Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Bengkel Istri dan Salehah Institute)
MuslimahTimes–Siapa yang tahan diteror para penagih utang. Apalagi dari 25 penyelenggara pinjaman online (pinjol) sekaligus. Itulah yang membuat WPS (38) memilih menjemput maut. Ibu rumah tangga di Wonogiri, Jawa Tengah, itu ditemukan tewas bunuh diri pada Sabtu (21/10/2021). Selembar surat ditinggalkannya untuk sang suami. Ia mengaku, punya pinjaman di 25 aplikasi pinjol, di mana rata-rata utangnya Rp1,6 juta hingga Rp3 juta. Total tagihan, berikut bunga dan dendanya, mencapai Rp51,3 juta (Tempo).
Berjatuhan Korban
WPS bukanlah korban pertama yang memilih mati gara-gara pinjol. Sudah banyak korban berjatuhan. Data yang dihimpun Kumparan, antara lain menyebutkan beberapa kasus bunuh diri karena pinjol. ADS (35), petugas penangkaran rusa BKSDA di Gunungkidul, tewas gantung diri di kandang rusa. Diduga tak tahan dengan teror pinjol. Lalu, Slamet Khudori, karyawan minimarket yang gantung diri di Cengkareng, Jakarta Barat. Tidak jauh dari jasadnya, tergeletak sepucuk surat peringatan agar tidak melakukan pinjaman online.
Ada juga Zulfadhli (35) yang ditemukan tewas gantung diri di kamar kos di Jakarta Selatan. Ia menulis surat: “Maafkan saya telah membuat semua orang susah. Anak-anak janganlah pernah kalian menjadi orang yang suka berbohong. Ayah telah membuat kalian susah. Kelak menjadilah orang-orang yang jujur. Istriku maafkan aku yang tak pernah membuat kalian bahagia. Kepada OJK dan pihak berwajib tolong berantas pinjaman online yang telah membuat jebakan setan. Wahai para rentenir online kita bertemu nanti di alam sana.”
Masih banyak korban lainnya. Kalau tak sampai bunuh diri, tetapi mereka depresi. Misalnya Melati (40), korban teror tak manusiawi dari para debt collector belasan pinjol yang dia utangi di tahun 2020 lalu. Ia utang hanya Rp2,5 juta untuk biaya kuliah S1, karena tempatnya mengajar mensyaratkan sarjana. Utang itu lantas menggelembung menjadi Rp40 juta. Guru ini diteror dengan berbagai cara. Mulai ancaman dibunuh, hingga nama baiknya dicemarkan. Sedihnya, ia malah dipecat dari sekolah tempatnya mengabdi selama 13 tahun (Kumparan).
Petaka Ribawi
Pinjol adalah bukti kejamnya sistem pinjaman ribawi. Utang berbunga dan dendanya sangat mencekik. Terlambat sehari, denda bisa mencapai Rp30 ribu perhari dan akan terus dihitung sampai utang dilunasi. Jelas ini bukanlah muamalah utang-piutang berbasis ta’awun atau tolong menolong, melainkan pemerasan.
Di sistem kapitalisme, riba menjadi asas dalam mengembangkan harta. Uang dianggap sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan dan digandakan. Sistem kapitalisme mencari keuntungan besar dari perputaran uang itu sendiri. Bursa saham, sistem perbankan, property, leasing atau kredit, semuanya berbasis bunga. Namun, masih banyak yang tidak percaya bahwa riba sangat berbahaya. Mengapa? Karena bagi para kapitalis, riba sangat menguntungkan. Riba adalah jalan pintas untuk meraup kekayaan.
Menjamurnya pinjol, karena penyelenggara mendulang untung besar. Apalagi dengan sistem online yang mampu menjangkau segmen tanpa batas. Menkominfo Johnny G Plate menyebut, total perputaran dana dalam bisnis financial technology ini mencapai Rp260 triliun lebih. Tak kurang ada lebih dari 68 juta akun beredar dalam bisnis pinjol ini (CNN Indonesia).
Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi karena pandemi, menjadi penyebab masyarakat terjerat pinjol. Banyak suami yang kesulitan meraih pendapatan. Sebagai penanggungjawab nafkah keluarga, para suami ini tentu berjuang mati-matian untuk memenuhi kewajiban. Hal Ini dimanfaatkan para rentenir untuk menjebak mereka. Pinjol hadir bak dewa penolong, karena kemudahannya meminjam tanpa jaminan.
Tak hanya laki-laki yang notabene penanggung nafkah, kaum perempuan juga menjadi korban jeratan pinjol. Untuk apa? Apakah untuk berfoya-foya? Saat ini sangat banyak kaum ibu yang tidak memperoleh nafkah secara layak dari suaminya. Istri yang mengatur keuangan keluarga, tahu persis berapa kebutuhan ideal rumah tangga.
Para suami kerap tidak memahami kondisi keuangan yang diderita istri secara detail. Akibatnya, para istri inilah yang menanggungnya. Betapa banyak istri yang berpikir keras sendiri, bagaimana cara memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tak sedikit yang ikut banting tulang mencari sumber pendapatan. Terkadang terpaksa gali lubang tutup lubang, namun kebutuhan tak juga tercukupi.
Ya, utang adalah cara terakhir bila benar-benar sudah tidak ada uang yang dipegang. Biasanya mereka pinjam sembako ke warung, atau utang kepada kerabat atau tetangga. Tetapi, hari ini, tidak banyak orang-orang yang rela hati memberi pinjaman. Sama-sama banyak yang susah. Memberi pinjaman juga tidak mudah, karena khawatir yang dipinjami tidak dapat mengembalikan.
Di sisi lain, aspek muamalah berupa tolong-menolong dengan utang pun, kerap dipandang sebelah mata. Utang untuk kebutuhan pokok yang dibenarkan dalam agama, dipandang hina oleh masyarakat. Orang yang berutang harus menahan malu, karena memiliki utang seolah aib. Padahal utang-piutang adalah salah satu bentuk aspek muamalah. Tentu saja yang dimaksud adalah utang tanpa bunga atau riba.
Akibat kesulitan berutang pada teman, tetangga atau kerabat, pinjol pun jadi pilihan. Mengapa? Karena syaratnya mudah, cairnya cepat dan tak perlu mengetuk pintu dengan rasa malu. Toh tidak akan ada yang tahu, begitu pikir para pengutang. Nyatanya, ketika cicilan macet, nama baiknya disebarkan ke mana-mana oleh pihak aplikator. Teman, kerabat, hingga bos di tempat kerja diberitahu semua. Banyak yang kemudian dipecat karena namanya telah tercemar.
Begitulah perilaku tidak berperikemanusiaan penyelenggara pinjol ilegal. Mereka membocorkan identitas peminjam sebagai bentuk teror agar uangnya dikembalikan. Padahal jelas-jelas, para peminjam di pinjol mayoritas adalah orang susah yang sedang rendah daya bayarnya. Ketika pinjam sedikit terkena bunga dan denda tinggi, jelas tidak punya kemampuan bayar. Pinjaman tak seberapa, aset berharga seperti rumah bisa-bisa melayang. Benar-benar zalim.
Absennya Penjamin
Kesulitan ekonomi rakyat, terjadi karena negara tidak hadir membersamai mereka. Rakyat berjibaku mencari solusi agar perutnya terisi. Negara abai dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok mereka. Pinjol hadir memberi solusi, namun menjerumuskan mereka dalam maksiat sekaligus membuat rakyat makin melarat.
Negara sekuler yang menganut sistem ekonomi kapitalis ribawi, tentu saja merestui keberadaan pinjol. Meskipun pinjol ilegal diberantas, namun pinjo legal tetap saja menggunakan sistem riba. Artinya, baik legal atau ilegal, pinjol tidak sesuai dengan syariat Islam. Riba haram, perilaku penagihan yang tidak beradab pun bertentangan dengan adab Islam.
Demikianlah, ketika rakyat diatur dengan sistem sekuler kapitalis, hanya kesengsaraan yang mereka rasakan. Oleh karena itu, kezaliman akibat pinjol hanya bisa dihilangkan jika sistem ribawi disingkirkan. Sistem ribawi bisa disingkirkan jika sistem sekuler kapitalisme diganti dengan sistem Islam. Hanya sistem inilah yang memaksa negara untuk menjamin rakyat, termasuk me;indungi mereka dari kezaliman lembaga keuangan seperti pinjol.(*)