Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
MuslimahTimes.com–Panggung hiburan memang dunia paling permisif alias serba boleh. Hampir-hampir tak punya filter, mana yang baik dan mana yang buruk. Keangkuhan terus dipertontonkan. Kasus bebasnya pelaku pelecehan seksual terhadap anak, SJ, mengonfirmasi kebenaran itu. Begitu keluar dari LP Cipinang, Jakarta Timur, pelaku pedofil yang sebelumnya penyanyi dangdut itu disambut euforia bak pahlawan (kompas).
Prosesi pengalungan bunga, seolah menjadi momentum pengampunan. Pelaku maksiat itu bahkan pulang dengan mobil mewah bak terbuka, melambaikan tangan sumringah kepada para penggemarnya. Sebuah parade kematian moral yang memprihatinkan.
Setali tiga uang, media massa segera menggelar karpet merah untuk sang pedofil. Memanggungkan kembali sang kontroversi. Layar kaca pun sempat memberitakan kebebasan sang pedofil, tanpa memikirkan perasaan keluarga korban. Juga, perasaan masyarakat Indonesia yang dibuat geram oleh kelakuannya. Media massa seolah ingin memberi “kabar baik” bagi para penggemar, bahwa idolanya sudah bebas.
Tak butuh waktu lama, pelaku pedofil ini akan segera “menghipnotis” masyarakat kembali seperti dulu kala. Terbukti, saluran Youtubenya masih eksis. Panggung hiburan akan setia memanggungkan wajahnya di mana-mana, andai petisi boikot dari berbagai elemen masyarakat yang peduli tak segera ditandatangan. Na’uzubillah.
Sanksi Sosial
Kita mengerti, mungkin saja penjara telah menjadi jalan tobat bagi sang pelaku. Semua berharap begitu. Jangan ada lagi korban pelecehan oleh sang pedofil yang kini telah bebas. Tetapi, jangan lupa, ini adalah kejahatan moral yang dilakukan seseorang yang berpengaruh. Sedikit banyak, perilakunya menjadi inspirasi bagi para penggemarnya.
Penjahat moral layak mendapat sanksi sosial. Hal ini penting untuk menyadarkan masyarakat, mana yang pantas dibela dan dielu-elukan, dan mana yang sama sekali tidak pantas diberi sambutan. Penting untuk mendudukkan kebenaran pada tempatnya. Jangan karena pelakunya orang terkenal, kebenaran menjadi bias. Kemaksiatan menjadi dimaklumi.
Perlawanan masyarakat yang memboikot sang pedofil, bukan bermaksud menutup pintu tobat. Tetapi sebagai ikhtiar untuk menutup perilaku amoral selanjutnya. Bayangkan jika masyarakat terus menerus mengidolakan pedofil, kejahatan ini pun lambat laun seolah menjadi kebenaran. Pikiran masyarakat terhipnotis oleh paham permisif, yakni serba boleh. Perasaan masyarakat menjadi tumpul dan tidak peka terhadap perilaku jahat. Jiwa mereka menjadi “hitam” tak lagi sensitif terhadap kemungkaran.
Namun, tengoklah media massa kita. Alih-alih ikut memberi sanksi sosial, atau membela kepentingan anak, media massa malah ikut memberitakannya. Padahal seharusnya mereka ikut memboikotnya dari pemberitaan. Abaikan saja tanpa publikasi, agar tak merasa besar kepala. Perlakukan sebagaimana tahanan-tahanan umumnya yang ketika bebas pun senyap tanpa pemberitaan.
Selama ini, kita sungguh jengah dengan dunia hiburan dan disokong media massa, yang begitu murah hati memberi panggung pada para pelaku maksiat. Terutama dari kalangan pesohor dunia hiburan yang tidak layak dijadikan teladan. Seharusnya mereka jijik untuk memberitakan, malah ikut mendompleng ketenaran. Demi apa? Tentu saja demi pundi-pundi rupiah yang dihasilkan dari rating pemberitaan.
Pelaku pedofilia, prostitusi artis, dan skandal dunia hiburan, adalah santapan sampah di dunia digital yang terus dijejalkan pada para pemirsa. Kontroversi demi kontroversi dipaksakan untuk diterima sebagai sebuah informasi, padahal sama sekali tidak dibutuhkan. Bahkan hanya merusak pola pikir dan pola sikap masyarakat awam. Hanya semakin mengaburkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Laknat Allah
Allah melaknat perilaku pedofilia karena termasuk perbuatan yang sangat terlarang. Imam Suyuthi dalam kitab Lubabul Hadis, seperti dikutip Republika merinci, ada ancaman berat bagi pelaku. Antara lain, pelaku akan mendapat siksa neraka selama seribu tahun. Nabi Saw bersabda, “Siapa yang mencium anak laki-laki dengan syahwat, maka Allah akan mengazabnya di neraka selama seribu tahun.”
Pedofil juga perilaku yang dilaknat oleh Allah, seluruh malaikat dan bahkan semua manusia. Nabi Saw bersabda: “Siapa yang menyentuh anak laki-laki dengan syahwat, maka Allah, malaikat, dan manusia semuanya melaknatinya.”
Yang mengerikan, besarnya dosa pedofilia seperti dosa berbuat zina dengan ibu kandung. Nabi Saw bersabda: “Siapa yang mencium anak laki-laki dengan syahwat, maka seakan-akan ia menzinai ibunya tujuh puluh kali. Dan siapa yang menzinai ibunya sekali, maka dosanya seperti ia membunuh tujuh puluh nabi.”
Langit dan bumi mengutuk perbuatan pedofilia. Sabda Nabi Saw: “Jika seorang anak laki-laki dipegang (dengan syahwat), maka arsy berguncang dan langit-langit berkata, “Wahai Tuhan kami, apakah kami diperintah untuk menyambarnya? Bumi pun berkata, “Wahai Tuhan kami, apakah kami diperintah untuk menelannya?” Na’udzubillah min Zalik. Jika Allah dan Rasul-Nya mengutuk perbuatan ini, bagaimana dengan manusia?
Tak Terlindungi
Pedofilia adalah kejahatan yang mengancam keselamatan anak-anak, generasi penerus yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Mereka rentan menjadi korban kekerasan, baik fisik, verbal maupun seksual. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri. Kewajiban orang tua, masyarakat dan negara yang menjamin perlindungan ini. Namun, perlindungan itu masih sebatas angan.
Bahkan di era pandemi, kejahatan terhadap anak masih marak. Kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan dan pencabulan terhadap anak mendominasi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, ada 419 kasus anak korban kekerasan seksual pada 2020. Kasus kekerasan fisik 249, dan 119 anak menjadi korban kekerasan psikis. Anak korban sodomi atau pedofilia dan penculikan mencapai 20 kasus (databoks).
Kekerasan pada anak, termasuk kejahatan pedofilia adalah noda dari penerapan sistem sekuler.
Sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan ini menjadi biang kerok maraknya kemaksiatan, termasuk kejahatan seksual terhadap anak-anak. Sebab, sistem ini dibangun atas liberalisme alias kebebasan tanpa terikat pada aturan Tuhan. Peradaban liberal menyuburkan perilaku amoral, termasuk pedofilia.
Sungguh tak bisa berharap perilaku pedofilia akan tersingkir dari peradaban sekuler ini. Tak bisa berharap dunia akan ramah anak. Tak bisa berharap media massa membela kepentingan anak. Kejahatan terhadap anak tidak mungkin terjadi jika tingkat keimanan individu tinggi, situasi masyarakat dilingkupi suasana keimanan dan negara menerapkan sistem yang bersumber dari wahyu Ilahi. Karena itu, bila anak ingin terlindungi, tak ada kata lain selain membuang sistem ini dan menggantinya dengan sistem buatan Ilahi.(*)