Oleh: Eni Imami (Pendidik dan Pegiat Literasi)
Muslimahtimes.com —Baru saja reda polemik kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dunia pendidikan kembali meradang. Pasalnya, pemerintah sudah ancang-ancang akan mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pendidikan sebesar 7 persen. Ini akan diberlakukan usai pandemi Corona.
Entah apa yang merasuki penguasa negeri ini, pendidikan yang merupakan hak rakyat dan wajib dijamin negara, justru dipalak atas nama pajak.
Seperti yang banyak diwartakan media, Pemerintah dan Komisi XI DRP RI tengah membahas revisi UU no. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Salah satu isi revisinya pengenaan PPN untuk barang yang selama ini tidak kena pajak, termasuk di dalamnya jasa pendidikan.
Namun, tidak semua jasa pendidikan dikenai PPN. Menurut penjelasan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, pengenaan PPN ditujukan untuk jasa pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan yang bersifat komersial dan lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal yang dipersyaratkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Sedangkan untuk sekolah dengan biaya standar, seperti madrasah bagi masyarakat biasa dipastikan tidak dikenai PPN. (Kontan.co.id, 13/9/2021)
/Bidikan Pajak Tak Tepat Sasaran/
Di sini pajak, di sana pajak, di mana-mana ada pajak. Pemerintah terus melakukan perluasan basis pajak. Dalihnya untuk memberikan keadilan perlakuan perpajakan atas kelas ekonomi masyarakat, sekaligus dalam upaya menggali pundi-pundi penerimaan negara. Wajar saja jika akhirnya sektor pendidikan kena imbasnya. Dihapus dari daftar jasa yang tidak dikenai PPN menjadi dikenai PPN.
Keadilan macam apa yang hendak diwujudkan pemerintah ini? Keadilan tarikan pajak yang diratakan atau keadilan untuk semua rakyat Indonesia agar membayar pajak? Di kala rakyat digeber dengan berbagai macam pungutan pajak, justru kalangan orang-orang kaya mendapat _tax amnesty_ dan diberi relaksasi. Bahkan pajak barang mewah di nol persenkan.
Padahal pendidikan adalah tanggung jawab negara. Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 berbunyi setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Selain itu, pada ayat 2 juga disebutkan bahwa negara wajib menjamin pembiayaan atas pendidikan dasar yang diwajibkan atas warganya.
Maka berdasarkan pasal tersebut, negara memiliki dua tanggung jawab, yaitu wajib menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan wajib membiayainya. Lantas bagaimana bisa negara menjadikan jasa pendidikan sebagai bidikan pajak? Sungguh tak tepat sasaran.
Ekonom senior Faisal Basri juga menolak keras pungutan pajak pada sektor pendidikan. Karena pendidikan adalah tanggung jawab negara. Menurutnya, mau sekolah mewah, tidak mewah, tetap _no tax education_(tak ada pajak bagi pendidikan). Jangan karena pemerintah tidak sanggup (mendulang pendapatan), maka upaya diperluas ke _private sector._ Apalagi eksternalitas pendidikan tinggi, tegasnya dalam acara B-Talk Kompas TV, Selasa (7/9/2021).
Hal ini mengindikasikan bahwa negara telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat. Bukan meringankan beban hidup rakyat, justru membuatnya kian menderita dengan berbagai macam pungutan pajak. Bukan rahasia lagi jika pajak memang menjadi sumber pendapatan di negara yang menerapkan ekonomi kapitalisme. Tak terkecuali Indonesia.
/Dampak Pajak Pendidikan/
Potret pendidikan negeri ini sungguh memprihatinkan. Tanpa pajak saja kualitasnya masih belum membanggakan. Jika PPN atas jasa pendidikan disahkan, maka semakin menambah beban. Kualitas pendidikan akan mengalami penuruan, khususnya pada standar pembiayaan yang notabene belum sepenuhnya dijamin pemerintah.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira pun angkat bicara, bahwa rencana kenaikan tarif PPN untuk jasa pendidikan atau sekolah bertentangan dengan fokus pemerintah memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Disinyalir pengenaan pajak pendidikan dapat membuat biaya pendidikan kian mencekik, khususnya bagi masyarakat bawah. (Merdeka.com, 10/5/2021).
Rakyat akan semakin sulit mengenyam pendidikan berkualitas. Karena lembaga pendidikan dapat menaikan biaya sesuai kehendaknya. Praktik komersialisasi pendidikan pun semakin terbuka lebar.
Pengenaan PPN pada jasa pendidikan sangat kontraproduktif dengan pembangunan SDM bangsa. Yang ada, hak rakyat akan pendidikan berkualitas kian pudar. Jelas ini menjadi petaka bagi masa depan negara, karena kualitas SDM semakin rendah.
Apa yang terjadi saat ini, semestinya cukup menjadi renungan bagi rakyat, bahwa penguasa tak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Yang ada mereka kerap mengabaikan bahkan zalim terhadap rakyat.
Sungguh tidak ada perbaikan jika masih berharap pada sistem pendidikan yang diterapkan saat ini. Sistem pendidikan yang dijalankan para penguasa yang abai akan tugasnya sebagai abdi rakyat. Terlebih dari itu abdi dari Allah Swt, karena setiap jabatan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka sudah saatnya beralih pada sistem dan mengangkat penguasa yang taat kepada Allah Swt. Tiada lain kecuali sistem yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Allahu a’lam bis showab.