Oleh. Nurhayati, S.S.T
MuslimahTimes.com – Babak baru Covid-19 varian baru sedang menggila namun tidak melunturkan rencana pembangunan IKN. Sebaliknya rencana tersebut terus digaungkan rezim, meski banyak menuai kritik. Betapa tidak, di tengah merosotnya perekonomian bangsa akibat hantaman badai Covid-19, pemerintah tetap berambisi dan optimis dengan pemindahan IKN yang digadang-gadang akan menghabiskan dana sekitar Rp400 triliun imi. Dana yang fantastis di tengah kesejahteraan warga ibu kota saat ini saja masih menjadi PR besar.
Isu tak sedap pun menyerang rezim, pasalnya pemindahan IKN ini semakin memperkuat adanya kekuasaan oligarki di tengah rezim bahkan pejabat negara saat ini diduga terlibat dalam lingkaran korporasi yang memiliki lahan dan kepentingan di ibu kota negara baru tersebut. Sudah menjadi rahasia umum para pejabat publik juga menjadi pengusaha akhirnya negara pun turut bersaing meraup keuntungan dari proyek ini.
Para pengamat kebijakan politik dan ekonomi juga tidak absen dalam mengkritik kebijakan pemindahan IKN ini karena hadirnya peran besar korporasi dalam wacana IKN itu. Berkenaan dengan itu Ekonom Faisal Basri dari Universitas Indonesia mengkhawatirkan kondisi bangsa dengan beragam kebijakan yang makin dominan menguntungkan kepentingan oligarki dan mengorbankan kemaslahatan publik. Ia menurutkan prediksinya Indonesia akan ambruk sebelum tahun 2024 dikarenakan elite politiknya sudah saling menutupi boroknya masing-masing. (bisnis.tempo.co, 29/1/2022)
Kepemimpinan dan Kepentingan
Dari penuturan Faisal Basri kita dapat menilai bahwa hadirnya oligarki dalam kebijakan yang diambil oleh penguasa adalah kebijakan yang jahat yang orientasinya adalah hanya untuk kepentingan mereka. Pejabat dan pengusaha sama-sama bersaing di ranah ekonomi. Maka tak heran terkuaknya beberapa menteri dalam bisnis PCR beberapa waktu lalu mengokohkan bahwa pejabat sedang berjual beli dengan rakyatnya. Rakyat sedang sulit, namun mereka mengambil keuntungan darinya.
Kritik di atas tentu tidak hanya terfokus pada moral penguasa, namun juga mengindikasikan adanya kerusakan pada sistem yang menjadi rujukan kebijakan. Kebijakan yang diambil pun seringkali tidak sejalan dengan kesejahteraan rakyat.
Tidak mengherankan kekuasaan yang dimiliki tak ubahnya menjadi jalan pintasnya untuk memuluskan berbagai kebijakannya. Sehingga politik kepentingan tidak terelakkan dari rezim saat ini. Akhirnya, wewenang yang dimiliki justru disalahgunakan. Hubungan “harmonis” antara penguasa dan pengusaha menjadikan kekuasaan oligarki terbentuk sehingga ini tak ubahnya adalah perselingkuhan yang mengkhianati rakyat. Rakyat jadi korban, sedang rintihannya tak terdengar. Jika mengkritik, harus bersiap tersandera oleh hukum. Malangnya nasib rakyat di tengah kekuasaan oligarki.
Semboyan “dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat” hanya sebagai pemanis panggung politik, kenyataanya “dari penguasa, untuk pengusaha dan untuk korporasi”. Miris!
Kepemimpinan Islam Bersih Tanpa Bayang-Bayang Oligarki
Sistem demokrasi yang dianut saat ini melahirkan politik oligarki, kekuasaan dijadikan kendaraan untuk memuluskan kebijakan. Kebijakan yang pro kapitalis, oligarki, Taipan begitu kental saat rezim saat ini berkuasa.
Berbeda dengan demokrasi, sistem Islam melahirkan pemimpin yang amanah yang menjalankan kekuasaan atas kesadarannya sebagai hamba Allah (Khalifah) yang peran dan tanggung jawabnya tidak terlepas dari pengaturan hukum syarak.
Dalam perspektif Islam, rakyat tidak memiliki kedaulatan untuk membuat aturan undang-undang, karena sejatinya kedaulatan berada di tangan As-Syar’i yaitu pembuat hukum Allah Subhanallahu wa ta’ala. Sumber kebijakannya adalah Al-Qur’an dan Sunah yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya. Penguasa menyandarkan seluruh kebijakannya pada syarak sehingga akan tercipta kebijakan yang bebas dari kepentingan sekelompok elite.
Kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu yang harus diperebutkan, sebab kekuasaan yang dimiliki menjadi jalan meraih pahala. Oleh karena itu, jika diselewengkan maka berakibat kepada dosa besar. Kesadaran ini hanya lahir ketika penguasanya lahir dan menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Tugas penguasa dalam sistem Islam adalah pengatur dan pemelihara urusan rakyat, sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al Bukhari)
Tugas ini hanya bisa dipikul oleh pemimpin yang memiliki akidah Islam yang benar dan berdasarkan kesadaran akan hubungannya dengan Allah Swt. Kekuasaan dijadikan sebagai ladang beramal bukan menjalankan politik kotor seperti praktik demokrasi saat ini.
Tentu negeri ini akan dalam kondisi baik, sejahtera, dan barokah semacam ini dapat kita raih ketika kita meninggalkan sistem yang batil saat ini, yang hanya menyisakan kesengsaraan yang kehidupan yang sempit. Menggantinya dengan sistem yang berasal dari Allah azza wa jala, yaitu Khilafah islamiah yang mencontoh Rasulullah Muhammad saw..
Wallahu ‘alam bishowab.