Oleh. Hamsina Halik
MuslimahTimes.com — Kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan tak pernah absen di setiap waktu. Kejadian-kejadian tersebut membuat siapa pun akan beranggapan bahwa masyarakat dunia saat ini tak satu pun yang memberi ruang aman bagi perempuan.
Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan mendorong sejumlah organisasi perempuan agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat segera dibahas dan disahkan tahun depan. RUU TPKS dinilai harus menjadi undang-undang khusus yang mengatur hukum pidana untuk memperbaiki hukum acaranya, karena hukum pidana saat ini tidak mengatur hak korban dan pendamping korban. (voaindonesia.com, 10/12/2021)
Terlebih, setelah adanya kasus pencabulan santriwati di Bandung yang dilakukan oleh Herry Wirawan, semakin menambah alasan kuatnya desakan pengesahan RUU TPKS. Sebagaimana diketahui pelaku adalah seorang guru di Pesantren TM yang terletak di Cibiru, Kota Bandung. Ia mencabuli para korbannya hingga hamil bahkan ada yang sampai melahirkan. (Merdeka.com, 09/12/2021)
Jika dianggap bahwa RUU ini sebagai pencegahan, pemenuhan hak korban hingga pemulihannya, maka hal itu adalah mustahil terealisir. Sebab, faktanya dunia kapitalis sekuler tidak pernah ramah bagi perempuan. Buktinya, angka kekerasan seksual tumbuh liar tiap tahunnya. Padahal, begitu banyak aturan terkait perlindungan perempuan dan anak yang sudah dilegalisasi. Namun, belum cukup menghentikan laju kejahatan seksual.
Penuh Aroma Liberal
Sebagaimana diketahui sejak pembahasan RUU TPKS oleh DPR pengesahannya berjalan alot. Sebab, publik mempertanyakan defenisi kekerasan yang masih bias. Apalagi penyimpangan seksual tak masuk dalam klausul di RUU ini. RUU TPKS yang dulunya bernama RUU PKS hanya membahas seputar kekerasan seksual.
Sementara penyimpangan seksual dan hubungan seksual atas dasar suka sama suka tak dianggap bentuk kejahatan seksual. Dengan demikian, alih-alih membawa solusi, justru yang terjadi adalah keresahan dan kehancuran keluarga ataupun generasi.
Pun, sejumlah pasal kontroversial terdapat dalam RUU TPKS tersebut. Hal tersebut dijelaskan oleh anggota Baleg DPR RI, Bukhari Yusuf dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS). Dirinya menolak RUU ini karena menilai bahwa RUU tersebut masih mengusung paradigma sexual consert (persetujuan seksual). Sejumlah pasal memiliki isu sentral yang memicu multitafsir dan kontroversi di tengah masyarakat. (Dpr.go.id, 09/12/2021)
Adanya paradigma sexual consent dalam RUU ini menandakan bahwa RUU ini penuh dengan aroma liberal. Tentu saja liberalisasi, dalam hal ini kebebasan individu dalam segala hal, akan semakin merajalela ketika RUU tersebut telah disahkan. Nantinya ini akan menjadi senjata hukum bagi mereka. Bebas melakukan apa saja meski itu melanggar norma agama dan moral, sebab sudah ada payung hukum yang akan melindunginya. Sangat nampak adanya nuansa sekuler liberal yang menjiwai RUU TPKS ini.
Dengan demikian, paradigma liberal yang lahir dari asas sekulerisme ini yang telah meminggirkan peran agama dari kehidupan jelas tak akan mampu menyelesaikan berbagai kasus kekerasan seksual. Berbagai hukum ataupun aturan yang lahir dari asas sekuler liberal ini telah terbukti gagal. Aturan ini lahir dari akal manusia yang sifatnya terbatas dan lemah, bagaimana mungkin bisa mengatur manusia. Apatah lagi, tolok ukur dalam menilai sesuatu adalah materi atau manfaat. Penilaian baik buruknya sesuatu pada setiap orang akan berbeda-beda.
Sudah seharusnya semua pihak menyadari bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah implementasi sempurna Islam yang mewujudkan Individu bertakwa dan lingkungan penuh penghormatan terhadap perempuan. Serta menutup semua peluang terjadinya kekerasan dan penyimpangan seksual.
Solusi Tuntas Kekerasan Seksual
Islam bukanlah sebatas agama ritual semata. Islam memberikan rahmat atas alam semesta melalui penerapan hukum-hukum Allah Swt yang mampu menyelesaikan segala problematika umat, termasuk bagaimana Islam mampu menjaga keteraturan hubungan antar manusia sesuai fitrahnya.
Islam mampu memberikan solusi bagi kasus kekerasan dan kejahatan seksual. Baik untuk penanggulangannya (kuratif) maupun pencegahannya (preventif). Di antaranya, pada level individu dan masyarakat, setiap individu wajib terikat dengan hukum syarak berkaitan dengan interaksi antara pria dan wanita.
Hal ini pun diatur dalam sistem sosial Islam yang mengatur interaksi perempuan dan laki-laki yang mewajibkan keduanya untuk menahan pandangan bila melihat aurat. Juga mewajibkan menutup aurat secara sempurna baik laki-laki maupun perempuan, tidak menyendiri berduaan antara laki-laki dan perempuan, tidak bertabarruj atau berdandan berlebihan yang menonjolkan kecantikan kepada laki-laki lain yang merangsang naluri seksual laki-laki.
Selain itu, melarang perempuan melakukan safar (perjalanan) selama sehari semalam tanpa disertai mahramnya. Ketentuan ini akan mampu menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan dari manusia baik laki-laki maupun perempuan, sehingga tidak terjerumus pada perbuatan maksiat.
Di samping itu, peran keluarga tak kalah pentingnya. Tempat yang paling pertama anak-anak dididik sedari kecil untuk menjaga kehormatan, memiliki rasa malu dan merasa selalu diawasi Allah Swt. Dengan begitu, mereka pun terbiasa menjaga pergaulan dan tidak menganggapnya sebagai aturan yang memaksa.
Negara pun memiliki peranan yang sangat penting. Bertanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan Islami ditengah-tengah masyarakat. Menjadikan hukum Allah Swt sebagai satu-satunya aturan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Penerapannya dalam sistem informasi, negara hanya akan menyebarluaskan kebaikan yang akan semakin memperkokoh akidah individu rakyatnya. Tak akan ada konten pornografi ataupun pornoaksi.
Pun penerapannya dalam sistem sanksi akan diberlakukan sanksi tegas yang akan memberikan efek jera bagi pelakunya, yaitu hukuman mati dengan di rajam bagi pelaku zina atau pun perkosaan yang sudah menikah. Dan hukuman cambuk 100 kali bagi pelaku yang belum menikah. Bahkan sekadar pelecahan verbal saja bisa dikenai ta’zir penjara atau cambukan. Sanksi yang tegas ini akan mencegah terjadinya kasus pelanggaran yang sama.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (TQS. An Nur: 2).
Alhasil, hanya Islam lah yang mampu memberikan solusi tuntas dalam menyelesaikan dan mencegah tindak kekerasan dan kejahatan seksual. Wallahu a’lam[]