Oleh: Eva Arlini, SE
(Blogger)
Muslimahtimes.com–Pada salah satu pemberitaannya tentang Kekerasan Seksual baru-baru ini, Channel Youtube TV One mengambil judul “Darurat Kekerasan Seksual, Jokowi Turun Tangan”. Tayangan tersebut dibuka oleh pidato Presiden Jokowi yang intinya mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) oleh DPR. Hal itu sebagai bentuk perlindungan terhadap korban kekerasan seksual terutama pada korban perempuan.
Dalam hal ini, ada dua hal yang mengusik pemikiran dan nurani penulis. Pertama, peran pemimpin. Sebagai muslim, tentulah kita layak memiliki pemikiran Islam. Dalam Kitab Dirasat al Fikrul Islami karya Muhammad Husain Abdullah, dikatakan bahwa defenisi pemikiran Islam adalah menghukumi fakta dengan sudut pandang Islam. Maka, dalam memandang peran pemimpin pun seorang muslim harus memakai standar Islam.
Pemimpin dalam Islam disebut khalifah. Dalam Kitab Ajhizatul ad Daulati al Khilafah karya Syekh Taqiyuddin an Nabhani, dikatakan bahwa khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan hukum syariat.
Salah satu bagian dari tugas khalifah dalam kepengurusannya pada rakyat adalah menjaga kehormatan perempuan. Maka, sejak awal berdirinya pemerintahan Islam, seorang khalifah akan menerapkan hukum-hukum Islam secara total. Sistem politik, pendidikan, ekonomi, pergaulan, media dan sanksi Islam. Di dalamnya terdapat jaminan penjagaan kehormataan perempuan. Seperti aturan tentang kewajiban menjaga pandangan, menutup aurat, larangan berkhalwat (berdua-an antar pria dan wanita asing) dan larangan ikhtilat (campur baur). Tontonan berbau pornografi di media juga dilarang. Sanksi bagi pelanggaran hukum syariat pun akan diberikan secara tegas dan adil.
Ini yang menjadi perhatian penulis. Alangkah luar biasanya Islam mengatur kehidupan bernegara. Dengan pemimpin yang diangkat berdasarkan syariat dan bertugas menjalankan syariat, khalifah sejak awal langsung turun tangan melindungi rakyatnya. Khalifah yang terdepan memberi kemaslahatan bagi rakyatnya. Bukan seperti pemimpin dalam sistem demokrasi, yang kehadirannya telat. Bak pahlawan kesiangan, yang hadir belakangan.
Setelah kasus pelecehan seksual pada rakyatnya sedemikian marak, pemimpin tertingginya baru turun tangan. Itu pun hanya sebatas pidato, mengintruksikan pada pembuat hukum agar menyegerakan pengesahan aturan. Lalu selama ini kemana saja? Sekian banyak peraturan yang telah berjalan selama ini, bukannya mengurangi angka kejahatan, termasuk kejahatan seksual, justru semakin hari angka kejahatan semakin tinggi. Bukankah hal ini membuktikan bahwa pemimpin dan sistem kepeminpinan demokrasi sekuler telah gagal melindungi perempuan?
Kedua, desakan pada RUU TPKS bukan solusi. Malangnya, aturan yang dipaksakan untuk segera disahkan itu diragukan banyak pihak kemampuannya dalam mengatasi masalah pelecehan seksual. Karena rancangan peraturan yang dimaksud adalah buatan manusia yang bernuansa liberal. Betapa lemahnya hukum buatan manusia, hingga tak juga mampu disempurnakan untuk diterima semua kalangan, padahal sudah dirancang sejak 2016 lalu.
Bersamaan dengan pengesahan RUU TPKS nantinya, ada pornografi dan pornoaksi yang terus eksis. Hasil penelitian Kementerian Sosial tentang kekerasan seksual terhadap anak, ditemukan bahwa 41 persen kekerasan seksual terjadi karena terpapar pornografi. (https://www.pikiran-rakyat.com/30/11/2017)
Bersamaan dengan pengesahan RUU TPKS nantinya, masih terus ada penerapan sistem pendidikan berasaskan sekuler. Bahkan semakin tegas pemisahan kehidupan dari agama, ketika frasa agama direncanakan untuk dihapuskan pada Peta Jalan Pendidikan untuk tahun-tahun mendatang. Selama ini, institusi pendidikan menjadi salah satu tempat yang subur untuk terjadinya pelecehan seksual. Dengan semua itu, bisa dibayangkan kehidupan macam yang akan terjadi di masa depan kita. Berapa banyak lagi tindak kriminal pelecehan dan kekerasan seksual akan terjadi?
Sayang sekali, potensi syariat Islam kaffah sebagai solusi tuntas masalah kehidupan hari ini masih diabaikan, bahkan berusaha untuk dijauhkan dari umat dengan tuduhan-tuduhan jahat. Semoga dengan semakin banyaknya bukti keburukan penerapan sistem demokrasi sekuler ini, kelak umat akan sadar dan kembali ke pangkuan syariat Islam. Aamiin.