Oleh. Ashaima Va
MuslimahTimes.com –Remaja katanya usia labil yang lekat dengan pencarian jati diri. Remaja pula katanya penuh dengan emosi meletup-letup. Hingga disimpulkan darinya wajar jika masa remaja identik dengan kenakalan. Namun benarkah demikian?
Sayangnya, pelajar yang merupakan manusia kecil menjelang dewasa yang bernama remaja pun memang banyak melakukan kenakalan. Tawuran pelajar yang terjadi dari dekade demi dekade pun seperti tak bisa menemui titik penyelesaian. Seperti bisul yang tak pernah diobati, memerah, membesar, lalu pecah. Kumpul-kumpulnya pelajar hanya untuk membangun aliansi, membesar, mencari friksi lalu pecahlah tawuran. Ujung-ujungnya dimaklumi karena tawuran sudah jadi tradisi. Namun, bolehkah seperti itu?
Tawuran pelajar memang statistiknya selalu meningkat dari tatun ke tahun. Bahkan saat pandemi yang orang lebih memilih di rumah saja, angka tawuran justru meningkat. Jajaran Satreskrim Polresta Bogor Kota saja sepanjang tahun 2021 ini menangani 45 kasus. Tercatat 146 pelajar yang ditangkap, 5 mengalami luka-luka dan 2 meninggal dunia. (Republika.co.id, 19/12/2021)
Tawuran pelajar memang jadi permasalahan dari masa ke masa. Mata rantai dendam yang tak pernah putus diajarkan senior ke yuniornya. Naluri untuk berkelompok praktis mencerabut rasa takut saat mereka berada dalam kawanannya. Sejak generasi X sampai generasi digital seperti sekarang tawuran intensitasnya tak mengendur.
Dari sini timbul pertanyaan, apa yang salah dari pendidikan di keluarga? Mengapa ada komunitas remaja yang tak paham baik dan buruk seperti mereka? Apa pula kesalahan sistem pendidikan di negeri ini sehingga alih-alih belajar dan berprestasi mereka lebih memilih berkelahi sesama pelajar, lalu mengantarkan nyawa secara sukarela.
Siapa yang salah?
Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Masanya mereka mencari jati diri. Apa jadinya jika orang tua tak hadir di sisi anak yang sedang labil tersebut. Ayah tak menjadi sosok yang diteladani anak karena absen dalam kehidupannya. Alasan sibuk bekerja tak membuat ayah berusaha membangun bonding dengan mencari quality time.
Setali tiga uang dengan ibu. Jargon pemberdayaan perempuan telah membuat para ibu melupakan kodratnya sebagai ummun wa rabbatul bayt. Sebagai dampaknya, ibu pun turut absen dalam memantau perkembangan anak. Ayah dan ibu tak lagi merasa perlu untuk membentuk kepribadian anak dengan menanamkan nilai-nilai ketakwaan padanya. Anak jauh dari Islam pun mereka tak merasa resah.
Anak yang semestinya memiliki komunikasi yang baik dengan orang tuanya malah merasa asing berada di rumahnya sendiri. Semua problematika anak ditumpahkan pada teman-temannya. Mereka lebih merasa nyaman dengan teman-teman se-gengnya. Sampai gengnya ke lubang buaya pun diikuti. Miris!
Saat keluarga tak bisa lagi diandalkan sebagai madrasah bagi pembentukan kepribadian anak, lalu sekolah memperparahnya dengan sistem pendidikan yang sekularistik. Akidah islamiah tak lagi menjiwai sistem pendidikan yang diterapkan. Islam direduksi menjadi hanya untuk mengurusi peribadahan individu. Alhasil, pelajar mengalami split personality. Mereka muslim namun jauh dari Islamnya. Kepribadian mereka jauh dari kepribadian Islam.
Islam Solusi Mengakar Problematika Remaja
Sebagaimana dipahami, Allah menurunkan Islam sebagai agama yang memiliki aturan yang menyeluruh. Islam mampu memberi solusi bagi setiap masalah manusia. Baik sebagai individu, masyarakat, atau negara. Maka, hanya Islam yang mampu menjadi solusi problematika tawuran pelajar.
Remaja saat ini mesti dibentuk kepribadiannya agar memiliki syakhsiyah islamiah atau kepribadian Islam pola pikir dan bersikapnya terikat dengan aturan-Nya. Saat remaja memiliki syakhsiyah islamiah mereka akan menjadi individu yang sejak baligh akan berupaya terikat dengan aturan Islam. Akan berhati-hati pula terhadap halal dan haram.
Remaja yang ber-syakhsiyah islamiah akan memahami makna hidup. Pemahaman terhadap makna hidup yang hakiki akan membuat mereka menjadi remaja yang bertakwa dan produktif. Berkelompoknya mereka akan membentuk kelompok yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Bukan kelompok yang membawa kerusakan dengan berkelahi sana-sini.
Remaja yang ber-syakhsiyah islamiah juga akan memahami halal haram. Mereka akan paham jika menyakiti sesama manusia adalah perbuatan dosa. Apalagi sampai ada korban nyawa. Mereka juga tidak akan terpancing permusuhan senior dengan sekolah lain karena tentu saja permusuhan itu tak ada.
Siapa yang bertanggung jawab pada pembentukan syakhsiyah islamiyah? Dalam hal ini keluarga adalah madrasah pertama. Ayah dan ibu yang bertanggung jawab pada penanaman awal nilai-nilai akidah islamiah. Setelahnya pendidikan harus berasaskan Islam, sehingga dari sekolah anak-anak akan memahami tanggung jawabnya sebagai penuntut ilmu yang produktif. Dengan syakhsiyah islamiah mereka akan berupaya menjadi pelajar prestatif. Tak ada waktu untuk saling berkelahi, justru akan terbentuk persaudaraan berlandaskan aqidah islam dengan sesama pelajar dari sekolah lain.
Lalu saat orang tua dan sekolah abai pada penanaman syakhsiyah islamiah pada diri remaja, negara akan bertanggung jawab dengan mengedukasi dan memaksa orang tua untuk turut terlibat dalam pembentukan syakhsiyah islamiah anak-anaknya. Negara juga akan bertanggung jawab untuk menerapkan sistem pendidikan berdasarkan Islam. Islam akan disertakan dalam pembentukan pelajar-pelajar bertakwa.
Sungguh solusi seperti ini hanya bisa diterapkan pada negara yang memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Negara yang berbentuk khilafah rasyidah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin lalu berlanjut sampai 14 abad lamanya. Peradaban gemilang karena Islam diterapkan.
Banyak ilmuan muslim yang menjadi peletak dasar ilmu pengetahuan modern, sebut saja Al-Farabi sang ahli sains dan kedokteran, Al-khawarizmi sang ahli aljabar, Ibn. Haitsam bapak optik modern, Ibn Kholdun sang ahli ekonomi, Ibnu Sina sang ahli kedokteran, Jabir Al-Hayan sang ahli ekonomi, dan Az-Zahrawi yang seorang fisikawan dan ahli bedah. Mereka semua lahir dari peradaban mulia. Peradaban di bawah naungan khilafah rasyidah’ala minhajin nubuwah. Mereka lahir dari pelajar yang mencintai ilmu, bukan mencintai perkelahian.
Maka, pelajar yang hobi tawuran saat ini sesungguhnya bisa diatasi dengan membentuk syakhsiyah islamiah pada diri mereka dan dididik dengan sistem pendidikan berdasarkan Islam. Hingga di masa depan tawuran hanya tinggal jadi kisah lapuk dari masa lalu.
Wallahu a’lam bishshawab.