Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S (Redaktur Pelaksana MuslimahTimes.com dan Praktisi Pendidikan)
Muslimahtimes.com — Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa…
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu karena siapa…
Kita jadi pintar dibimbing Pak guru…
Kita bisa pandai dibimbing Bu guru
Guru bak pelita…
Penerang dalam gulita…
Kasihmu tiada tara..
.
.
Lagu Jasa Guruciptaan M.Isfanhari yang top di era tahun 90an tersebut masih relevan di setiap zamannya, terlebih di bulan November ini. Mengingat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Adapun HGN tahun 2021 ini mengangkat tema “Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan”.
Namun, mirisnya nasib guru di negeri ini masih diwarnai pilu. Sebagai ujung tonggak bagi pendidikan generasi bangsa, kiprahnya masih ternoda aneka masalah, mulai dari gaji yang tak manusiawi, kesejahteraan yang masih menjadi mimpi, hingga minimnya kompetensi.
Guru Didekap Pilu
Deretan kepiluan nasib guru terpampang nyata di negeri ini. Contohnya soal guru honorer yang meski sudah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun, gaji yang didapatkan tetap jauh dari kata layak. Salah satunya gaji guru di Madura, untuk tingkat MI hingga MA (setara SMK/SMA) berdasarkan SK Sukarelawan (Sukwan), mereka digaji dengan kisaran Rp300.000-Rp400.000 per bulan, paling tinggi Rp900.000 per bulan. (jatimnet.com/03-03-2021)
Sama halnya dengan seorang guru honorer di Cirebon yang mengaku sudah mengabdi selama hampir 15 tahun, namun gajinya hanya Rp700.000 per bulan. Jauh dari UMK Kota Cirebon. (FajarCirebon.com/07-08-2021)
Bahkan, sebagaimana diwartakan oleh Dream.co.id (25-10-2021), bahwa seorang guru honorer nekad banting setir menjadi MUA Pengantin alias make-up pangantin karena gajinya yang hanya Rp250.000 per bulan tak mencukupi kebutuhannya. Akhirnya dari profesi barunya tersebut, ia meraih penghasilan yang jauh lebih besar, yakni mencapai Rp10 juta per bulan.
Begitulah nasib guru honorer di negeri ini, jauh dari kata sejahtera. Apalagi dengan adanya tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Jika lolos seleksi tes tersebut, maka para guru honorer akan mendapatkan kenaikan gaji dan berbagai tunjangan. Karena tidak ada tes CPNS bagi para guru seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, ironisnya keberadaan tes tersebut dianggap semakin mempersulit para guru honorer, karena passing grade (nilai ambang batas) yang terlalu tinggi, sehingga, banyak guru yang sudah sepuh tidak lolos dalam tes seleksi. Selain itu, terdapat pula kendala teknis menjelang tes, misalnya situs yang tidak dapat diakses. Wajar, jika akhirnya PPPK menuai banyak kritik, terutama dari beberapa organisasi guru, salah satunya dari Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, yang menyoroti soal administrasi pelaksanaan PPPK yang bermasalah. Contohnya, guru yang sudah lama tidak mengajar, namanya malah terdaftar sebagai calon peserta seleksi PPPK, sehingga guru honorer lain yang mendaftar bisa tersingkir.
Di sisi lain, banyak guru yang menjadikan pekerjaannya sebagai sarana meraih materi semata, minim idealisme. Sehingga seringkali kita dapati fakta guru yang melakukan kecurangan, menerima suap, demi mendongkrak nilai anak didiknya. Jual beli ijazah pun kerap terjadi. Tak dimungkiri, ada pula guru yang tak mampu memberikan keteladanan, justru sebaliknya berbuat asusila, bahkan terhadap anak didiknya sendiri. Demikianlah potret guru dalam sistem kehidupan kapitalisme sekuler hari ini. Didekap pekatnya nestapa. Padahal guru memiliki peran besar dalam menentukan wajah generasi di masa depan. Karena guru adalah agen-agen yang bersentuhan langsung dengan proses pendidikan generasi. Apa jadinya jika justru berbagai permasalahan menjerat guru?
Khilafah Mencetak Guru Kompeten dan Mumpuni
Jika tema HGN tahun ini mendorong para guru untuk bergerak dengan hati demi pulihkan pendidikan, maka sistem Islam juga memiliki konsep yang khas terkait dengan proses pendidikan generasi. Islam memandang bahwa guru tak sekadar profesi penghasil materi, melainkan penentu wajah generasi. Oleh karena itu, Khilafah akan memperhatikan kesejahteraan guru sebagai hal yang utama.
Dalam catatan sejarah peradaban Islam, para guru diapresiasi dengan gaji yang tinggi. Misalnya, pada masa khalifah Umar bin Khattab, guru digaji sebesar 15 dinar per bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikonversikan ke dalam kurs rupiah saat ini, maka gaji guru pada masa itu adalah sebesar Rp52.287.750 per bulan (1 gram emas= Rp820.200). Begitu pula pada masa Shalahudin Al-Ayubi, gaji guru adalah sebesar 11-40 dinar. Berarti jika gaji tertingginya dirupiahkan, yakni sebesar Rp139.434.000. Masya Allah!
Dengan penghargaan tinggi Khilafah terhadap guru, maka guru fokus dalam mengajar. Tidak sibuk mencari tambahan sana-sini. Dan yang lebih penting, negara Khilafah tidak membedakan status guru honorer dan ASN, karena semuanya adalah pegawai negara (muwazif daulah). Maka, gaji atas semua guru adalah sama.
Selain itu, sistem Islam menjadikan para guru bergerak dengan takwa, bukan semata dengan hati. Dengan ketakwaan itulah, para guru mengajar penuh idealisme dan dedikasi membangun generasi. Rida Allah tetap menjadi hal utama yang dikejar, sehingga para guru akan berupaya menampilkan keteladanan di dalam dirinya. Mereka pun akan mengajar dengan penuh amanah dan sungguh-sungguh demi terciptanya generasi yang tak hanya cerdas secara intelektual, namun juga berkepribadian Islam cemerlang. Mereka mampu menjadi problem solver bagi permasalahan pribadi dan juga umat. Inilah generasi yang terlahir dari sosok guru dalam naungan Khilafah. Demikianlah Khilafah mampu mencetak guru yang kompeten dan mumpuni dengan peri’ayahan optimal oleh negara. Wallahu’alam.