Oleh. Indah Shofiatin (Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga)
MuslimahTimes.com–Pandemi Covid- 19 belum usai. Sejak akhir tahun 2019, dunia termasuk Indonesia masih berjuang untuk keluar dari pandemi ini. Berbagai hambatan dan perubahan demi selamat dari terjangan pandemi telah dilakukan, karena pandemi Covid 19 membuat lansia hingga bayi dan balita menjadi korban. Tak terkecuali dunia pendidikan, kelas-kelas pembelajaran terpaksa dipindah online-kan. Berbagai hambatan pun ditemukan, namun berbagai lonjakan kasus Covid-19 yang mengagetkan menjadikan pilihan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) sebagai pilihan teraman.
Namun sayang, tidak semua wilayah Indonesia memiliki akses internet yang cukup untuk menjalankan PJJ, bahkan ada pula daerah-daerah yang tidak memiliki akses internet sama sekali. Jangankan internet, ada pula daerah-daerah yang belum punya akses terhadap listrik! Ditambah lagi tidak semua siswa memiliki gawai pintar (smartphone) atau laptop, bahkan tidak semua orang tua murid mampu membelikan anak-anaknya dua benda mahal tersebut sebab kesulitan ekonomi. Kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan membuat PJJ di negeri ini begitu sulit dilaksanakan, atau terasa mustahil di tempat-tempat yang belum pernah mengecap internet.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengungkap masih ada 12 ribu sekolah yang tak memiliki akses internet di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T). Juga ada 48 ribu sekolah dengan jaringan internet yang buruk di penjuru daerah. (cnnindonesia.com)
“Hasilnya kira-kira 30 persen anak murid kita yang bisa melakukan pembelajaran daring dengan interaktif, yang lainnya masih belum,” kata Jumeri, Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud tentang kajian dampak PJJ bagi anak didik dalam Dialog Profuktif di Kanal Youtube FMB9ID_IKP, Kamis (22/7/2021). (tribunnews.com/22-08-2021)
Lalu, apa solusi pemerintah untuk mengatasi masalah PJJ ini? Pemerintah menetapkan PTM (Pertemuan Tatap Muka) di tengah kondisi pandemi yang masih mengancam. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, mengimbau daerah PPKM level 3, level 2 dan level 1 melakukan sekolah tatap muka terbatas. (cnbcindonesia-com.cdn.ampproject.org)
DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang mulai menggelar sekolah tatap muka pada Senin, 30 Agustus 2021. Merujuk pada SKB 4 menteri, sekolah tatap muka terbatas bukan berarti sekolah berjalan seperti biasa. (tempo-co)
Hasilnya, ada 25 klaster Corona yang disebut terjadi di Jakarta selama belajar tatap muka digelar. Perinciannya, sebanyak 227 pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dan 241 peserta didik (PD) positif Covid-19. Jika dalam skala nasional, total ada 1.302 klaster pada PTM.
(detik.com)
Meski demikian, Mendikbudristek, Nadiem Makarim, tetap akan melanjutkan sekolah tatap muka, dengan dukungan dari Presiden Joko Widodo dan kementerian terkait mengenai hal ini. (Kompas.com, 20/09/2021)
Apakah PJJ yang ditetapkan demi melindungi siswa dan para guru dari terjangan pandemi justru malah memberatkan dunia pendidikan? Ketika mengirim siswa dan guru kembali ke sekolah saat pandemi belum dipastikan dapat dikendalikan bukanlah pilihan yang aman? Ataukah sebenarnya ketidakmerataan pembangunan dan kemiskinan yang harus diselesaikan?
Sejatinya, PJJ tidaklah akan menemukan kendala yang ‘membuat pendidikan berjalan mundur’ ketika negara ini mampu menyelesaikan hambatan terbesar penyelenggaraannya, dan bila pembangunan di negara ini berjalan merata dan kemiskinan dapat diatasi. Seandainya semua daerah sudah mendapatkan pemasangan listrik dan internet dapat diakses dengan mudah oleh tiap rakyat, bukannya hambatan ini tidak akan pernah dipermasalahkan?
Seandainya semua siswa dan guru punya laptop dan smartphone dengan mudah, akankah masalah ini muncul? Seandainya juga negara ini menangani masuknya Covid- 19 ke negeri ini dengan serius (misalnya menjalankan lockdown dan mencurahkan biaya raksasa dari sejak pertama kasus sedikit terdeteksi), apakah kondisi ini perlu terjadi? Seharusnya semua kesulitan PJJ ini membuat pemerintah banyak mengevaluasi kesalahan-kesalahannya dalam menangani masalah dan mengelola negeri ini. Membuka mata atas ketidakmerataan pembangunan dan kemiskinan semestinya menjadi hal yang tak terelakkan. Menyadari keteledoran penanganan pandemi juga semestinya dilakukan. Setelah itu sibuk bertanya, bagaimana memperbaiki semuanya? Bukankah begitu seharusnya sikap pemerintah pengayom rakyat? Bukan malah memaksakan rakyatnya terjun ke dalam bahaya saat mencoba bereksperimen dengan kebijakannya, bukan? Rakyat butuh disejahterakan, pembangunan harus dimeratakan, pandemi harus dihentikan, tak bisa dimungkiri ini semua tanggung jawab negara dan para penguasa.
Lebih lagi, para penguasa rakyat kebanyakan adalah muslim, bukankah Islam telah memberi seperangkat aturan lengkap untuk mengelola negara, mengatur urusan rakyat, memeratakan pembangunan, mengadakan pendidikan, menstabilkan pos-pos keuangan, bahkan mengeluarkan negara dari pandemi? Islam telah memberi semua aturan lengkap tersebut, maka demi apa kita menolak untuk menengok, meresapi, mengimani dan menjalankan aturan sempurna dan menentramkan dari pencipta Anda, Allah Swt? Mengapa kita berpaling saat jawaban untuk masalah negeri ini ada dalam wahyu-wahyu Allah dalam Al-Quran dan As-Sunnah?
Wahai para menteri dan presiden, Allah meminta Anda untuk bertakwa pada-Nya dan takut akan azab dunia akhirat-Nya. Rakyat meminta Anda sekalian untuk mengayomi, melindungi, memastikan kesejahteraan dan keamanan mereka. Maka mengapa Anda abaikan? Takutlah kepada Allah. Bertaubatlah demi kebaikan Anda dan negeri ini. Buktikan keimanan yang masih hidup di dada Anda. Kembalikan pengaturan negeri kepada aturan-Nya. Tunduklah pada kebenaran-Nya. Jadilah penguasa dan hamba yang bertakwa, demi Anda sendiri dan rakyat. Di sanalah Anda akan menemukan banyak solusi dan jalan keluar. Mengatur PJJ, memastikan kesejahteraan rakyat, mengatasi pandemi, menjadi penguasa yang sejati, Anda akan menemukan semuanya dalam Islam. Masuklah ke dalam agama ini seluruhnya, dan negara ini akan selamat bersama Anda.