Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
#MuslimahTimes — Miris! Menyaksikan sebuah video masyarakat berlarian di sebuah supermarket untuk memburu minyak goreng. Bahkan di beberapa daerah mulai terlihat mengularnya antrean pembelian salah satu kebutuhan pokok ini. Sudah sejak awal bulan masyarakat Indonesia menghadapi kelangkaan minyak goreng. Cukup aneh, karena Indonesia adalah negara penghasil kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman menilai aneh jika ada kelangkaan minyak goreng karena Indonesia memiliki jutaan hektar kebun sawit. Dia meyakini ada keterlibatan kartel di balik langkanya minyak goreng. “Ya kami minta diusut tuntas secara hukum. Siapapun yang menimbun harus dimintai pertanggungjawaban baik secara korporasi maupun pribadinya,” Ujarnya.
Dan benar saja, di tengah kelangkaan minyak goreng, muncul berita ditemukannya penimbunan minyak goreng oleh beberapa pengusaha. Tak ayal hal ini menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat. Kekesalan masyarakat tentu saja merupakan hal yang wajar, bukankah para pelaku penimbunan telah bermain di atas penderitaan rakyat? Dan sudah telak fakta menyebut demikian, rakyat masih diminta jangan gaduh!
Sebagaimana pernyataan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi, ketika ikut menjelaskan temuan penimbunan 1 juta kg minyak goreng oleh Satgas Pangan Sumut. Semua fakta masih didalami oleh kepolisian. Untuk itu, dia meminta agar temuan ini jangan sampai membuat suasana jadi semakin gaduh.
“Sedang didalami pihak kepolisian, tolong jangan membuat gaduh, iya kalau iya. Kalau tidak, nanti menjadi repot semuanya,” Kata Edy di Asrama Haji, Medan, Senin (detiknews.com,21/2/2022).
******
Sebenarnya siapa yang pantas disebut pembuat gaduh? Rakyat atau penguasa? Kelangkaan minyak goreng adalah bagian dari kelalaian penguasa menjamin ketersediaan kebutuhan rakyat. Sebab, secara fakta Indonesia adalah negara penghasil kelapa sawit terbesar setelah Malaysia. Namun karena berbagai kebijakan yang justru berpihak pada para produsen kelapa sawit yang juga merangkap produsen minyak goreng, ditambah dengan harga CPO dunia yang melonjak naik, membuat para produsen kelapa sawit dan sekaligus minyak goreng banting setir menjual produk mereka di luar negeri.
Kemudian, para pengusaha yang memang bersifat opportunis, tak diam begitu saja menghadapi situasi kelangkaan ini, asas manfaat tetap berlaku hingga muncul praktik penimbunan. Dan memang bukan hal yang mengejutkan lagi, sebelum diberitakan Satgas Pangan Provinsi Sumut menemukan adanya tumpukan minyak goreng yang tidak diedarkan dan disimpan di dalam gudang di wilayah Deli Serdang. Masyarakat dan banyak kalangan sudah menduga ada praktik penimbunan. Ini adalah teori yang wajar jika suatu barang di pasaran tetiba menjadi langka.
Bagi beberapa pelaku bisnis dalam sistem kapitalisme, mekanisme penimbunan adalah wajar. Mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan, tak peduli itu menyengsarakan rakyat. Dan kali ini jumlah tumpukan minyak goreng dalam kemasan itu berkisar 1,1 juta kg. Bayangkan jika semua bisa sampai di tangan rakyat, tentulah kegaduhan itu tak pernah ada.
Kepala Biro Perekonomian Pemprov Sumut Naslindo Sirait, mengatakan pengusaha menyimpan minyak goreng itu karena takut rugi. Pengusaha, kata Naslindo, menyebut harga bahan baku yang mahal tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini wajar, bagaimanapun pengusaha berniat menjalankan usaha adalah untuk mencapai keuntungan. Inilah bukti bahwa posisi penguasa hanya sebagai regulator kebijakan.
Apapun alibinya, pemerintah hanya melihat fakta kelangkaan dari permukaan kemudian mengeluarkan kebijakan yang tak solutif. Sehingga solusinya justru penetapan HET dengan harapan mampu menetralisir harga di masyarakat. Akhirnya terjadilah inflasi barang. Dan kegaduhan pun terjadi.
*****
Dalam Islam, permasalahan kelangkaan kebutuhan masyarakat amatlah mudah diselesaikan, sebab pemimpin hadir untuk mengurusi urusan rakyat dengan landasan takwa. hal mana yang tak ada dalam diri pemimpin hari ini, sekalipun mereka Muslim.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Makna imam atau pemimpin disini secara umum tak hanya Khalifah, namun siapa saja yang memiliki kewenangan mengurusi urusan manusia. Mereka wajib menyandarkan urusannya pada syariat Islam, tidak tersusupi kepentingan pribadi ataupun golongan.
Islam mengharamkan penetapan Harga Eceran Terendah (HET). Sebagaimana sabda Rasulullah ketika para sahabat mengeluhkan harga barang di Madinah yang melonjak naik, Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya banyak manusia datang kepada Rasulullah dan berkata, “Tentukanlah harga bagi kami, harga-harga kami.” Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia! Sesungguhnya naiknya (mahalnya) harga-harga kalian dan murahnya itu berada di tangan Allah Subhanahu Wata’ala, dan saya berharap kepada Allah ketika bertemu Allah (nanti), dan tidaklah salah satu orang terhadapku, (aku memiliki) kezaliman dalam harta dan tidak pula dalam darah.”
Lantas bagaimana jika harga terus naik sedangkan barang langka? Maka sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab yaitu dengan mensuplai dari wilayah yang surplus ke wilayah yang minus, sehingga secara alami harga akan turun karena ketersediaan barang melimpah. Kemudian, mendorong industrialisasi yang berbasis maslahat umat dan kemandirian bangsa. Dengan menegaskan tiga kepemilikan atas pengelolaan sumber daya alam. Yaitu kepemilikan individu, negara dan umum. Intinya, apa yang menjadi hak umum ( masyarakat) tidak diprivatisasi apalagi diserahkan kepada investor asing.
Demikian pula Islam mengharamkan praktik penimbunan (Ikhtikar), yaitu menimbun dengan menunggu harganya naik untuk dijual kembali sangat zalim. Maka penguasa berkewajiban menghilangkan kezaliman itu, rakyat tak boleh dibuat susah dalam mengakses apapun yang menjadi kebutuhan dasarnya. Bahkan jika ada yang melihat praktik ini wajib melaporkannya kepada Qadhi Madhalim untuk diselesaikan. Kapitalisme Demokrasi tak memiliki mekanisme ini, semua berjalan atas dasar manfaat, hingga hukumpun tunduk dan tumpul menghadapi ketidakadilan ini.
Negara dalam Islam juga mengawasi penjualan antar negara, baik terkait dengan mitra dagang maupun komoditas yang akan diperjualbelikan. Semua dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi dalam negeri dan kedaulatan negara. Sebab, jika mau membuka mata lebar, perjanjian bilateral ataupun multilateral atas berbagai aspek, terutama ekonomi adalah lahan untuk mengeksploitasi kekayaan negeri ini. Hari ini, rapuhnya pengawasan dan pengurusan rakyat, tak akan didapat jika kita berjuang Bersama untuk penerapan syariat kaffah. Wallahu a’ lam bish showab.