Oleh: Ragil Rahayu
MuslimahTimes.com–Kohabitasi adalah tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan, atau dulu dikenal dengan istilah “kumpul kebo”. Istilah “kohabitasi” ini memperhalus rasa bahasa dari istilah “kumpul kebo”. Munculnya istilah baru untuk memperhalus rasa bahasa ini sering terjadi. Misalnya istilah PSK (Pekerja Seks Komersial) yang kini banyak digunakan media. Padahal dulu istilahnya adalah “WTS” (Wanita Tuna Susila) dan “pelacur”. Perubahan istilah ini bertujuan memperhalus rasa bahasa, meski hakikat realitasnya sama.
Perubahan istilah ini punya tujuan, yakni mengubah stigma negatif yang ada pada pelacur. Dengan disebut sebagai PSK, mereka seolah sama dengan para pekerja yang lain, sama-sama jual jasa. Hanya saja, kalau pekerja yang lain menjual jasa yang halal, para PSK ini menjual jasa seks yang sejatinya haram. Istilah “kohabitasi” ini juga sama. Hakikatnya adalah kumpul kebo, tetapi agar tidak muncul kesan negatif, diperhalus dengan istilah “kohabitasi”. Seolah-olah aktivitas kohabitasi ini wajar.
Zina Merajalela
Tujuan dimunculkannya istilah “kohabitasi” ini adalah untuk mematikan alarm kemaksiatan yang ada di tengah umat Islam. Sesuai ajaran agamanya, umat Islam adalah umat yang peduli pada kondisi masyarakat, bukan umat yang cuek dan individualis. Jika ada praktik “kumpul kebo”, umat akan bereaksi. Mereka akan menasihati pelaku atau melaporkannya ke RT setempat. Namun, jika istilahnya diganti “kohabitasi”, umat akan memandang itu sebagai sebuah gaya hidup modern yang sudah sewajarnya. Maka, sikap yang muncul adalah pembiaran. Ini sungguh bahaya, zina bisa merajalela.
Gaya hidup yang seperti ini sudah menggejala di perkotaan. Para penghuni hanya mengurusi urusannya sendiri dan tak peduli pada urusan orang lain. Praktik zina pun marak terjadi tanpa terdeteksi. Padahal, mau dibuatkan istilah sehalus apa pun, zina tetaplah haram.
Allah Swt. berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Al Isra’: 32)
Bukan Sekadar Istilah
Kita sebagai muslim, apalagi orang tua, butuh tahu istilah yang sedang marak di kalangan milenial. Agar bisa waspada terhadap bahayanya. Karena istilah itu ada bukan sekadar istilah bahasa, tetapi merupakan gaya hidup yang sedang menggejala di masyarakat. Kohabitasi bukan sekadar istilah, tapi gaya hidup yang diaruskan kalangan sekuler liberal. Gaya hidup lain yang juga mereka aruskan adalah childfree (mau nikah, tetapi ogah punya anak), waithood (menunda nikah), dan lain-lain.
Saat ini, para pengusung childfree dan waithood itu bisa jadi adalah muslimah berhijab. Meski berhijab, tetapi pemikirannya sekuler, sehingga haya hidupnya pun liberal.
Resesi Generasi
Gaya hidup kohabitasi yaitu “emoh nikah, ogah punya anak” ini berdampak serius pada kelangsungan generasi. Di negara yang kohabitasi sudah marak, seperti negara-negara Barat, terjadi pertumbuhan penduduk yang rendah. Di sana, negara bahkan bersedia memberikan insentif bagi yang mau punya anak. Namun penduduknya tetap enggan punya anak, karena sudah terbiasa gaya hidup bebas. Sedangkan menikah dan punya anak tentu membawa banyak konsekuensi berupa tanggung jawab.
Di Asia, ada empat negara yang sudah mengalami resesi generasi ini, yaitu Cina, Jepang, Korsel, dan Singapura. Bahkan di Korsel sudah ada persatuan wanita yang menolak norma patriarkal dan bersumpah untuk tidak menikah. Mereka bahkan berjanji tak mau punya anak, bahkan berkencan dan berhubungan seksual. Kelompok feminis itu bernama ‘4B’ atau ‘Four Nos’, yang merupakan kepanjangan dari ‘no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing’, yang artinya adalah tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak mengasuh anak. Duh, para oppa dan eonni bisa-bisa tidak punya generasi penerus.
Apa Kata Islam?
Islam memiliki konsep yang benar tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Inilah yang disebut Nidzam Ijtimai fil Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam). Apa saja rinciannya?
1. Pernikahan adalah satu-satunya hubungan yang halal antara seorang lelaki dengan perempuan nonmahram. Islam mengharamkan zina, maupun hubungan yang mendekati zina, seperti pacaran dan kohabitasi/kumpul kebo.
Dalam surat An-Nuur ayat 32 Allah berfirman,
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Rasulullah bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR Bukhari)
2. Islam menganjurkan memiliki banyak anak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
“Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).” (Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar)
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءَ يَومَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para Nabi nanti pada hari kiamat.” (Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik)
3. Islam melarang zina dan aktivitas mendekati zina.
Dengan syariat ini, umat Islam terhindar dari gaya hidup Barat, seperti kohabitasi, childfree, waithood, hubungan sesama jenis, dan sejenisnya. Pertumbuhan jumlah muslim juga terus melesat, hingga diprediksi di masa depan, Islam akan menjadi agama dengan jumlah pemeluk terbesar di dunia.
Maka, jangan meremehkan kiprah para ibu yang memiliki peran besar dalam mencetak generasi Islam pemimpin peradaban di masa depan. Tinggal PR kita adalah bagaimana meningkatkan kualitas generasi muslim. Caranya adalah dengan mendidik anak-anak kita dengan Islam. Hal ini tentu butuh dukungan negara, yaitu dengan menyediakan sistem pendidikan berdasarkan Islam, sehingga terwujud generasi berkepribadian Islam. Wallahu a’lam.