Oleh. Sherly Agustina, M.Ag.
(Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
MuslimahTimes.com–Penetapan Hari Santri tak lepas dari sejarah resolusi jihad yang diserukan oleh KH. Hasyim Asy’ari di masa dulu ketika penjajah datang ke Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari menyerukan imbauan kepada para santri untuk berjuang demi Tanah Air tepat pada 22 Oktober 1945. Resolusi disampaikan kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Resolusi tersebut memiliki pengaruh yang luar biasa dalam mengusir penjajah. (Kompas.com, 31/1/19)
Hari Santri ditetapkan oleh Presiden Jokowi pada 22 Oktober, melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Namun, seiring berjalannya waktu seolah terjadi pergeseran dalam memberdayakan potensi santri yang tidak sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Seperti yang dilansir dari Viva.co.id (22/10/21), Jokowi mengatakan bahwa peran pendidikan di pesantren, madrasah maupun pendidikan tinggi agama Islam sangat strategis mencetak lulusan yang inovatif dan berkewirausahaan. Mempersiapkan lulusan yang mampu bersaing di pasar kerja dan menjadi wirausahawan sosial yang sukses.
Kapitalisasi Potensi Santri
Mengapa terjadi pergeseran kiprah dan pemberdayaan potensi santri dari khittah-nya? Hal ini tak lepas dari aturan main saat ini yang bersifat materialistis. Memandang dan mengambill segala kebijakan yang bisa menghasilkan materi. Tak peduli siapa objeknya, santri, pelajar, ibu rumah tangga, dan lainnya.
Apalagi dampak pandemi yang berkepanjangan dan merambat ke segala bidang. Pemerintah dalam kondisi terjepit akhirnya berutang ke luar negeri. Di dalam negeri menggenjot apa saja yang bisa menghasilkan materi. Serta mencari peluang dari mana saja untuk mendapatkan materi, tak peduli materi didapat dari harta umat Islam, misalnya wakaf, agar bisa diuangkan misalnya. Beginilah ketika sistem yang dipakai berorientasi materi, apa pun dan bagaimana caranya bisa mendulang materi.
Termasuk santri, dicari peluang bagaimana caranya bisa ‘produktif’ menghasilkan materi. Menjadi entrepreneur yang bermanfaat menurut versi pemerintah. Tak melihat lagi kiprah dan potensi santri yang utama apa. Padahal, peran santri saat ini sangat dibutuhkan oleh umat dalam menghadapi penjajahan. Tentu bentuk penjajahan saat ini tidak sama dengan masa dulu. Penjajahan saat ini seperti tak terasa dan tak terlihat oleh kasat mata, karena penjajahan yang ada sangat ‘soft’. Penjajahan melalui pemikiran yang merusak umat Islam, menjadi pribadi yang hedonis, pluralis, liberalis, permisif, dan sekuler. Jauh dari jati diri umat Islam yang sesungguhnya. Penjajahan di bidang ekonomi melalui investasi, padahal musuh Islam ingin menguasai SDA yang ada di Indonesia.
Wahai Santri, Kembali pada Khittah
Bisa dilihat, daerah mana saja yang memiliki SDA melimpah sangat ironi penduduknya miskin. Kemiskinan yang direkayasa karena rakyat pribumi tidak bisa memiliki bahkan menikmati SDA yang ada. Papua misalnya, penghasil emas terbesar. Tapi, SDA emas tak pernah dinikmati oleh rakyat Papua. Bahkan, rakyat di Papua miskin dan kondisinya memprihatinkan. Jelas, potensi santri untuk mengubah kondisi saat ini sangat penting. Jika ada upaya yang menggeser dan merusak potensi dan kiprah santri dari khittah-nya harus ditentang. Adapun, jika santri memiliki peran terhadap bangkitnya ekonomi umat melalui wirausaha tidak membuat santri lupa dan berpaling dari peran asalnya sebagaimana yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Santri pun seharusnya sadar, jika ingin membangkitkan ekonomi umat tak cukup melalui ‘Masyarakat Ekonomi Syariah’ (MES) seperti yang digaungkan saat ini. Karena pada dasarnya, ekonomi syariah berdasar pada akidah Islam dan sistem syariah, yaitu Islam. Maka, perubahan mendasar yang harusnya dilakukan adalah merubah aturan main dan sistem saat ini agar berlandaskan syariah Allah an sich.
Ulama dan santri memiliki peran besar dalam perubahan mendasar tersebut. Bersama umat merubah kondisi yang rusak menuju kondisi penuh berkah. Di mana suasana keimanan dan ketakwaan saja yang menyelimuti. Hanya dengan syariah keberkahan bisa diraih. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al A’raf ayat 96: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
Allahu A’lam bi ash Shawab.