Oleh: Nida Alkhair
MuslimahTimes.com–Sungguh tragis nasib Vero Fernanda (3 tahun). Balita ini memiliki kebiasaan makan tanah dan pecahan tembok. Diduga, kebiasaan ini terjadi karena sang orang tua tidak mampu memberikan jajan. Ayahnya, Carmo, hanya bekerja sebagai teknisi barang-barang elektronik dengan penghasilan yang tak menentu, antara Rp10 ribu-25 ribu per hari, jika ada pekerjaan. Sementara ibunya, Umrotun, adalah ibu rumah tangga.
Akibat kebiasaan aneh ini, bocah asal Kota Tegal, Jawa Tengah ini acap kali mengeluh sakit perut. Karena tak punya biaya untuk berobat, orang tuanya hanya memberinya puyer. Makanan dan pengobatan memang menjadi sesuatu yang sulit dijangkau keluarga ini. Setiap hari mereka hanya makan dua kali sehari karena kondisi keuangan tak mencukupi. Bantuan dari pemerintah pun tidak dapat mereka akses karena Umrotun dan Carmo hanya menikah siri. Mereka tidak memiliki kartu keluarga, anaknya pun tak memiliki akta kelahiran. (kompas.com, 12/9/2021)
Hasil Pembangunan, Untuk Siapa?
Kasus Vero ini merupakan satu fakta kemiskinan ekstrem yang ada di negeri ini. Normalnya, balita berhak mendapatkan asupan gizi yang cukup, sehingga tumbuh kembangnya optimal. Namun, kesulitan ekonomi menjadi halangan bagi Vero untuk mendapatkan hak dasar tersebut. Kemiskinan ekstrem yang lainnya banyak bertebaran di negeri ini. Berdasarkan data Bank Dunia, saat ini tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 3,371 persen dari total penduduk di Indonesia, atau sekitar 9,91 juta jiwa. (kompas.com, 21/1/2021)
Kasus Vero dan yang lainnya membukakan mata kita tentang realita masyarakat kapitalis. Di tengah deru pembangunan infrastruktur aneka rupa, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri menjulang, juga tempat hiburan yang serba gemerlap, ternyata ada kelompok masyarakat yang tak mampu merasakan hasil pembangunan. Mereka tetap miskin, meski pembangunan jalan tol yang katanya mengungkit perekonomian dikebut siang dan malam.
Kondisi ini tidak terjadi di Indonesia saja. Kemiskinan di balik gemerlap kota juga kita temui di kota besar di Amerika. Adalah The Jungle, sebuah kawasan kumuh terbesar yang berada di tengah-tengah lokasi kawasan industri teknologi: Silicon Valley. (kompas.com, 9/9/2013)
Di Jepang, hal serupa juga terjadi. Demi menyukseskan ajang Olimpiade 2020, pemerintah Jepang mengusir para gelandangan dari kota (rri.co.id, 2/8/2021).
Orientasi Pembangunan
Kontradiksi ini membuat kita bertanya-tanya, “Pembangunan yang dilakukan selama ini untuk siapa?” Orientasi pembangunan ini penting untuk dipastikan, agar kita bisa menilai, arah pembangunan yang dilakukan selama ini benar ataukah salah.
Pembangunan pada sistem kapitalisme berorientasi pada kaum kapitalis. Kalangan pemilik modal ini memesan proyek-proyek pembangunan pada penguasa yang dibekinginya agar mendapatkan keuntungan bisnis.
Akibatnya, pembangunan hanya menyejahterakan kalangan yang jumlahnya segelintir ini. Sebaliknya, rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas, hanya bisa melihat berbagai hasil pembangunan tersebut. Jika ingin ikut menikmati infrastruktur yang dibangun, rakyat harus merogoh kocek dalam-dalam.
Pembangunan Infrastruktur dalam Islam
Hal ini berbeda dengan pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam. Orientasi pembangunan dalam Islam adalah kesejahteraan rakyat dan kemuliaan Islam. Karena insfrastruktur penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, Khilafah wajib membangun insfrastruktur yang baik, bagus dan merata hingga ke pelosok negeri.
Hal ini dicontohkan oleh para Khalifah. Khalifah Umar bin Khaththab ra. menyediakan pos dana khusus dari Baitul Mal untuk mendanai insfrastruktur, khususnya jalan dan semua hal yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Khalifah Umar ra. juga menyediakan sejumlah besar unta khusus untuk mempermudah transportasi bagi orang yang tidak memiliki kendaraan.
Khalifah Umar ra. juga mendirikan pos (semacam rumah singgah) yang disebut sebagai Dar ad-Daqiq. Rumah singgah ini adalah tempat penyimpanan sawiq, kurma, anggur, dan berbagai bahan makanan lain yang diperuntukkan bagi musafir yang kehabisan bekal. Semua fasilitas tersebut bisa dinikmati rakyat secara gratis.
Khalifah Umar ra. pernah menggali lagi sungai yang sudah tertimbun oleh tanah. Khalifah Umar mengetahui bahwa ada sungai yang pernah mengalir di antara Nil di dekat Benteng Babilonia hingga ke Laut Merah, tetapi Romawi menutup sungai itu. Khalifah Umar ra. pun menginstruksikan penggalian kembali sungai itu, hingga memudahkan jalan antara Hijaz dan Fusthath. Aktivitas perdagangan di antara kedua lautan itu pun kembali semarak sehingga bisa membawa kesejahteraan.
Khalifah Umar juga memerintahkan Gubernur Mesir menyediakan jamuan makanan gratis di perjalanan menuju Madinah dan Makkah (The Great Leader of Umar bin al-Khaththab). Berbagai proyek infrastruktur Khilafah direalisasikan, mulai dari membuat sungai, teluk, memperbaiki jalan, membangun jembatan dan bendungan hingga menghabiskan anggaran negara dengan jumlah besar. Namun, Khilafah mampu memenuhinya secara mandiri, tanpa utang. Sehingga kesejahteraan terwujud secara merata.
Rakyat mampu menikmati hasil pembangunan sehingga terpenuhi kebutuhan pokoknya. Bahkan demikian sejahteranya Khilafah hingga pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak ditemukan mustahik zakat.
Khatimah
Kasus Vero tak bisa kita pandang hanya dari aspek individu, misalnya kreativitas mencari kerja, edukasi orang tua, dan lain-lain. Karena saat perut keroncongan, bagaimana bisa berpikir kreatif dan optimal? Namun, kita harus melihatnya dari sudut pandang sistem. Yaitu bahwa sistem kapitalisme dengan deru pembangunannya yang terus digeber ternyata gagal menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, sistem Islam mampu mewujudkan pembangunan yang berorientasi kesejahteraan rakyat dan kemuliaan Islam. Hasilnya, rakyat sejahtera menjadi nyata, bukan retorika. Wallahu a’lam. []