Oleh. Yuke Octavianty
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Muslimahtimes.com— Pembelajaran Tatap Muka (PTM), salah satu mimpi para orang tua saat pandemi mulai mereda. Namun, keadaan ini justru memicu lalainya masyarakat dalam menjaga protokol kesehatan. Termasuk di lingkungan sekolah. Dicky Budiman, epidemiolog Griffith University, Australia, meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali proses PTM untuk mengantisipasi terjadinya gelombang ketiga Covid-19, yang diperkirakan terjadi sekitar bulan Februari – Maret 2022.(mediaindonesia.com, 23/1/2022)
Sejumlah siswa dan guru sekolah di Jakarta positif Covid-19. Imbasnya, belasan sekolah memberhentikan PTM 100% sementara. Per Sabtu (15/1/2022) ini, sebanyak 12 sekolah melaporkan adanya temuan kasus (detik.com, 15/1/2022). Temuan kasus ini berdampak PTM dialihkan kembali menjadi pembelajaran daring, karena PTM 100% berisiko besar memperparah gelombang Covid-19.
Dilansir dari tribunnews.com (18/1/2022), Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Syaifudian, menilai pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) serentak yang sudah dua minggu perlu dilakukan perbaikan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona terutama varian Omicron. Hetifah pun melanjutkan, prosentase vaksinasi guru dan siswa sebetulnya telah memadai dan memenuhi persyaratan, namun sangat disayangkan jika protokol kesehatan tak diperhatikan.
Pandemi mengubah pola kehidupan, termasuk pola pendidikan anak di rumah dan di sekolah. Banyaknya keluhan para orang tua, guru bahkan siswa, yang kehilangan masa belajar selama kurang lebih 1,5 tahun. Learning loss yang menciptakan loss generation.
Kebijakan pemerintah, menyoal PTM 100% sangat kontradiksi dengan keadaan yang kini tengah terjadi. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi mengimbau masyarakat agar waspada dengan varian Omicron yang penyebarannya lebih cepat daripada varian Delta. Dalam waktu singkat, kasus Omicron sudah mencapai 572 kasus dan di antaranya menginfeksi anak-anak. (idxchanel, 14/1/2022)
Seperti diberitakan, bahwa per tanggal 22/1/2022, ada 2 kasus kematian akibat varian Omicron di Indonesia. (suarasurabaya.net, 24/1/2022)
Tentu kejadian ini tak bisa dianggap sepele. Di tengah gelombang Omicron yang mulai meningkat, justru pemerintah malah membuka izin PTM 100%. Kebijakan tersebut tentu bukan solusi. Fakta di lapang pun membuktikan, tragedi “coba-coba” ini menimbulkan beribu masalah pada anak. Ustazah Kanti Rahmillah, M.Si, mengungkapkan bahwa memaksakan penyelenggaraan PTM di tengah wabah sangatlah berisiko bagi keselamatan anak. (muslimahnews.net, 15/1/2022)
Hilangnya masa belajar selama pandemi seharusnya tidak menggadaikan nyawa anak. Sebetulnya penyebab utama learning loss adalah akibat dari buruknya sistem pendidikan. Bukan semata karena pandemi. Demikian lanjut Ustdzah Kanti.
“Test the water”. Kebijakan pemerintah bagai eksperiman pada nyawa rakyatnya. Ketakpastian sangat tampak pada tiap langkahnya. Solusi PTM, bagai angin segar, yang “dikira” dapat meredakan masalah learning loss. Namun nyatanya, bagai buah simalakama. Dimakan bapak mati, tak dimakan, ibu yang mati. Jelaslah ini bukan solusi.
Sistem sekuler, pemisahan aturan agama dalam kehidupan, biang kerok makin terpuruknya keadaan umat saat ini. Pemisahan tiap segi kehidupan dari kehidupan yang lain pun menjadikan keadaan makin tak terkendali. Saat negara memandang suatu masalah, hanya dari satu segi kehidupan saja, tentu ini berujung pada usaha nihil solusi. Misalnya, terpuruknya ekonomi disolusikan dengan mendongkrak sektor pariwisata. Atau learning loss dengan pembelajaran tatap muka. Atau juga, menganggap wabah hanya sebatas masalah kesehatan. Wajar saja jika solusi yang diterapkan adalah solusi yang menimbulkan masalah di sektor lain. Inilah buah sistem yang cacat. Menganggap bahwa setiap sektor kehidupan tak saling berhubungan, alias terpisah. Padahal faktanya, setiap sektor kehidupan saling terkait erat.
Syariat Islam memandang bahwa setiap urusan harus mempunyai prioritas utama dalam penyelesaiannya. Dalam kasus wabah, tentu, yang harus dikendalikan terlebih dahulu adalah wabahnya. Bukan sektor yang lain. Nyawa umat sangat berharga dalam Islam.
Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani)
Pengendalian pandemi merupakan salah satu ilmu yang diwariskan Baginda Rasulullah saw. Dan melekat dalam praktik syariat Islam dalam kehidupan. Beberapa di antaranya adalah melarang perjalanan dan melakukan karantina, menerapkan jarak sosial dan isolasi, menerapkan pola hidup bersih dan protokol kesehatan yang ketat, perawatan medis yang optimal, menyeluruh, dan bebas biaya. Tujuan utamanya adalah membebaskan umat dari pandemi tanpa memandang keadaan ekonomi.
Sangat berbeda dengan keadaan saat ini. Liberalisme dan kapitalisme, memenjarakan umat dalam kemiskinan dan kesengsaraan yang mendalam. Wajar saja, saat sistem yang diadopsi adalah sistem yang cacat ,pasti menciptakan kezaliman. Tak peduli dengan nasib yang tengah dialami umat. Karena nyawa umat bukanlah tujuan utama.
Gambaran urgensi terhadap syariah Islam makin gamblang terpampang. Allah Swt menampakkan segala kerusakan di bumi karena akibat ulah tangan manusia.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum : 41).
Saatnya kembali pada solusi hakiki, syariat Islam dalam naungan Khilafah manhaj An Nubuwwah. Karena inilah satu-satunya solusi yang menuntaskan segala masalah kehidupan. Agar sejahtera segera menyapa dunia.
Walllahu a’lam bisshowwab.