Oleh. Fauziyah Ali
MuslimahTimes.com–Ide kesetaraan gender yang gencar didengungkan sampai hari ini adalah adanya dorongan kesamaan dalam semua aspek. Salah satunya adalah memfokuskan pada kesetaraan di bidang ekonomi. Sebab kemiskinan perempuan dinilai sebagai masalah akut yang dialami perempuan di dunia. Dengan dorongan yang begitu masif dalam bentuk gerakan-gerakan pemberdayaan perempuan, perempuan didorong untuk bekerja. Perempuan menjadi tenaga kerja yang dicari di berbagai aspek, sampai-sampai mengurangi lapangan kerja bagi pria.
Kesetaraan gender yang terkait ekonomi lebih khusus dimulai pada September 2015, dunia menyepakati program pembangunan, yakni “Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Develompet” atau mengalihrupakan Dunia Kita : Agenda Tahun 2030″. Ditetapkanlah Sustainable Development Goals atau SDGs, yang terdiri dari 17 gol, misi-misi ini diarahkan untuk menyelesaikan masalah dunia dari kemiskinan dan kelaparan, penyediaan air bersih dan sanitasi, sampai pelestarian lingkungan. Salah satu yang harus dicapai adalah gender equity (kesetaraan antara laki-laki dan perempuan), termasuk dalam masalah ekonomi.
Berangkat dari SDGs, Indonesia mengaruskan program Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) sebagai solusi bagi perempuan. Tujuannya, mendorong kaum perempuan ikut serta memajukan perekonomian negara. PEP terus diaruskan sehingga terciptalah stigma kesuksesan seorang perempuan dinilai dari berapa banyak dia bisa bekerja dan menghasilkan pundi-pundi uang. Rasanya tak adil dan melawan kodrat jika perempuan dinilai tinggi derajatnya dari berapa jumlah penghasilannya. Para perempuan yang diberdayakan, baik itu dalam bentuk bekerja ataupun aktivitas yang bernilai ekonomis yang lainnya.
Alih-alih menjadikan perempuan mulia, yang terjadi malah menjadikan perempuan sebagai sapi perah. Perempuan dieksploitasi habis-habisan dari apa yang ada dalam dirinya. Bukan semata-mata dilihat dari kemampuannya, tetapinjuga apa yang melekat dalam diri perempuan, seperti wajah dan tubuh pun tak luput dari eksploitasi untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kesetaran gender juga bukan soal menghargai perempuan supaya bisa melakukan apa pun yang diinginkan, tetapi yang ada malah menjadikan perempuan menanggung beban hidupnya sendiri. Terutama beban nafkah yang seharusnya menjadi tanggungan para walinya.
Padahal sebenarnya perempuan tak harus melakukan aktivitas seperti laki-laki untuk bisa mulia. Laki-laki dan perempuan mempunyai rel masing-masing, tidak perlu dipaksakan untuk sama. Dengan demikian usaha untuk menyamakan laki-laki dan perempuan tidak akan berhasil sampai kapan pun, karena itu melawan kodrat.
Stigma perempuan semakin bernilai jika berkerja dan memiliki penghasilan yang tinggi adalah paksaan bagi perempuan agar ikut serta dalam perekonomian negara. Namun, secara tidak langsung mengeluarkan perempuan dari rumah-rumah mereka. Tempat teraman bagi perempuan. Ditambah dengan stereotip negatif tentang ibu rumah tangga. Stereotip itu memandang perempuan bekerja lebih mulia daripada ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga dianggap sebagai status yang mengekang, menindas, dan tidak mandiri.
Memaksa perempuan bekerja untuk ikut menggerakan roda ekonomi sesungguhnya memaksa perempuan berperan ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja. Jika tak kerja, dianggap beban, dipandang tak berdaya, dan dinilai tak produktif.
Selain itu posisi ibu pengurus rumah tangga yang mulia di mata Islam malah diframingkan “Islam merendahkan perempuan”. Namun ternyata itu hanyalah fitnah yang tidak pernah terbukti. Tuduhan itu dilontarkan semata-mata karena kapitalisme Barat kembali kepada Islam dan meninggalkan sistem yang diterapkan sekarang, yaitu kapitalisme. Islam memperlakukan perempuan dengan istimewa. Perempuan diberikan hak-haknya untuk berpendidikan dan berkiprah sesuai syariat Islam. Dijaga kemuliaannya dan dipenuhi segala kebutuhannya agar bisa hidup sejahtera. Semua terbukti nyata dalam sejarah penerapan peradaban Islam selama 13 abad.
Pemberdayaan dalam Islam bukanlah memaksa perempuan untuk bekerja dan memperkaya diri dengan materi, tetapi memaksimalkan potensi perempuan sebagai pilar peradaban, bukan mengeksploitasi tenaga, waktu, dan pikirannya dengan apa yang disebut sebagai pemberdayaan ekonomi perempuan.
Jadi, sebenarnya yang membuat masalah itu ide feminis dari Barat.
Oleh karena itu, tidak perlu menunggu ratusan tahun untuk menjadikan kesetaraan pada prosentase 50-50% misalnya, karena perempuan telah ditinggikan di dalam Islam. Budaya Arab jahiliah yang telat merendahkan martabat perempuan telah ditantang oleh Islam. Sehingga pada masa pemerintahan Islam, kemuliaan perempuan sangat berharga.
Justru kedatangan feminisme membawa kerusakan kehidupan perempuan di dunia, mengeluarkan perempuan dari rumah-rumah mereka sehingga merusak tatanan keluarga, merusak moral generasi, menyebabkan kemiskinan dan masalah-masalah lain yang tak kunjung selesai. Jadi sebenarnya masalah datang dari ide-ide feminisme yang terus didengungkan oleh Barat. Padahal muslimah dalam naungan Islam selama 13 abad hidup aman, tentram, mulia, terjamin kehormatannya. Para muslimah melaksanakan fungsi utamnya sebagai ummu warobatul bait tanpa harus dipusingkan dengan slogan-slogan pemberdayaan perempuan. Tapi jika ada muslimah yang ingin bekerja juga diperbolehkan. Muslimah bisa berkiprah selama kewajiban utamanya tidak diabaikan.
Sesungguhnya muslimah tidak membutuhkan feminisme untuk membuatnya mulia. Aturan-aturan dalam Islam merupakan aturan yang datang dari Allah, Sang Maha Pencipta. Aturan-aturan itu adalah aturan yang sesuai dengan fitrah perempuan. Aturan Islam bagi perempuan ini tidak dibuat untuk mengekploitasi atau bahkan mengekang perempuan. Hukum-hukum yang datang dari Allah ini adalah hukum yang menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sama dari segi insaniah dan membedakan keduanya dalam kaitannya dengan fitrah feminitas dan maskulinasnya. Islam saja telah cukup dan terbukti bisa memenuhi keamanan, keadilan, dan kenyamanan terhadap seluruh rakyat termasuk wanita karena sifat dari Islam itu rahmatan lil alamiin.