Oleh. Helmiyatul Hidayati, S. I. Kom.
(Blogger Profesional dan Pemerhati Masalah Publik)
#MuslimahTimes — Beberapa kalangan merasa khawatir tidak berdasar pada dakwah Islam Kaffah, bahkan menganggap hal tersebut sebagai kegiatan men-Suriahkan Indonesia. Namun banyak yang tidak sadar bahwa sedang terjadi proses men-Thailandkan Indonesia. Padahal inilah sesungguhnya ancaman yang sangat nyata, tidak hanya bagi Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Thailand, negeri yang menonjol dengan pariwisata dan alamnya yang indah, telah menarik perhatian dunia dari berbagai aspek. Menyusul baru-baru ini, melejitnya popularitas Lalisa Blackpink, sebagai warga negara Thailand yang menjadi idol di negeri ginseng. Negeri ini pun makin dikenal.
Telah lama, Thailand pun dikenal sebagai surganya para transgender. Sebutan ini bukan tanpa alasan; di negeri ini, operasi kelamin sangat mudah diakses dan marak dilakukan. Obat hormone dapat dibeli tanpa resep dan tersedia hampir di semua apotek.
Thailand pun resmi memberikan dukungan pada komunitas LGBT+Q dengan mengakui secara hukum “gender jenis ketiga”. Artinya jenis kelamin selain pria dan wanita, juga diakui di sana. Tidak tanggung-tanggung, Thailand mendefinisikan jenis kelamin sebanyak 18 (delapan belas) diantaranya Tom, Dee, Tom Gay, Tom Gay King dsb.
Masyarakat Thailand juga menganggap transgender bukanlah hal yang sangat tabu. Dengan adanya keyakinan yang menganggap bahwa transgender sebenarnya adalah reinkarnasi dari manusia yang di kehidupan sebelumnya melakukan dosa, pemakluman pada mereka di Thailand amat sangat besar. Pelaku transgender justru dianggap sebagai orang yang sedang menjalani hukuman dan proses menuju taubat.
Kehidupan di Thailand sering kali menjadi rujukan dan konten kampanye komunitas LGBT+Q dalam menuntut perlakuan yang sama dengan alasan hak asasi manusia (HAM) di berbagai belahan negara lain, termasuk di Indonesia.
Kampanye ini dibungkus dalam berbagai macam cara, termasuk melalui industry pageant (kontes kecantikan). Awalnya kontes kecantikan hanya untuk orang-orang yang terlahir wanita. Namun lama-kelamaan bergeser menjadi untuk pria dan transgender.
Pada tahun 2018, Angela Ponce, menjadi transgender pertama yang menjadi kontestan Miss Universe, kontes kecantikan yang dianggap terbesar di dunia. Miss Universe menjadi platform besar dalam mengenalkan komunitas LGBT+Q dan membuatnya makin berpengaruh.
Belum lama ini, Beatrice Luigi Gomes, yang mengakui dirinya sebagai Lesbian memenangkan kontes kecantikan Miss Universe Filipina, menjadi perayaan bagi komunitas LGBT+Q. Dengan makin suburnya industry pageant, dan keterlibatan komunitas LGBT+Q di dalamnya, para transgender telah menarik perhatian dan simpati dunia.
Otoritas pariwisata Thailand juga mensponsori kontes Miss International Queen, kontes kecantikan terbesar bagi pelaku transgender di seluruh dunia. Millen Cyrus, seorang public figure dinobatkan sebagai Miss Queen Indonesia 2021, dan akan menjadi transgender dari Indonesia yang akan mengikuti kontes tersebut di tingkat internasional bersaing dengan transgender dari berbagai negara lain.
CARA PANDANG YANG SALAH
Dalam industry pageant, pelaku transgender dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian dan simpati. Dengan tampilan yang cantik, hingga hampir tak ada bedanya dengan mereka yang terlahir wanita, mereka juga memiliki pengetahuan dan intelektual serta memiliki segudang prestasi dan kontribusi bagi masyarakat. Berteriak atas nama HAM, mereka menuntut kepada dunia agar mereka tidak dipandang sebelah mata dan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan pria atau wanita dalam segala aspek kemasyarakatan.
Penerimaan dunia yang makin membesar pada komunitas ini dikarenakan adanya cara pandang yang salah dalam melihat para pelaku transgender. Transgender tidak dipandang sebagai sebuah kesalahan yang mengancam komunitas dunia namun dipandang sebagai pilihan hidup orang lain yang harus diapresiasi.
Sistem kapitalisme-demokrasi memiliki andil besar dalam menyuburkan komunitas ini dengan pilar-pilar kebebasannya. Salah satunya adalah kebebasan berperilaku. Kebebasan yang dijamin oleh demokrasi ini justru akan membawa umat manusia pada jurang kehancuran.
Sejatinya fakta social membuktikan bahwa pengidap LGBT disebabkan karena 3 (tiga) factor yakni : Pertama, kecanduan pornografi sehingga mempengaruhi pola pikir dan aksi seksual seseorang. Kedua, sakit hati kepada lawan jenis sehingga berpaling ke sesame jenis. Dan ketiga, karena pengaruh perilaku dan lingkungan yang negative.
Beberapa dampak buruk juga bisa terjadi sebagai akibat dari aktifitas LGBT ini, diantaranya muncul berbagai macam penyakit kelamin hingga meningkatnya penularan HIV/AIDS. Dan terancamnya kepunahan manusia, karena komunitas LGBT tidak akan bisa melahirkan keturunan secara alami.
SOLUSI ISLAM
Sudah jelas bagaimana Islam memandang para LGBT+Q. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya” (HR Tirmidzi)
Untuk itu Islam sebagai ideology yang sempurna memiliki teknik prefentif dan kuratif dalam mengentaskan LGBT+Q. Teknik ini, dalam pelaksanaannya membutuhkan negara yang menegakkan syariat Islam sebagai undang-undangnya.
Secara prefentif, negara memastikan tidak ada ruang bagi pelaksanaan kontes-kontes kecantikan yang di dalamnya banyak terdapat aktifitas maksiat, termasuk kontes untuk para transgender. Tidak hanya melarang warganya untuk ikut, namun juga akan melarang kontes seperti itu diadakan di wilayah daulah.
Negara juga menutup segala akses yang memungkinkan untuk merangsang penyimpangan aksi seksual seperti pornografi dan pornoaksi. Negara juga memastikan pria dan wanita mendapatkan hak dan kewajibannya sebagaimana diatur oleh hukum syara’.
Secara kuratif, negara memberi hukuman bagi pelaku LGBT+Q sesuai bagaimana hukum syara’ mengaturnya. Bagi para pelaku liwath, maka akan ditetapkan hukuman mati. Peradilan ini akan memberikan pelajaran bagi pelaku maksiat lain agar tidak melakukan hal yang sama dan kembali bertaubat kepada Allah SWT.
Jadi, di dalam Islam, fitrah seseorang dijaga dan dilindungi sesuai dengan perannya. Sementara di dalam kapitalisme-demokrasi, fitrah seseorang menjadi ternoda bahkan berusaha dialihkan dan diganti. Seseorang yang oleh tuhan telah ditetapkan lahir sebagai laki-laki, manusia sendiri yang mengubahnya menjadi wanita. Perlawanan terhadap takdir seperti ini hanya akan membawa manusia pada kehancuran dan hanya Islam yang sanggup memperbaikinya.