Oleh : Ummu Naufal
(Komunitas Ngopi, Ngobrol Seputar Opini)
MuslimahTimes.com–Sungguh miris apa yang terjadi hari ini. Para pejabat telah buta mata dan telinganya. Seolah tak mengerti nasib rakyat yang kian menderita. Di kala rakyat masih terseok-seok memenuhi kebutuhan hidupnya, justru para pejabat sibuk mengumpulkan pundi-pundi memenuhi kekayaannya. Adalah suatu kondisi yang sangat jauh dari apa yang disebut sebagai pelayan rakyat. Kondisi ini sungguh menyayat hati. Di tengah pandemi, kondisi kekayaan pejabat yang kian melimpah, sudahkah hari ini mereka benar-benar memikirkan nasib rakyatnya?
Dalam laman tirto.id, (15/9/2021) menyebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa kekayaan pejabat atau penyelenggara negara telah mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, pada Selasa (7/9/2021). Kenaikan harta para pejabat diketahui setelah KPK melakukan analisa terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama setahun terakhir. Jumlah harta pejabat negara mengalami kenaikan bahkan mencapai 70,3 persen. Ketua Umum DPN Bintang Muda Indonesia (BMI), Farkhan Evendi, pun menyoroti bahwa saat ini kondisi rakyat Indonesia sedang berada di masa sulit dan susah ekonomi, namun pejabat malah justru tambah kaya. “Lingkaran oligarki sudah tak bisa dihindari di negeri ini, pejabat tambah kaya sedangkan rakyat tercekik oleh kondisi akibat pandemi,” ucap Farkhan dalam keterangan tertulis, Senin (13/9/2021).
Ironi di Tengah Penderitaan Rakyat
Masa pandemi adalah masa sulit. Rakyat tak mudah dalam memenuhi kebutuhan hidup baik sandang, pangan, dan papan. Perlu ekstra kerja keras untuk mendapatkannya. Untuk sesuap nasi saja harus kerja siang dan malam, belum lagi biaya lainnya mereka harus mencari lagi dan terus begitu hingga semua terpenuhi. Jika tidak, terpaksa mengambil jalan pintas untuk berutang atau bisa dengan cara yang tidak halal. Naudzubillahimindzalik. Derita rakyat terasa tak kunjung usai.
Namun, para elit kekuasaan seolah mati rasa atas jeritan rakyat. Justru rakyat dikejutkan oleh berita tentang bertambahnya harta kekayaan para pejabat negeri ini. Kekayaan mereka naik drastis di saat hidup rakyat kian menghimpit di tengah pandemi. Sebut saja orang nomor satu di negeri ini, Presiden Jokowi, kekayaannya meningkat sebesar Rp8,8 miliar. Tahun 2019, kekayaannya diketahui tercatat sebesar Rp54.718.200.893. Di tahun 2020, kekayaannya menjadi Rp63.616.935.818.
Sementara pejabat lainnya, Mahfud MD mengalami kenaikan harta senilai Rp1.316.032.120 menjadi Rp27.131.348.257. Luhut Binsar Pandjaitan mengalami kenaikan harta senilai Rp67.747.603.287 menjadi Rp745.188.108.997. Sri Mulyani mengalami kenaikan harta senilai Rp 5.780.942.011 menjadi Rp53.314.459.737. Yaqut Cholil Qoumas mengalami kenaikan harta senilai Rp10.221.697.639 menjadi Rp 11.158.093.639. (www.merdeka.com, 9/9/2021)
Sungguh jumlah kekayaan yang fantastis. Mata rakyat pasti terbelalak dengan jumlah kenaikan tersebut. Namun bagi para elit kekuasaan jumlah kekayaan tersebut dianggap wajar-wajar saja. Bagi rakyat, kekayaan tersebut jelas dianggap tidak wajar di tengah himpitan ekonomi yang semakin mencekik. Bisa saja hal ini akan membuat rakyat semakin curiga bahkan mengurangi rasa ketidakpercayaan pada pemerintah. Sebab, bagaimana mungkin harta pejabat bertambah di atas penderitaan rakyat? Sebuah ironi seperti ada jarak antara kaya dan miskin. Kekayaan hanya milik yang berkuasa sementara kemiskinan milik rakyat jelata.
Antara Kesenjangan dan Kesejahteraan
Inilah gambaran potret buramnya sistem kehidupan demokrasi hari ini. Begitu terlihat jelas kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Menurut Farkhan, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah ini hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020. Namun, jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang. “Penduduk miskin selama pandemi ini meningkat, sedangkan banyak pejabat semakin kaya. (www.tirto.id, 15/9/2021).
Kesenjangan yang terjadi sebagai akibat dari penerapan sistem demokrasi yang serba Kapitalistik. Harta pejabat bertambah merupakan hal yang biasa terjadi. Seperti modal yang keluar banyak ketika mencalonkan diri. Lalu bagaimana agar modal balik lagi. Entah sebagai pengusaha dari bisnisnya sendiri atau aset lain dari rakyat. Hal inilah yang bisa menambah kekayaannya. Namun ekonomi ala kapitalistik tak peduli uang dari mana saja dicari, sebab secara pribadi bebas memiliki apa pun sekalipun penghasilannya diperoleh dari rakyat. Sedangkan rakyat miskin yang tak bermodal, hartanya semakin menipis. Inilah kesenjangan yang tercipta, tak lagi saling peduli nasib orang banyak.
Sementara kesejahteraan bagi rakyat yang digembar- gemborkan demokrasi nyatanya tak mampu terwujud. Kesejahteraan hanya menjadi milik si kaya. Si miskin tak boleh sejahtera. Demokrasi di negeri mana pun tampak bahwa kesejahteraan hanya sebatas jargon. Akibat penerapan ekonomi yang kapitalistik, hidup menjadi serba materialis. Kebutuhan hidup semakin mahal. Tak ada yang gratis. Baik pendidikan, kesehatan, dan yang menyangkut pelayanan publik dikenai pajak. Alhasil rakyat tetap membayar meskipun kebutuhan hidup rakyat semakin menghimpit.
Sistem yang digadang-gadang dapat menjamin keadilan bagi rakyat dan melahirkan aparatur negara serta pejabat yang melayani rakyat ini nyatanya hanya sebatas impian. Justru melahirkan para pejabat yang korup, gila harta, narkoba, dan lain-lain. Lalu apa yang bisa diharapkan dari pejabat yang seperti ini? Inilah bukti sistem demokrasi yang membuka lebar pintu bagi pejabat dan segelintir elit memperkaya diri. Sedangkan rakyat tertutup akses sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya.
Keteladanan Pejabat bagi Rakyat
Sudah seharusnya seorang pejabat terutama penguasa negeri menjadi sosok teladan bagi rakyatnya. Penguasa adalah cermin bagi rakyat yang dipimpinnya. Rakyat menjadi tanggung jawabnya. Karenanya tak mudah memegang kekuasaan. Kekuasaan adalah amanah. Kekuasaan dapat menggelincirkan seseorang jika ia menyalahgunakannya. Banyak kisah teladan yang dahulu pernah dicontohkan di zaman Rasulullah saw, bahkan mereka rela hartanya digunakan untuk kebutuhan rakyat. Seperti kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan istrinya, mendermakan harta kekayaannya demi rakyat dan lebih memilih hidup sederhana.
Kemudian Sa’id bin Amir, seorang gubernur yang hidup sederhana pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Ia hanya memiliki sehelai pakaian, hingga ia dikenal sebagai gubernur yang miskin. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Mereka dapat melakukan demikian sebab mereka memiliki dasar pegangan hidup yang kuat yaitu keimanan dan ketakwaan pada Allah Swt, serta mereka nemiliki kesadaran bahwa harta dan kekuasaan pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sungguh sangat dibutuhkan sosok pejabat yang demikian di zaman saat ini. Zaman yang penuh dengan godaan.
Namun bukan berarti pejabat tidak boleh kaya. Islam tidak melarang siapa pun untuk kaya. Namun Islam telah mengingatkan bahwa kekayaan adalah titipan. Yang artinya boleh memiliki tetapi tidak boleh dimiliki dalam hati. Sebab bisa jadi Allah akan ambil kekayaan dengan cepat bila Ia menghendaki. Islam menganjurkan agar harta yang dititipkan untuk disedekahkan di jalan Allah dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kebutuhan rakyat. Karena itu yang lebih diutamakan. Karenanya antara penguasa dan rakyat harus saling mengontrol sebagai bentuk keterbukaan, pencegahan atas kelalaian dan kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Sehingga hubungan penguasa dan rakyat terjalin dengan baik. Penguasa sebagai pelayan umat. Bukan yang dilayani umat. Dengan begitu akan tercipta saling percaya. Bukan saling mencurigai. Semua itu akan mampu diwujudkan manakala negara menerapkan sistem Islam secara kafah. Sebab dari sistem ini akan lahir pribadi yang bertakwa hanya takut pada Allah Swt. Kesejahteraan pun mampu diwujudkan bahkan dapat dirasakan oleh semua. Wallahua’lam bisshowab.