Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd
Muslimahtimes.com–”Celaka seseorang itu (diulang tiga kali), sahabat bertanya: siapa yang celaka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: orang yang mendapati salah satu orang tuanya atau dua-duanya dalam keadaan tua, kemudian (anak tersebut) tidak masuk surga.” (HR Muslim)
Begitu utama memelihara orang tua yang sudah tua renta hingga diganjar surga. Sayangnya, banyak anak tak mampu mengambil kesempatan ini. Dengan berbagai alasan, justru anak-anak kandung kini beramai-ramai membuang, menyerahkan orang tuanya ke panti jompo. Bahkan, ada yang tega meninggalkannya di pinggir jalan.
Ubasute
Beberapa waktu yang lalu viral foto surat pernyataan ketiga anak kandung yang diduga menyerahkan perawatan ibunya kepada pihak panti. Mereka bahkan menyerahkan prosesi pemakaman sang ibu jika meninggal nanti pada panti. Semua ini dilakukan dengan alasan kesibukan ketiga anaknya sehingga tak bisa memelihara sang ibu. (Kompas.com, 2/11/2021)
Bukan kasus yang pertama kali, tahun 2020 silam, seorang kakek lansia ditemukan dalam kondisi sekarat di Meuraxa, kota Banda Aceh. Sebelum meninggal, ia mengaku dibuang oleh anak-anaknya di sana. (Serambinews.com, 3/4/2020)
Lain lagi dengan kisah seorang ibu berusia senja, ia diminta putrinya untuk membeli barang lalu ia ditinggal. Hingga malam hari, sang Putri tak kunjung kembali. Ternyata ibunya dibuang oleh anaknya sendiri. (Tribunnews.com, 21/10/2019)
Masih banyak kisah pilu lain tentang orang tua yang dibuang oleh anak-anaknya dengan berbagai alasan. Ada yang ditinggalkan di pinggir jalan, di tempat ibadah, atau di panti jompo.
Fenomena ini mengingatkan pada legenda Jepang kuno, Ubasute. Dimana anak-anak akan meninggalkan orang tua mereka yang sudah renta di tengah hutan untuk mati. Dengan alasan tradisi dan mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan.
Bedanya, ubasute berupa cerita legenda tradisi mengerikan yang bisa jadi benar atau tidak terjadinya. Sementara fakta pembuangan orang tua zaman sekarang sudah sering kita temui beritanya.
Karena Kapitalisme
Alasan ketidakmampuan secara finansial dalam merawat orang tua, termasuk memberi makan adalah bukti kegagalan sistem saat ini menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Rakyat semakin susah mencari nafkah yang halal. Angka kemiskinan pun semakin tinggi.
Di sisi yang lain, rakyat dipertontonkan para pejabat negeri bergelimang keuntungan materi karena jabatan dan bisnisnya di tengah pandemi. Mulai dari mendapat jatah bagi setiap rakyat yang meninggal karena pandemi sampai bisnis test PCR yang mahal. Sungguh pemandangan yang menyayat hati.
Inilah keburukan kapitalisme yang rusak dan merusak kehidupan. Materi jadi alasan dan muara semua tindakan. Orang tua ditelantarkan karena anak kurang materi. Pejabat abai pada rakyat karena sibuk memperkaya diri dengan materi, mumpung sedang menjabat saat ini.
Lahirlah kedurhakaan karena penerapan sistem kapitalisme. Anak durhaka pada orang tuanya, pemerintah durhaka pada rakyat yang menjadi tanggungan kewajibannya. Matinya fitrah keimanan dan kesadaran akan kewajibannya.
Anak tidak sadar akan kewajibannya memelihara orang tuanya yang sudah renta. Pemerintah tidak sadar akan kewajibannya mengurusi urusan rakyatnya, serta memenuhi semua kebutuhan rakyatnya baik sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, juga pendidikan.
Kembali pada Islam
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki aturan detail sebagai penjagaan pada kita. Penjagaan agar diri selamat mengarungi setiap episode kehidupan dan mendapatkan hasil surga di akhirat nanti.
Dalam islam, negara diwajibkan untuk menjamin terpenuhinya semua kebutuhan rakyat, baik sandang, pangan, dan papan. Sebagai pelindung, negara juga wajib menjamin keamanan, kesehatan dan pendidikan rakyat secara gratis namun tetap berkualitas.
Penanaman akidah, termasuk edukasi tentang birrul walidain (berbakti kepada orang tua) sebagai cerminan dari keimanan terus-menerus dilakukan, baik melalui Pendidikan formal dan nonformal. Dilakukan negara melalui kurikulum pendidikan atau tayangan yang ada di tengah masyarakat dan lainnya. Semua itu demi membentuk kesadaran akan kewajiban memuliakan dan merawat orang tua, sebagaimana yang dicontohkan Rasul dan para sahabat kepada orang tua, memuliakan orang tua sebagai pintu surga bagi anak-anaknya.
Utsman bin Affan, ra. dikisahkan luar biasa taat pada ibunya. Sampai tak sanggup mengangkat kepala di hadapan sang ibu karena khawatir tatapan matanya membuat gundah. Sementara Abu Hurairah, ra. setiap keluar rumah selalu izin dan mendoakan ibunya agar tetap dalam perlindungan Allah swt. Lain lagi dengan sayyidina Hasan yang enggan duduk di tempat makan bersama ibunya, Fatimah, ra. Ia khawatir makanan yang ditatapnya diinginkan oleh ibunya.
Masyaallah. Inilah keindahan hubungan anak dan orang tua yang dilahirkan dari keimanan dan penerapan Islam secara paripurna dalam setiap sendi kehidupan. Anak yang taat pada orang tuanya dengan ketaatan yang tak lekang oleh waktu, meski orang tua sudah meninggal.
Tidakkah kita rindukan keindahan itu? Keindahan yang hanya dapat terwujud sebagai buah penerapan aturan hidup dari Sang MahaKuasa, Syaria’t Islam dalam naungan Khilafah yang tegak di atas manhaj Kenabian.
Wallahua’lam bish shawab.