Oleh. Sri Wahyuni, S.Pd
Praktisi Pendidikan dan Freelance Writer
MuslimahTimes — Langkah Pemerintah melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas tampaknya terus berlanjut meski terdapat sejumlah sekolah yang warganya banyak terkonfirmasi positif Covid-19. Mendikbudristek, Nadiem Makarim, sendiri telah menegaskan hal ini. “Tidak, tidak (dihentikan). PTM terbatas masih dilanjutkan, prokes harus dikuatkan dan sekolah-sekolah dimana ada situasi seperti itu harus ditutup segera sampai aman.”(detik.com, 24/9/2021)
Sementara itu, menyambut seruan Mendikbudristek, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta semua pihak untuk waspada terkait potensi penularan Covid-19 yang dapat terjadi di sekolah ketika pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas jika protokol kesehatan banyak dilanggar warga sekolah.
KPI mengaku kerap menemukan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) saat melakukan pengawasan langsung terhadap PTM terbatas ke berbagai sekolah di sejumlah daerah. KPAI bahkan menemukan adanya sebagian guru dan siswa yang tidak bermasker saat berada di lingkungan sekolah. “Pelanggaran prokes yang terutama adalah 3M, di antara masker yang diletakkan di dagu, masker yang digantungkan di leher, tempat cuci tangan yang tidak disertai air mengalir dan sabun, bahkan ada sebagian guru dan siswa tidak bermasker saat berada di lingkungan sekolah. (Republika, 27/9/2021)
Tak dinafikkan memang pelaksanaan PTM dapat menimbulkan cluster baru jika prokes tak berjalan sesuai prosedur. Oleh karenanya, keseriusan negara menjadi kunci keberhasilan PTM. Keluhan negara atas PTM yang tak sesuai prokes selayaknya dapat dijadikan bahan muhasabah, apakah ini memang murni kesalahan sekolah ataukah negara juga turut andil atas tidak berjalannya PTM yang sesuai prosedur. Adanya kasus pelanggaran prokes dipicu oleh banyak hal seperti kelas yang tak memadai jika harus berjarak, harga masker yang cukup fantastis. Sebab jika sesuai prokes, masker kain ataupun masker medis biasa ternyata tak mampu melindungi pengguna dari virus.
Belum lagi fasilitas cuci tangan, penyediaan hand sanitizer dan tissue ini semua membutuhkan biaya yang jumlahnya tak sedikit. Maka, pertanyaanya adalah apakah negara telah menjamin semua fasilitas PTM tersebut serta hal-hal antisipasi pelanggaran prokes ataukah justru melimpahkan semua kepada masing-masing sekolah?
Tampaknya yang terjadi adalah sekolah secara mandiri mengeluarkan biaya demi mewujudkan PTM kembali digelar. Sekolah juga yang dituntut kreatif memecahkan setiap masalah dalam kendala PTM. Padahal tak sedikit sekolah yang sekadar menggaji pengajarnya saja kebingungan. Maka, sudah semestinya negara tak hanya mengeluhkan kondisi tersebut melainkan memberikan jaminan yang maksimal. Negara adalah orang tua bagi masyarakat, layaknya orang tua maka tak cukup menegur si anak jika melakukan kesalahan, apalagi mengeluh atas perilaku si anak jika sebelumnya tak pernah adil dalam mendidik serta memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Sekarang masalahnya adalah ketika negara mengeluh atas PTM yang tak taat prokes, lantas pelayanan seperti apa yang sudah negara berikan pada sekolah?
Keluhan ini justru seperti hendak mengonfirmasi kegagalan negara dalam menjamin pelaksanaan pendidikan sesuai prokes. Menjamin kesejahteraan rakyat adalah tugas negara termasuk di dalamnya adalah jaminan pendidikan. Maka, harusnya bukan keluhan, melainkan memenuhi apa yang menjadi hak rakyat. Dengan demikian, masalah ini akan selesai jika negara mau bertanggung jawab penuh untuk menjalankan perannya sebagai peri’ayah. Namun rasanya mustahil negara dapat mengambil peran tersebut sampai negeri ini hijrah dari sistem yang menuntut rakyat memenuhi sendiri segala kebutuhannya sendiri menuju sistem yang menjamin kebutuhan rakyat.
Pendidikan adalah bagian dari kebutuhan masyarakat yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, demikianlah Islam menjelaskan. Mengapa menjadi kewajiban negara? Hal ini karena Islam menempatkan pendidikan sebagai pilar peradaban. Esensinya sedemikian penting, hingga negara diberi tanggung jawab penuh memastikan pendidikan terselenggara secara optimal. Negara juga harus memastikan pendidikan dapat dienyam setiap warga negara dengan sebaik-baiknya.
Karena pendidikan adalah hak setiap warga negara. Apa pun suku bangsanya, miskin atau kaya, muslim atau nonmuslim, semua berhak mendapat pendidikan dengan kualitas maksimal. Maka, semua hal yang menunjang pendidikan ideal akan diupayakan oleh negara untuk mewujudkannya. Sarana dan prasarana, asrama, perpustakaan, termasuk tenaga pengajar yang memadai. Dengan demikian tak ada sekolah yang tak optimal menjalankan perannya lantaran kendala biaya. Sebab hal ini akan di back up oleh negara.
Hari ini kita mengenal Universitas Al-Azhar di Mesir, Al-karawiyyin di Fez, Sankore di Timbuktu, Mali, Afrika, dan lain-lain. Masing-masing lembaga ini diketahui memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju di masanya. Majunya sistem pendidikan Islam bahkan mampu menjadi mercusuar peradaban yang disegani seluruh negara di dunia. Bukti sejarah akan hal ini dapat dilihat dari catatan sejarah peradaban Islam. Di antaranya, catatan tentang surat yang dikirimkan George II raja Inggris, Swedia, dan Norwegia kepada Khalifah Hisyam III. Di suratnya, ia memohon dengan penuh kerendahan agar putra-putri bangsa Eropa diperkenankan mengenyam “mata air yang jernih” berupa universitas-universitas ilmu pengetahuan dan industri-industri yang maju di negeri Islam yang makmur dan sejahtera. Bahkan, ia mengirimkan hadiah bersama delegasi dari kalangan pangean dan putri raja-raja Eropa yang datang kepadanya.
Sungguh, negeri ini akan benar-benar kehilangan kesempatan untuk melahirkan generasi emas jika masih berkhidmat pada sistem yang menjadikan negara sekadar sebagai regulator bukan peri’ayah.