agar korban tidak mengalami traumatik, direkam sebelumnya tetap dengan tidak diperlihatkan wajahnya secara jelas, dihadirkan sebagai contoh buruk kejahatan seksual,” Dia juga menambahkan bahwa KPI tidak melarang SM tampil di televisi, tetapi hanya dibatasi dengan ketentuan tertentu. Menurut Ketua KPI, SM bisa menjadi edukator tentang edukasi dari bahaya kejahatan seksual.
Jujur saja ini sangat mengganggu, sebab mengapa edukasi tentang bahaya kejahatan harus diserahkan kepada pelaku? Mengapa tidak diserahkan saja kepada aparatur negara. Logikanya adalah persoalan kejahatan juga menyangkut kemanan masyarakat. Sedangkan yang memahami bagaimana mengatasi keamanan masyarakat jelas aparat negara. Ini membuktikan bahwa pelaku kejahatan diberikan tempat strategis di tengah masyarakat. Sebab urusan edukasi adalah tanggung jawab negara. Tapi mirisnya edukator dari edukasi bahaya kejahatan malah jatuh ke tangan penjahat itu sendiri. Lalu pakem edukasi seperti apa yang akan diberikan oleh mantan narapidana yang tidak memiliki keahlian di bidangnya? Jelas ini Makin bahaya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Maneger Nasution, menilai jika glorifikasi SM melalui media massa sangat berbahaya. Ia melihat SM seolah-olah mendapat dukungan publik atas perbuatannya sebagai penjahat seksual. (Tempo.com, 7/9/2021)
Ini jelas bahwa memang pelaku kejahatan tak layak mendapatkan tempat di tengah masyarakat. Apalagi pelaku ditunjuk sebagai educator. Kita tahu bahwa persoalan edukasi adalah masalah krusial yang wajib dilakukan oleh pemerintah. Edukasi akan mengubah persepsi masyarakat, sehingga harus diberikan oleh pihak-pihak yang sesuai di bidangnya. Tapi jika mantan narapidana yang memberikan edukasi, maka persepsi apa yang mau dia bangun di tengah masyarakat? Kalau persepsi yang dia bangun di tengah masyarakat dilihat dari kacamata penjahat, jelas akan memunculkan sisi pemikiran yang keliru.
Tapi di lain sisi media terus memberitakan SM soal euforia kebebasannya. Pemberitaanya digoreng bak kacang goreng di musim hujan. Seolah jadi makanan yang memang harus dinikmati momennya. Sebab dengan ramainya pemberitaan, ditambah sang pelaku kejahatan diberikan ruang di media televisi, jelas akan mendatangkan rating dan pundi-pundi. Lagi-lagi perkara uang dan bisnis.
Kita harus menyadari bahwa dalam sistem kapitalis, untuk mendatangkan pundi-pundi uang akan melakukan segala cara. Termasuk sektor media. Kita semua tahu bahwa media di Indonesia dibawah kekuasaan para konglomerat dan para korporat. Sehingga penayangan media tergantung pada permintaan dan tujuan politik korporasi. Jadi, dalam kasus asusila ini, terbaca bagaimana permainan media. Berawal dari panasnya berita, pelaku dapat tempat di media, rating pun naik. Media yang seharusnya memberikan edukasi yang benar soal kejahatan asusila pada anak, justru memberitakan hal-hal mengenai bagaimana pelaku ini seharusnya diterima dan diberi tempat di tengah masyarakat.
Berbeda dengan media dalam Islam. Media dalam Islam di bawah pengawasan langsung oleh pemerintahan Islam. Sebab media Islam adalah sarana edukasi kepada umat untuk memperkokoh ideologi Islam. Maka konten media yang disajikan jelas akan memberikan edukasi seputar Islam. Sehingga akan menciptakan persepsi dan menanamkan pemikiran islami di tengah umat.
Selain itu, media dalam Islam juga sarana edukasi penguatan akidah Islam untuk membangun masyarakat yang kukuh, beriman, dan bertakwa. Sehingga ini semua akan menjaga suasana keimanan masyarakat, serta membangun masyarakat yang beradab.