Oleh. Fatimah Azzahra, S. Pd
Muslimahtimes.com–Sabang hingga Merauke berjajar pulau-pulau di bumi pertiwi. Hampir semua wilayah negeri ini pernah merasakan guncangan gempa bumi. Sesuatu yang wajar karena bumi pertiwi terletak di zona merah, cincin api Pasifik. Juga merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik yakni lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Frekuensi Gempa Bumi Pertiwi
Bukan satu dua kali, gempa melanda negeri ini sudah sering terjadi. Dari yang dahsyat hingga berpotensi tsunami juga yang tidak berpotensi tsunami. Dari yang meluluhlantakkan infrastruktur atau sekadar guncangan yang tak menimbulkan kerusakan atau korban.
Hari Jum’at, tanggal 28 Januari 2022, terjadi gempa dengan kekuatan magnitudo 5,3 di Pangandaran. Satu hari sebelumnya, terjadi gempa berkekuatan magnitudo 4,1 di kabupaten Morowali. Pada tanggal 14 Januari 2022, terjadi gempa yang berpusat di Banten berkekuatan magnitudo 6,6. Gempa Banten ini walau tidak berpotensi tsunami tapi terasa hingga ke lantai 12 di Jakarta.
Betapa seringnya bumi pertiwi diguncang gempa. Namun, tak ada tindakan serius dari pemerintah dalam meresponsnya. Padahal, tidak selamanya gempa yang terjadi merupakan gempa kecil yang tak berpotensi tsunami. Bukankah pepatah pun mengingatkan kita untuk bersiap dalam menghadapi yang terburuk dan berharap yang terbaik.
Berkaca dari Negeri Sakura
Jepang, negeri yang sama-sama terletak pada cincin api. Negerinya berkali-kali diguncang gempa. Tapi, mereka berani mengevaluasi dan belajar dari kekeliruan. Jepang sempat berduka dan terpukul atas gempa besar yang menimbulkan ribuan korban nyawa penduduknya. Gempa pada tahun 1955 menelan ribuan korban jiwa di Kobe. Hal ini terjadi karena Kobe merupakan kota berpenduduk padat yang paling dekat dengan pusat gempa.
Tak mencukupkan diri dengan berduka. Jepang segera mengevaluasi dan memikirkan strategi agar kejadian yang serupa tak terulang lagi. Mereka sadar jika sumber daya manusia begitu berharga, tak bisa dibeli atau diganti dengan apa pun. Maka, bisa kita saksikan sendiri, generasi pasca gempa 1975 ini sangat familiar dengan latihan mitigasi bencana alam. Pelatihan diadakan di berbagai institusi secara rutin sejak dini. Jalur evakuasi disediakan di berbagai bangunan. Bahkan, standar bangunan pun diharuskan tahan gempa, termasuk infrastruktur. Tak hanya itu, perangkat darurat gempa pun disediakan di kantor-kantor dan rumah-rumah.
Hasilnya, walau gempa masih terus menerpa negeri sakura, korban jiwa dan kerusakan bisa diminimalisasi. Inilah potret negeri yang peduli pada rakyatnya.
Peran Pemerintah
Latihan mitigasi bencana mungkin bisa rakyat adakan sendiri. Perangkat darurat gempa seperti ransum pun bisa disiapkan sendiri oleh rakyat. Tapi, dalam menjaga infrastruktur yang aman dan tahan gempa, termasuk standarisasi bangunan tahan gempa bukan menjadi kapasitas rakyat. Perlu peran pemerintah untuk mengurusinya. Apalagi memang tugas pemerintahlah mengurusi semua urusan rakyatnya, bukan? Termasuk mengurusi keamanan dan keselamatan rakyat saat negeri kita merupakan negeri yang rawan bencana.
Sayangnya, kacamata kapitalisme yang kental dengan materialisme sudah membutakan sebagian besar penguasa. Hingga rakyat pesimis akan pemerintah. Pemerintah dianggap terlalu sibuk mengurusi kantung pribadi dan kelompoknya. Memakmurkan oligarki kekuasaan dan kekayaan dari jabatan yang kini diembannya. Inilah derita hidup dalam sistem kapitalisme.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam yang pernah diterapkan kurang lebih 13 abad lamanya. Kacamata pelayanan, pengayomanlah yang digunakan penguasa dalam memandang rakyatnya. Sehingga wajar jika kita dengar berbagai kisah pemimpin negara yang tak segan mengerahkan seluruh pasukannya untuk menjaga seorang warganya. Yang dihitung bukan angka dan jumlah, tetapi beratnya hisab atas satu orang itu. Apalagi ini berbicara mengenai mitigasi bencana bagi seluruh rakyat negara. Tentu tak akan main-main.
Wallahua’lam bish shawab.