Oleh : Hany Handayani P, S.P
(Pemerhati Sosial)
#MuslimahTimes.com – Indonesia merupakan negara yang plural. Beraneka ragam suku, budaya, dan agama lahir di negeri bahari ini. Maka sikap toleransi antarsuku, budaya dan agama pun dijunjung tinggi guna terjalin kehidupan yang rukun dan damai.
Hidup dengan beragam suku, budaya, dan agama memang tidak mudah. Konflik dan perselisihan sering terjadi jika setiap kelompok tertentu lebih mengutamakan baqo atau sifat mau menang sendiri di antara yang lain. Tak jarang beragam konflik akhirnya mempertaruhkan nyawa demi pembelaan salah satu kelompok tertentu.
Indonesia sangat terbuka dengan perbedaan, saling menghormati keyakinan masing-masing dan menghargai satu sama lain. Hal ini bukan tanpa sebab, melainkan karena satu tujuan yakni hidup berdampingan secara rukun.
Lantaran sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim, maka tak dimungkiri sikap toleransi tersebut pun hasil dari perpaduan akhlak dan kepercayaan seorang muslim. Sikap tersebut dituntun agar mampu menghasilkan kehidupan dinamis walau berbeda segala rupa.
Hal ini bisa dijelaskan dalam firman Allah di surat al hujarat ayat 13 berbunyi: “Wahai manusia. Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal“.
Dari ayat tersebut secara gamblang dinyatakan bahwa perbedaan yang terjadi merupakan sebuah qodho yakni ketentuan Allah. Ketentuan tersebut selayaknya harus disyukuri, karena berkatnya manusia mampu menerima perbedaan satu sama lain. Tanpa saling meninggikan atau merendahkan.
Hanya saja, Islam pun memiliki koridor yang tepat bagaimana toleransi yang bisa menghasilkan keselarasan. Sebab jika toleransi kebablasan, maka bukan keharmonisan yang diperoleh justru konflik berkepanjangan hasilnya.
Buktinya adalah seperti kasus yang akhir-akhir ini sedang terjadi di wilayah Kalimantan. Aksi penyerangan terjadi di masjid milik sebuah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Berdasarkan berita online yang dirilis dari CNN Indonesia, pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak aparat keamanan untuk menindak tegas pihak-pihak yang telah merusak masjid dan bangunan milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Balai Gana, Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Dari gambaran kejadian tadi seakan JAI merupakan korban atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagai warga negara yang taat hukum, alangkah baiknya kita harus proporsional ketika mendudukan suatu kasus. Jangan fokus terhadap dampak yang terjadi, namun carilah terlebih dahulu latar belakang yang menjadi akar masalah tersebut.
Karena tidak mungkin kekerasan tersebut dilakukan masyarakat sekitar tanpa sebab. Menurut media online Republika.co.id yang bertanggung jawab terhadap tindakan pengerusakan adalah gerakan Aliansi Umat Islam di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Mereka adalah warga sekitar wilayah tersebut.
Sudah merupakan tugas para penyidik untuk mengungkap terlebih dahulu, ada masalah apa dibalik kasus tersebut. Apa yang melatar belakangi gerakan Aliansi Umat Islam di Kabupaten Sintang hingga timbul kasus demikian. Sebagaimana penuturan Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini yang mengecam keras oknum yang mendalangi aksi perusakan Masjid Miftahul Hida.
Kontroversi Ahmadiyah
Ahmadiyah adalah sebuah gerakan kebangkitan Islam dan mazhab atau aliran baru dalam Islam. Lahir lebih dari satu abad lalu, namun kehadirannya tak lepas dari kontroversi. Prinsip utama yang membedakan antara Islam arus utama dan Ahmadiyah, sebagaimana dikatakan oleh ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah masalah kenabian.
”Karena Ahmadiyah menganggap ada nabi setelah Nabi Muhammad. Itu suatu pendapat yang tidak boleh dipersoalkan lagi,” tegas Ma’ruf Amin. (Dilansir dari BBC Indonesia). Masih dari sumber yang sama, sosok yang diyakini Ahmadiyah sebagai nabi penerus setelah Nabi Muhammad SAW adalah Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Selain masalah kenabian, prinsip kedua yang menjadi kontroversi adalah fakta bahwa Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan al Masih al Mau’ud.
Faktor ketiga adalah fakta bahwa kumpulan wahyu yang disebutkan diterima oleh Mirza Ghulam Ahmad oleh penganutnya dibukukan setelah beliau wafat ke dalam Tadhkirah atau kadang ditulis Tazdkirah. Sebagian umat Islam menganggapnya sebagai kitab suci Ahmadiyah.
Berdasarkan ketiga fakta di atas maka Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa perbedaan prinsip ini tidak lagi dalam wilayah yang dapat ditoleransi. Seperti tajdid atau pembaruan. Dalam kesepakatan seluruh umat Islam di dunia, tajdid itu boleh tapi berupa gerakan. Jika tajdid itu sudah mengarah kepada perbedaan yang sifatnya mendasar seperti akidah, maka terjadi penyimpangan yang harus diluruskan. Kecuali dia tidak membawa nama Islam.
Walhasil Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah pada tahun 1980. Kemudian diperkuat dengan fatwa lagi pada tahun 2005 yang berisi bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat, menyesatkan dan sudah keluar dari Islam.
Dari penjelasan di atas tergambar bahwa ternyata yang merisaukan masyarakat sekitar adalah ajaran dari gerakan Ahmadiyah yang sudah jauh menyimpang dari aqidah Islam. Maka wajar jika mereka akhirnya bertindak secara pribadi, lantaran keresahan mereka tidak ditanggapi oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Mendudukan Nilai Toleransi
Toleransi dalam bahasa Arabnya adalah tasamuh. Bila bicara mengenai toleransi maka kaum muslim sudah jauh lebih dulu mempraktikan sikap toleransi ini di zaman Nabi. Karena Nabi paham betul bahwa masyarakat Arab yang menjadi obyek dakwahnya saat itu terdiri dari berbagai suku.
Salah satu penerapan toleransi yang pernah dicontohkan oleh sang Nabi saw yakni ketika suatu kali ada seorang Yahudi meninggal dunia yang dibawa oleh para kerabatnya untuk dimakamkan. Pada saat yang sama, Nabi dan para sahabat sedang duduk-duduk. Mengetahui ada jenazah orang Yahudi sedang lewat, Nabi saw kemudian berdiri sebagai tanda penghormatan. Spontanitas para sahabat bertanya, “Wahai Nabi, kenapa engkau berdiri, padahal jenazah tersebut adalah seorang Yahudi?”
Jawaban Rasulullah singkat, “Setidaknya ia adalah seorang manusia”. Sikap ini menunjukkan bahwa Nabi adalah tipe yang menjunjung tinggi toleransi. Nabi paham bagaimana memposisikan diri, bergaul serta berhubungan dalam lingkungan Arab yang sangat menjunjung tinggi nilai kesukuan dari banyak kabilah.
Toleransi yang dicontohkan Nabi dianjurkan dalam segala bidang kehidupan, baik muamalah, sosial, keamanan terutama dalam bidang kehidupan keagamaan. Namun toleransi dalam keberagamaan ini tidak bablas tanpa batas. Islam menyerukan toleransi di segala bidang kecuali dalam ranah akidah.
Islam melarang mempertukarkan akidah maupun turut serta dalam peribadatan agama lain atau mengikuti ajaran agama lain. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al kafirun ayat 6: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku“. Ayat ini mengajarkan kepada kita mengenai konsep toleransi dari sisi akidah. Menghargai dengan cara tidak mengganggu dan menghormati peribadatan agama lain.
Sebab, jika tidak ada batasan tersebut, yang akan terjadi adalah toleransi yang bablas. Toleransi bablas akan menghasilkan kerusakan dalam hal akidah. Ini akan membuat peluang aqidah tertindas lantaran toleransi yang tidak sesuai dengan koridor Islam. Inilah sikap yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw sebagai teladan bagi umat manusia. Maka sebagai umatnya kita harus berpanduan pada Nabi sebagai uswatun hasanah.
Wallahu a’lam bisshawab.