Oleh. Mariana, S.Sos
(Guru Swasta dari Pomalaa – Sulawesi Tenggara )
MuslimahTimes.com–Moderasi beragama tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, ada yang pro dan ada pula yang kontra, jika dibaca sekilas maka akan tampak pesonanya, yang tentu saja dapat diterima karena ide-ide yang di gaung amatlah manusiawi. Lalu apa yang dimaksud dengan moderasi beragama?
Sebagaimana dikutip dari kemenag.go.id, 13 September 2019, Moderasi beragama adalah cara pandang kita beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Dalam moderasi beragama terdapat empat hal yang menjadi esensinya yakni: pertama, cara pandang atau sikap dan praktik keagamaan. Kedua, pengamalan esensi agama, yang hakikatnya adalah kemanuasiaan dan kemaslahatan bersama. Ketiga, semuanya berprinsipkan keadilan dan keseimbangan. Keempat, taat pada konstitusi, pada kesepakatan bersama di tengah kehidupan kita yang beragam.(CNN Indonesia, 30 Apr 2021).
Moderasi beragama muncul sebagai upaya untuk meredam adanya konflik disebabkan karena pemahaman agama yang eksklusif. Lalu kemana sebenarnya muara dari ide ini dan apa sesungguhnya sasaran yang hendak dicapai? Apakah pemahaman agama yang eksklusif akan melahirkan kekerasan atau radikalisme?
Moderasi beragama Solusi atau Masalah?
Moderasi berasal dari bahasa latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah moderasi berakar dari kata sifat moderat yang berarti menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Kata ini juga bisa dimaknai berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.
Dari pengertiannya saja sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa arah dari moderasi beragama adalah menerima nilai-nilai atau paham dari keyakinan semua pihak, termasuk mengakui nilai dan paham Barat. Tidak boleh berprinsip hanya satu keyakinan yang benar tapi pengakuan bahwa semua keyakinan benar, semua paham itu benar. Perbedaan harus dihilangkan, kebersamaan harus di utamakan, dengan begitu akan tercipta kedamaian.
Padahal hal yang wajar apabila terdapat banyak perbedaan dalam hidup, dari segi warna kulit saja, meskipun satu negara tetap saja berbeda-beda, dari segi bahasa daerah juga terjadi perbedaan, dari segi bentuk wajah, hidung, mata juga berbeda, apalagi dari agama yang sangat prinsipil. Ada hal-hal yang memang tidak dapat disamakan dan disatukan, justru kalau disamakan atau disatukan akan terjadi gesekan, contoh dalam keyakinan tertentu tidak diperbolehkan memakan bangkai, darah dan daging babi, tapi di keyakinan lain justru membolehkan, misalnya lagi larangan wanita muslim menikah dengan laki-laki nonmuslim, sementara di keyakinan lain membolehkan.
Ini adalah contoh sebagian dari aturan agama dan tentu itu menjadi prinsipil dari masing-masing keyakinan agama, siapapun tidak boleh memaksa orang lain untuk melarang perbedaan itu, yang boleh dilakukan adalah dengan cara mengajak berpikir, adapun ketika prinsip hidupnya tidak ingin ditinggalkan maka itu adalah hak masing-masing individu.
Bukankah terlalu dipaksakan dan egois untuk mengajak masyarakat sepakat dalam keseragaman, sementara ada hal-hal yang memang berbeda dan seharusnya ditempatkan pada posisi yang sesuai.
Lebih parahnya lagi bahwa ajakan moderasi beragama itu justru mengarah pada penerimaan nilai-nilai Barat yang sekuler liberal. Sebab moderat itu sendiri sesungguhnya berasal dari sejarah kelam bangsa Eropa pada masa kegelapan yang traumatik dengan belenggu agama, tentu saja agama yang dianut oleh masyarakatnya kala itu yakni kekuatan gereja secara mutlak.
Sehingga menyebabkan sejumlah distorsi dan peristiwa kelam, seperti keterbelakangan ilmu pengetahuan, munculnya mitos dan takhayul, inkuisisi, dan lain-lain. Hingga pada akhirnya ditemukanlah solusi, yaitu memisahkan agama dari kehidupan atau sekulerisme, ini adalah sikap moderat yang diambil untuk menggabungkan keinginan dari pihak yang menginginkan agama untuk mengatur kehidupan dan yang tidak menginginkan agama secara mutlak mengatur kehidupan.
Padahal di Indonesia mayoritas penduduknya adalah Islam, tentu saja tidak dapat disandingkan dengan peradaban Eropa atau Barat. Islam memiliki konsep dan metode pelaksanaannya dalam bentuk aturan kehidupan, sehingga bukan sekadar keyakinan spritual ritual yang mengatur hubungan individu dengan penciptanya tapi juga mengatur hubungan dengan dirinya terkait makanan, pakaian, minuman, bahkan Islam mengatur hubungan dengan sesama manusia, terkait ekonomi, sosial, pergaulan, politik, pemerintahan hingga sanksi, semua ada aturannya dalam Islam secara komprehensif dan menyeluruh.
Persoalannya jika kemudian nilai-nilai dalam Islam mau dicocok-cocokkan atau disamakan dengan keyakinan agama lain atau bahkan harus ikut dengan nilai atau paham barat, bukankah ini adalah sesuatu yang sangat tidak logis sekaligus melanggar konstitusi yang melindungi setiap individu menjalankan agamanya. Terlebih jika ajaran Islam yang agung seperti konsep jihad dan khilafah, justru berusaha untuk dikaburkan atau bahkan dihilangkan dengan asumsi bahwa jihad dapat memicu seseorang melakukan tindakan kekerasan atau dengan Khilafah dapat mendorong seseorang untuk mengganti bentuk negara yang sudah baku.
Padahal jihad dan khilafah adalah ajaran Islam dan merupakan hasil perjuangan Rasulullah saw dan para Khalifah, yang merupakan kewajiban kaum muslim sebab bagian dari syariat yang diperintahkan Allah Swt . Jika sudah begini, maka sasaran sesungguhnya adalah Islam, meski mengatasnamakan moderasi beragama. Sebab Islamlah yang memiliki aturan hidup paling jelas dan paling komplit. Apalagi Barat yang kapitalis paham betul bahwa saingan ideologi terberatnya pasca perang dingin adalah Islam, setelah mampu mengalahkan sosialisme-komunisme. Barat Kapitalis juga sangat paham, bahwa untuk menaklukkan kaum muslim, tidak harus memaksanya keluar dari agamanya, sebab ada cara yang paling ampuh yaitu dengan mengenakan pakaian Barat pada diri kaum muslim, tentu yang dimaksud adalah nilai atau paham Barat itu sendiri, dengan dididik dengan didikan Barat maka kaum muslim sendirilah yang akan menjadi pejuang nilai-nilai Barat yang sekuler liberalis.
Ironinya kaum muslim masih saja terjebak dan percaya pada permainan licik pengusung ideologi liberalis sekuler, padahal kerusakannya telah sangat nyata. Apakah materi dapat memalingkan kejeniusan manusia bahwa liberalisme sekuler telah menjadikan banyak manusia kehilangan moralitas dan kemuliaannya; pergaulan bebas, LGBT, aborsi, miras, narkotika, judi, korupsi, utang ribawi, dll.
Bukankah karena hilangnya nilai-nilai agama dari kehidupan sehingga manusia bebas berbuat sesuai keinginannya berasaskan manfaat mendorong permisifisme dan perilaku hedonisme. Bencana sosial dan ekonomi seperti apalagi yang akan terjadi, jika gaung moderasi ini terus di mainkan, terlebih jika hal ini disuarakan dalam ranah pendidikan. Pelajaran agama seperti apa yang akan didapatkan oleh penuntut ilmu terlebih yang masih dalam usia labil, apakah agama yang harus diselaraskan dengan nilai budaya? Lalu budaya seperti apa yang layak bersanding dengan nilai agama?
Jika persoalannya adalah toleransi, maka toleransi yang seperti apa lagi yang tidak diberikan Islam? Ataukah benar bahwa sesungguhnya negara yang menjadi ikon peradaban liberalis sekuler, benar-benar ingin memutus pemahaman Islam dari benak kaum muslim. Sehingga dengan moderasi beragama, kaum muslim akan termoderatkan. Dengan begitu, Barat akan mudah menguasai dan menancapkan dengan sangat kuat hegemoninya pada negeri-negeri muslim. Bukankah selama ini masih ada halangan bagi Barat untuk bercokol sepenuhnya di negeri-negeri muslim karena masih ada kaum muslim yang bersuara kritis, dan mereka inilah yang disebut radikal.
Pahamilah bahwa ada niat tendensius dari peradaban barat yang liberalis sekuler lewat moderasi beragama, agar kaum muslim menerima nilai atau paham Barat dan merelakan dengan patuh. Paham Barat itu menyebar dan bersanding dengan ajaran Islam, maka yang terjadi ajaran Islam itu akan terkubur dan direndahkan, padahal seharusnya sebagai muslim kita semestinya bangga dan mulia dengan keyakinan Islam yang kita miliki. Jika persoalannya adalah perbedaan, maka apakah perbedaan akan selalu melahirkan konflik? dan apakah konflik selalu melahirkan kekerasan?
Persoalan yang terjadi bukanlah radikalisme atau seseorang yang sangat patuh terhadap ajaran agamanya, tapi persoalannya adalah adanya ketimpangan sosial, ketidakadilan dalam segala aspek dan itu dilegitimasi oleh kekuasaan dan sistem. Maka, mari melihat persoalan dunia secara jelas, siapakah yang tidak manusiawi, dengan melakukan tindakan kekerasan pada manusia? Islam atau Kapitalis Sekuler Liberalis?Wallahu a’lam (***)